Home CATATAN KAKI Belajar Melawan Budaya Patriarki dari Anandhi

Belajar Melawan Budaya Patriarki dari Anandhi

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Wulan Agustina Pamungkas*

Berangkat dari beberapa ujaran melecehkan terhadap kaum yang suka nonton film India. Entah itu Gangga, ataupun Anandhi yang kini sudah absen di layar televisi. “Dasar perempuan, totonane ra mutu!” begitu salah satu ucapan seorang manusia berjenis kelamin laki-laki yang pernah terlintas di telinga saya terkait film yang sedang ditonton oleh seorang teman perempuan.

Anandhi, begitu judul film yang sedang ia saksikan. Jelas ujaran tersebut sempat membuat saya yang merupakan barisan dari penikmat film tersebut pun merasa sedikit jengah. Bukan karena ungkapan yang mengatakan saya perempuan, karena sudah jelas predikat perempuan yang melekat pada diri saya bukanlah hal yang rendah pun hina. Saya justru merasa bangga bahkan sangat bangga dengan predikat “per(empu)an tersebut.

Tontonan ra mutu” (Yang ditonton tidak berkualitas) ungkapan inilah yang membuat saya sedikit jengah. Jika si lelaki tersebut adalah kekasih saya, sudah tentu akan ada sesi debat pendapat yang akan saya buka terkait ujarannya tersebut. Sayang dia bukan siapa- siapa saya, dan Alhamdulillah lelaki macam ini juga bukan kekasih saya. Toh lelaki macam ini jelas tidak terlalu menarik untuk dilirik.

Tidak berkualitas, hal ini jelas akan menimbulkan pertanyaan bagi saya terkait ungkapan tersebut. Landasan dasar apa yang kiranya membuatnya mengungkapkan hal tersebut. Dan sayangnya manusia satu itu tidak terlalu cerdas untuk mengutarakan argumennya.

Anandhi, barangkali film ini sudah tidak asing di telinga pun mata para penikmat film India yang kerap kali melintas di stasiun televisi A**V. Mungkin sudah menjadi trend setter bahwa film India merupakan unggulan dari beberapa tanyangan yang di tayangkan di stasiun televisi tersebut.

Kembali lagi pada Anandhi, seorang gadis yang sudah dikawinkan dengan seorang laki-laki kaya sejak ia masih terbilang anak-anak. Dan mau tak mau ia yang saat itu belum tau apa-apa, harus mengamini bahwa ia sudah berjodoh (lebih tepatnya dijodohkan dengan seorang lelaki yang sama sekali belum ia kenal). Menjalani beberapa ritual dan ia sudah resmi menjadi seorang jodoh si lelaki yang bernama Jagdish.

Banyak hal yang dialami Anandhi dalam perjalanan hidupnya. Sebagai seorang perempuan yang kebetulan atau barangkali ditakdirkan berada di Jaitsar, India. Sudah bukan rahasia barangkali jika India dikenal sebagai negara yang patriarki. Bukan tanpa dasar saya mengatakan demikian. Pasalnya dari beberapa buku, literature, juga media yang pernah saya baca, India mempunyai adat- adat yang jika saya komentari akan saya katakan “mendiskriminasikan perempuan”. Seolah perempuan adalah serendah- rendahnya manusia yang Tuhan ciptakan. Hal tersebutlah yang diangkat dalam film dengan judul dan nama tokoh yang sama pula, Anandhi.

Film ini mengangkat bukan hanya kisah hidup si tokoh utama Anandhi, tetapi juga perempuan- perempuan lainnya yang juga terdampak adat istiadat yang sarat akan diskriminasi terhadap perempuan. Film Anandhi memunculkan berbagai konflik yang dialami perempuan di India. Misalnya tentang hak perempuan dalam memperoleh pendidikan. Anandhi kecil yang ingin memperoleh pendidikan sebagaimana jodohnya, Jagdish tidak diperbolehkan oleh orangtua maupun mertuanya. Padahal dalam konteks ini Anandhi diceritakan sebagai seorang perempuan yang cerdas dalam banyak hal. Ia juga selalu ingin mencari tau akan sesuatu yang tidak ia ketahui atau mengganjal di pikirannya. Barangkali ia berbakat menjadi seorang filsuf.

Kecerdasan Anandhi yang sudah terlihat sejak kecil ini justru dianggap menjadi momok bagi jodoh, mertua, bahkan orangtuanya. Kecerdasan Anandhi dianggap sebagai aib bagi jodohnya kelak. “Seorang isteri tidak boleh lebih pandai dari jodohnya (red.suami),” begitu ucapan dari nenek mertuanya. Anandhi sengaja tidak diperbolehkan bersekolah, bahkan menyentuh buku pelajaran. Lagi- lagi tradisi atau adat istiadat yang menjadi pembelaan akan tindakan diskriminasi tersebut. Seorang istri atau perempuan hanya pantas mengerjakan pekerjaan- pekerjaan domestik dan menyenangkan hati jodohnya. Adat istiadat tersebutlah yang berlaku dan diangkat dalam film tersebut.

Anandhi kecil pun tak ambil diam. Walaupun dilarang, ia dengan berani melakukan apa yang ia inginkan. Belajar melalui buku- buku yang Jagdish (jodohnya) miliki. Baginya, tidak rasional jika seorang Jagdish diperbolehkan dan bisa belajar, kenapa ia tidak. Bukankah ia dan jodohnya tersebut sama- sama manusia, yang hanya dibedakan oleh vagina dan penis yang dimiliki. Toh menurut Anandhi, laki-laki pun perempuan punya hak dan kewajiban yang sama dimata Dewa. Toh Dewa tak pernah melarangnya untuk belajar dan menjadi pintar.

