Oleh : Ilham M Rusdi*
“Yang bungkam tak akan abadi” (LPM ARENA, 1975-2017)
Sejak almanak memasuki bulan Januari 2017, kini usiamu mulai menua dan terkadang nampak helaian uban berjatuhan di lantai, sangat banyak. Di kamarmu tampak dinding mulai berkeriput, penuh coretan. Ditambah lagi dengan penyakit batuk karena problematik kampus yang dahaknya mengairi mahasiswa.
Hingga saat ini cita-citamu masih kuat. Menjadi garda perjuangan orang-orang bisu yang kehilangan pita suara, lantaran mengonsumsi rokok dari sembarangan pabrik (investor asing). Padahal kau sendiri perokok berat, setiap hari menggelinding dengan tembakau yang membukit bak tumpukan jerami. Apakah teriakanmu masih saja keras? Apakah suaramu benar-benar abadi?
Dulu kau masih seperti itu, lahir di tengah –tengah teriakan provokatif. Dirawat oleh rezim otoriter dan dibesarkan oleh isu-isu kapitalistik. Kala itu, setiap kubu yang konser dipanggung pandai mengalun melodi politis. Sangat indah dan gurih di telinga. Kau pun juga ikut bermain dengan irama yang berbeda. Menciptakan lagu-lagu pembebasan melalui ritme dan genre orang-orang pinggiran. Merilis album tentang pembangunan di kota, penggusuran di desa dan beberapa album lainnya yang laris di media. Yah, wajar saja jika banyak hati kapitalis yang teriris-iris. Memang sangatlah ironis.
Mungkin kau masih tangguh. Setangguh ketika tahun 1993 mengalami frustasi dan galau, dikarenakan sempat terhenti dan dilarang ribut, apalagi keluar rumah. Kata orang,“Di luar keadaan sangat panas, makanya tinggal di rumah saja”. Berlama-lamaan di dalam rumah malah akan membekukan suaramu karena dinginnya AC (Air Cendela). Dinyalakanlah tungku api untuk mencairkan suasana, lantas menampik kehendak yang ingin menghentikan langkahmu. Suaramu pun bebas dan tetap menjadi pisau tajam untuk memotong telinga-telinga yang tuli.
Di usia empat puluh dua ini, aku tetap mengimani dan mengamini jika suaramu memang indah, apalagi jika bernyanyi. Memang bukanlah penyanyi di atas panggung. Bernyanyi melalui media adalah tugas kenabianmu. Mengajak dan berdakwah di jalan kebenaran (Shirothal Mustaqim). Membebaskan ketimpangan atas realitas itu tak akan mudah, selalu saja mendapat tekanan untuk berhenti. Tekanan seperti itu terus saja berulang-ulang dan membuatmu bosan. Ya, bosan ditekan, dikekang, dan bahkan pernah sempat dibredel. Dan akhirnya kau pun mulai terbiasa.
Tapi kini, kau tetap masih bernyanyi untuk mahasiswa dan rakyatmu. Terus menciptakan suara-suara dengan lirik perlawanan. Dalam lirik Marxisme dantiap bait Thesis on Feurbach telah berkolaborasi menjadi sebuahsabda suci. Sabda suci bagi mereka yang buruh tani, dan mereka yang tanahnya dirampas karena kepentingan pribadi.
Ternobatkan sebagai pahlawan revolusi bukanlah tugas yang ringan. Mahasiswa mesti keluar ke jalan raya dan keluar ke desa-desa, mengamati segala ketimpangan yang ada, itu kata WS Rendra. Ya begitulah. Heroisme gerakan mahasiswa mestinya perlu untuk bersuara. Sebab idealnya, suara-suara butuh jembatan penghubung semacam lidah. Entah sisi kiri atau kanan haruslah melalui jembatan yang searah. Jika banyak arah, akan terjadi kemacetan yang panjang bagi gerakan mahasiswa. Dan kaulah salah satu lidahnya.
Sedari dulu, banyak suara-suara mahasiswa yang menyatu bersama. Kini, entah bagaimana rasanya. Serasa suara-suara bertebaran di mana-mana dan sulit untuk mengirimnya ke kotak suara (Istana Negara), ya karena saking banyaknya suara yang teradu domba. Mungkin dari mereka ada yang rindu dengan suara mahasiswa sembilan puluhan. Sebuah angkatan lama yang rela tersiksa dan mati demi kepentingan bersama. Sejatinya, mereka telah berangkat ke surga melintasi alam nirwana, maka kirimkanlah sepenggal doa kepada mereka. Memang kau sedikit terlibat di sana. Sekali lagi, masa itulah yang melahirkanmu. Hasil dari perkawinan antara fakta (jurnalisme) dan wacana (pengetahuan).
