Kuheran di tengah perjalanan muncullah ketimpangan. Aku heran, aku heran, yang salah dipertahankan. Aku heran, aku heran, yang benar disingkirikan. (Perahu Retak – Franky Sahilatua)
Lpmarena.com- Setelah berhasil menggelar pentas “Tanwin #1: Ketika Nuun di Titik Hening” tahun 2014 lalu, Sanggar Nuun Yogyakarta kembali menghadirkan pentas edisi ramadhan 2017 bertema “Tanwin #2: Sebelum Bandang Datang”, Jumat (9/6). Memilih tempat di Halaman Laboratorium Masjid UIN Sunan Kalijaga, pentas ini menyuguhkan lima komposisi: Sebelum Bandang Datang, Amsal Perahu, Puisi Perahu, Mengejar Kejora, dan Perahu Retak.
Mukhosis Noor selaku penulis naskah menjelaskan, Sebelum Bandang Datang terinspirasi dari kisah Nabi Nuh ketika membuat perahu, karena Allah akan mendatangkan bandang yang besar pada umat Nabi Nuh yang tidak taat kepada-Nya. Bandang tersebut tak pandang bulu, menimpa siapa saja, Nuh mengajak umatnya untuk naik ke perahu tersebut agar selamat.
Bandang bisa berarti apa saja, tidak sempit pada makna banjir. Kata Mukhosis, apapun bisa menjadi bandang dan bandang pasti akan datang. Manusia memiliki hak untuk bertahan. Perahu diibaratkan adalah diri manusia, yang juga mempersiapkan banyak hal. Penumpangnya banyak, ada hati, pikiran, jiwa, dan raga manusia. Manusia harus siap sewaktu-waktu jika bandang datang. “Apa yang akan kita siapin sebelum bandang datang? Kalau bandangnya air, kita butuh perahu,” kata Mukhosis.
Masalahnya menurut Mukhosis, ketika manusia tahu gejalanya, manusia banyak yang menyerah duluan terhadap bandang tersebut. Sedikit-sedikit sudah pasrah dan kadang berpikiran ‘wis mati wae (sudah mati saja)’. Paling tidak, manusia bisa bersikap seperti yang dikutip Mukhosis dari pesan Sunan Kalijaga: anglaras ilining banyu, angeli ning ora keli (manusia boleh mengalir seperti air, tapi jangan sampai terbawa arus).
Istifadah Nur Rahma selaku personel pementasan yang memainkan peking menyatakan, bandang diibaratkan sebagai ombak dan petaka, tapi sekaligus awal mula yang baru. Momen Ramadhan menjadi waktu yang tepat untuk mempersiapkan diri menghadapi bandang. Sebab manusia tak hanya berpuasa hati, tapi juga pikiran. “Manusia memilih mau menjadi karang yang teguh atau karang yang rapuh. Puasa itu membentuk diri.”
Isti sendiri merangkum pesan pentas ini menjadi tiga kata: refleksi, perbaharui, menggapai asa yang pasti. Tanwin #2 juga merupakan refleksi dari realitas Bulan Ramadhan saat ini. Indonesia tengah mengalami wabah intoleran, radikalisme, dan fanatisme. Padahal ini di Bulan Ramadhan, setelah Ramadahan Isti memastikan gesekan yang terjadi akan semakin besar.
Untuk menyikapi hal yang demikian, bagi Isti harusnya masyarakat mengembalikan kembali ke identitas ke-Indonesiaannya masing-masing. “Mengembalikan lagi, yang Jawa ya Jawa, yang Lampung ya Lampung, tapi juga nggak ngikut,” ujarnya.
Reporter: Isma Swastiningrum
Redaktur: Wulan