Anandhi tumbuh dari gadis muda menjadi perempuan dewasa. Semakin kompleks permasalahan yang ia hadapi. Dari permasalahan pribadinya hingga permasalahan budayanya. Ia, bisa dikatakan menjadi seorang aktivis perempuan, yang memperjuangkan hak- hak dan mencoba mendobrak budaya atau adat istiadat yang mendiskriminasikan perempuan. Ia menolak adanya perjodohan dini, dimana dalam budayanya perjodohan adalah pernikahan. Sejak kecil seorang perempuan yang sudah dijodohkan mau tidak mau harus melayani suaminya (dalam hal ini bukan berarti pelayanan seksual). Perempuan tidak boleh menolak pinangan lelaki, suka maupun tak suka.

Dalam perjalanan cintanya dengan Jagdish, lelaki yang dijodohkan atau dinikahkan dengannya sejak kecil pun tidak serta merta berjalan mulus. Banyak hambatan yang ia temui. Anandhi yang sudah mencintai jodohnya tersebut, tiba- tiba dihadapkan pada kebohongan jodohnya. Jagdish diam- diam menikahi temannya di sekolah kedokteran. Awalnya Anandhi masih bertahan dengan pernikahannya. Selain ia masih mencintai jodohnya tersebut, ia juga dibenturkan oleh adat istiadat dimana hanya pihak lelaki yang mampu menceraikan istrinya.

Perceraian pun terjadi, atas segala yang diupayakan oleh Anandhi. Lagi-lagi statusnya yang kini sebagai janda juga mulai didiskriminasi. Cibiran demi cibiran ia terima dari masyarakat sekitar. Anandhi yang tidak berperilaku sebagaimana janda (dalam budaya india, seorang janda tidak boleh berhias diri. Memakai baju berwarna) pun mulai digunjing.

Anandhi dengan keberaniannya mulai mendobrak budaya- budaya yang dianggapnya tidak rasional tersebut. Ia juga mulai melebarkan sayapnya dengan mendirikan sekolah untuk perempuan. Memberikan pendidikan kepada perempuan- perempuan di Jaitsar. Walaupun dengan banyak kendala yang dihadapi, dari penolakan oleh banyak suami yang merasa isteri- isterinya atau anak perempuannya tidak seharusnya memperoleh pendidikan karena dianggap sekolah akan menelantarkan tugas mereka pada area domestik.

Apa yang Anandhi usahakan, lama- kelamaan berbuah manis, konsep kesetaraan yang ia bangun di desanya pun diterima dan berkembang. Perempuan- perempuan tanpa was- was bisa bersekolah dan memperoleh pendidikan. Janda- janda diberdayakan dan dibina menjadi pribadi- pribadi yang mandiri. Mereka memperoleh pendidikan dan keterampilan yang membuatnya mampu berdikari. Kekerasan terhadap perempuan yang kerap terjadi di desanya pun berangsur- angsur lenyap.

Well, sebenarnya masih sangat panjang jika saya harus teruskan argumen saya terkait film ini. Pada intinya, saya cuma mau berpendapat atau bisa dibilang melakukan pembelaan atas ujaran yang dilayangkan pada film Anandhi. Yah, saya memang salah satu orang yang tergabung dalam barisan penyuka film India, setelah mama saya tentunya.

Menurut saya, sebuah film tidak serta merta berdiri atau ada tanpa adanya refleksi dari budaya yang berkembang di daerah dimana film tersebut diproduksi. Seperti film perang yang diproduksi oleh Amerika, barangkali negara tersebut memang haus akan peperangan atau barangkali mereka memang tengah mempromosikan bagaimana kuatnya mereka dalam perang. Barangkali film horror  ‘nakal’ macam Suster Keramas, Hantu Telat Datang Bulan, Pocong… ah terlalu banyak sepertinya untuk disebutkan. Barangkali film tersebut juga merupakan refleksi dari masyarakat kita yang haus akan… (isi sendiri ya).

Sama halnya film Anandhi, yang menurut analisis saya juga sarat akan pesan- pesan moral yang terkandung di dalamnya. Kalau dibilang “nggak mutu” yah, saya bukan termasuk yang mengamini ucapan tersebut tentu. Dari film Anandhi ini, walaupun saya belum pernah datang langsung ke India, setidaknya saya sedikit tahu bagaimana budaya- budaya patriarki dan diskriminasi terhadap perempuan itu terjadi. Dan hal ini rupanya tidak hanya terjadi di Indonesia, India juga. Bahkan bisa saja negara lainnya.

Sebagai referensi bolehlah. Melengkapi buku maupun literature yang sudah dikaji. So, perbedaan gender sesungguhnya tidaklah masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities), begitu yang pernah saya baca pada buku Analisis Gender Dr. Mansour Fakih. Namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan. Dan solusi tertepat untuk ketidakadilan saya rasa “LAWAN!” begitu pula yang Anandhi lakukan.

Masih bilang nggak mutu? Yah barangkali kita harus ngaca, bisakah membuat film dengan episode sebanyak film Anandhi tersebut.

Sesungguhnya Allah menciptakan laki- laki dan perempuan bukan untuk saling dominasi mendominasi, tetapi saling melengkapi sayang.., seperti halnya Saya dan Kamu mas.. hahaha.[]

 

*Penulis merupakan anggota kasidahan ibu- ibu PKK Condong Catur. Hoby ngopi. Pengagum laki-laki gondrong yang gemar menulis dan berpuisi.