Konsisten dan Independent
Kau tak pernah tergoyahkan oleh masa, semenjak orba berkuasa hingga hari ini reformasi kunjung tiba. Kau masih menjunjung tinggi konsistensi untuk meperjuangkan hak-hak asasi manusia. Apalagi independensimu, masih sangat kuat hingga tahun yang ke empat puluh dua. Padahal mungkin suara kawan-kawanmu yang lain telah punah dan dibungkam oleh penguasa. Tak ada yang salah dari fatwa Seno Gumira Ajidarma, bahwa jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya. Pengaruh politik memang sangat kuat bagi media massa, selalu saja ada yang jatuh karena se-amplop berlabel dana.
Tapi, mengapa kau masih saja ingin menjadi antitesa terhadap penguasa? Entahlah aku pun tak tahu tentang itu, sebab aku masih muda. Kalau ada yang tak percaya, kuajak ia masuk ke rumahmu. Melihat dapur redaksi yang di dalamnya masih tersusun rapi tumpukan data-data. Datamu pun masih lengkap. Mulai dari data tukang becak naik tahta hingga para tirani pemangsa harta dan wanita.
Yah, wajar saja jika punya segudang data. Empat puluh dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk merangkai kata dan fakta. Memang keseharianmu kok membeberkan fakta, berdialektika dan menari bersama pena. Apa itu terasa mustahil bagi seorang persma (Pers Mahasiswa)? Yang mustahil adalah jika seorang persma kehabisan tinta. Tak mampu bersanding dengan realitas dan alam di sekitarnya. Mungkin itulah yang membuatku masih sangat jatuh cinta padamu. Lagi-lagi berani keluar sebagai garda perjuangan rakyat dan mahasiswa.
Namun, kini kau telah hidup di dunia yang berbeda. Seperti sebuah dunia fatamorgana. Orang-orang hidup seperti boneka di tepian pantai sambil menikmati senja, lalu keasikan berselancar di dunia maya. Mereka lupa pulang, lupa makan, lupa tidur dan lupa orang tua. Media telah menjadi buku pedoman manusia. Semuanya mengkonstruk pikiran dan kesadaran.
Aku curiga kelak musuhmu adalah saudaramu sendiri, yaitu dari media massa. Mereka membuka perang melalui wacana dan berita. Berita ini dan itu, semuanya telah diracik sedemikian rupa. Pada akhirnya, lahirlah para jurnalis yang giat berpropaganda. Mengungkit isu SARA dan berita hoax untuk mengadu domba. Lantas bagaimana kau (kita) harus melawannya? Mungkinkah kau keluar dari dunia fatamorgana? Atau bangkit memeranginya dengan senjata?
Senjata jurnalis adalah pena dan pelurunya adalah kata-kata. Dilengkapi dengan pelatuk senjata berbentuk angka 9, yang setiap ledakannya diringi oleh api kebenaran, loyalitas, verifikasi, independensi, pemantau, kritik, relevan, proporsional dan hati nurani. Didesain oleh Bill Kovach, seorang jurnalis ternama dari Amerika.
Masihkah kau ingin menggenggam senjata? Menembak penguasa dengan kata-kata dan mengayomi warga yang teraniaya? Aku tahu jika usiamu mulai tua. Tinggal satu windu lagi beranjak usia kepala lima. Apalagi kau akan ditempatkan di Panti Jompo dan mewariskan tahta kepada genarasi muda. Namun jika saja suaramu masih tetap bergema, niscaya kau akan hidup abadi selamanya. Tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Lantas mereka yang bungkamakan lenyap ditikam oleh masa.
Aku hanya berharap jika kau dan aku kelak berumah tangga, menyatu bersama dalam ikatan keluarga. Mengajariku berbagai nada-nada. Nada perjuangan, pelawanan dan kritik kepada para penguasa. Mendidikku dengan organisasi dan mendidik penguasa dengan perlawanan, seperti itulah Pramoedya Ananta Toer berfatwa.
Yah, seperti inilah aku bisa bercerita, tentang dirimu dan para mahasiswa. Mungkin mereka, mahasiswa dan warga menunggumu di luar sana. Menunggu lagi suara-suara yang baru nan indah. Entahlah, tulisan ini semacam surat yang mendewa-dewa atau curhatan semata. Aku tak tahu pasti bentuknya apa. Yang jelasnya aku terus bersuara dan tak ingin bungkam bersama masa. Begitulah selalu kau memberitahuku di awal cerita. Aku ingin hidup seribu tahun lagi, seperti Chairil Anwar dan karyanya.
Enyahlah mereka yang bungkam!
Bersama suara ini ku ucapkan kepadamu (LPM Arena), selamat berulang tahun yang ke empat puluh dua. Semoga amal perjuanganmuditerima di sisi-Nya!
*Penulis adalah Stalker Arena. Pengagum dari balik jendela.