Lpmarena.com- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar pertimbangan hukum.
Peraturan Pemerintah (PP) yang dinilai bermasalah itu digunakan sebagai konsideran (dasar penetapan) kebijakan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 235/KEP/2016 tentang upah minimum kerja di provinsinya.
Hal itu dinyatakan oleh pakar ketenagakerjaan Prof. Dr. Ari Hernawan, S.H., M.Hum sebagai saksi ahli dalam sidang kedua gugatan aliansi buruh Yogyakarta terhadap Surat Keputusan (SK) Gubernur di atas yang dilaksanakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta, pada Kamis siang (13/4).
Dalam kesaksiannya kepada hakim ia menjelaskan bahwa konsep upah minimum dikenal dari Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 yang memiliki tujuan agar pekerja memperoleh pekerjaan yang layak, bermartabat dan manusiawi. Dalam pertimbangan undang-undang tersebut memang dinyatakan bahwa pembangunan ketenagakerjaan dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta perlindungan bagi buruh dan keluarganya. Konsep tersebutlah yang pada hari ini menjadi konsep kebutuhan hidup layak (KHL).
Namun substansi tersebut tidak lagi selaras ketika diturunkan dalam PP 78. Hal ini terlihat dari pasal 43 ayat 2 yang menetapkan bahwa upah minimum yang ditujukan untuk memenuhi KHL, hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisik selama satu bulan dari pekerja dalam status lajang. sementara itu upah juga ditujukan untuk melindungi keluarga. “Padahal bisa saja pekerja itu kan berkeluarga,” ungkap dosen Fakultas Hukum UGM ini ketika ditemui ARENA di luar persidangan.
Masalah ini yang kemudian menjadikan PP 78 kurang berpihak pada buruh. Selain itu, menurutnya, wewenang dewan pengupahan juga menjadi terbatas karena dalam rekomendasinya kepada gubernur harus berdasarkan data badan statistik pusat, bukan survei yang dilakukan dewan pengawas sendiri. Hal ini memiliki dampak yang lumayan fatal karena setiap daerah memiliki tingkat inflasi yang berbeda. Masalah lain adalah sedikitnya representasi pekerja dalam dewan pengupahan.
Sementara itu saksi ahli kedua, B Hengkywidhiantoro SH. MH, ahli administrasi negara, menyatakan pembuatan suatu surat keputusan tata negara harus ditinjau dari tiga aspek, yakni wewenang, prosedur, dan substansi. Ketika suatu SK tidak memenuhi aspek wewenang maka SK tersebut dinyatakan batal demi hukum (nietigheid van rechtswage). Sementara jika SK tidak berdasarkan prosedur yang sah serta tidak sinkron atau harmonis dalam substansinya maka SK tersebut dinyatakan dapat dibatalkan (verniegbaar).
Hengky juga menjelaskan, jika tidak sinkron dalam substansinya maka tindakan pertama yang dilakukan adalah mengajukan uji materil di Mahkamah Agung, dan secara otomatis SK tersebut batal secara hukum. “Karena apa, konsiderans yang dijadikan dasar di dalam SK itu sudah dibatalkan,” ungkapnya.
Menanggapi ini kuasa hukum Gubernur DIY Adi Bayu Kristianto memandang pada intinya SK gubernur sudah sesuai dengan PP di atasnya, dan PP tersebut mengacu pada UU no 13 Tahun 2003. “Mekanismenya sudah sesuai dengan rumus yang ada di PP 78 Tahun 2015,” ungkapnya.
Ketika ditanya terkait PP 78 yang hanya memenuhi kebutuhan fisik buruh dalam sebulan serta tidak dengan keluarganya, Bayu justru menilai itu hanya persepsi. Padahal jelas dalam pasal 43 ayat 2 tersebut tidak selaras dengan pertimbangan dalam putusan UU Nomor 13 Tahun 2003.“Kami kan patokannya adalah rumus,” jelas Bayu.
Ditemui di halaman PTUN Patra Jatmiko Ketua Departemen Pendidikan Buruh Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) menyatakan setuju dengan pandangan saksi ahli. Serta dengan rasionalisasi dan pembacaan tersebut pula pihaknya mencoba menggugat SK Gubernur. Ia juga menceritakan teman-teman buruh di Jakarta juga sedang menggugat PP 78. “Secara substansi secara spirit ruh itu tidak sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003,” jelasnya.
Reporter: Syakirun Ni’am
Redaktur: Wulan