Lpmarena.com – Pengertian dan keberadaan Seni Islam (Islamic Art) sering kali menuai perdebatan. Seni ini dihuni oleh dua golongan besar, yakni mereka yang memiliki peran besar dalam memproduksi konten kesenian Islam dan mereka yang tidak yakin dengan kesenian Islam.
Hal inilah yang disampaikan Hasan Basri, aktivis Lesbumi dalam diskusi Islamic Art; Wacana dan Praktik, Kini yang diselenggarakan oleh Sanggar Nuun. Diskusi dilaksanakan di Ruang Teatrikal Pusat Bahasa UIN Sunan Kalijaga, Jumat (27/10). Acara ini merupakan rangkaian peringatan ulang tahun Sanggarr Nuun yang ke-25 bertajuk “Kalayoga”.
Tokoh Islamic Art Zueb mengatakan seni Islam adalah seni yang dilakukan oleh masyarakat Islam. Pada masyarakatnya, bukan keseniannya. Tokoh Islam lain Hamid Dabashi tahun 2013 menulis buku tipis berjudul Being a Muslim In The World. Dabashi menjelaskan ada kontruksi (dalam konteks fiqh) pada masyarakat Islam.
Di Indonesia ketika tahun 60-an terjadi polarisasi ideologi kesenian yang diwakili oleh Lekra, Manikebu, Lesbumi, dan PI. “Mereka punya manifesto tentang seni Islam. Salah satunya kaligrafi. Lesbumi manifestonya cenderung lebih lebar,” ujar Basri.
Pembicara kedua, Fauzan Santa selaku pekerja seni yang datang dari Aceh menceritakan tentang konsep-konsep kesenian yang ada di Aceh yang kental dengan nuansa ke-Islamannya. Di sana, undang-undang Islam adalah undang-undang fiqh.
“Kalau bicara masalah kesenian, ada proses kreatif di sana, tapi agama, fiqh, membatasinya. Ini problem masyarakat Islam juga,” ujar Fauzan. “Ada semacam pemikiran radikalisme konservatif, yang wajib ibadah,” tambahnya.
Yang terjadi di Aceh seperti ada pemutusan hubungan dengan sejarah silam. Pada awalnya, pengaruh dari tarekat yang masuk kesana. Ada kekuatan aliran seni di sana, salah satunya bergaya sufistik ala Hamzah Fansuri. Di Aceh pula terdapat tokoh masyarakat yang disebut Tengku. Tengku dianggap sebagai pahlawan saat konsep vertikal (semisal dengan GAM terjadi).
Berbicara Aceh, Basri menceritakan bahwa di Aceh ada seorang tokoh bernama Patih Hasan. Tokoh tersebut memberi kriteria tentang seni arsitektur. Mengkritik paham-paham kedaerahan (regionalisme) yang dibawa masing-masing seniman untuk mengunggulkan daerahnya. “Aspek-aspek lokasi, daerah, geografi masih abstrak,” kata Basri.
Basri mengatakan bahwa perdebatan tentang seni Islam tidak usah dilanjutkan. Sebab perdebatan tersebut juga punya ritme. Paling sering, perdebatan itu memunculkan perbandingan asimetris, yang pada akhirnya mengkontruksi kebudayaan yang arahnya lebih kepada kompetisi antar aliran seni.
Menurut Basri, masalah kesenian yang dihadapi saat ialah ini tak ada keinginan belajar. “Kebanyakan seniman terlalu bertele-tele, mengandalkan bakat alam. Seolah tak mau berumit-rumit,” katanya.
Maka yang terjadi adalah stagnasi. Ketika mencoba menafsir, mengkritik, mengarsip, jadi canggung. Apalagi di tengah kondisi global yang mengalami penyempitan ruang dan waktu. manusia masuk pada era globalisme.
Reporter: Isma Swastiningrum
Redaktur: Wulan