Published on April 28, 2019
Lpmarena.com– Ekonomi hijau adalah sebuah sistem yang meningkatkan kesejahteraan sosial sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan. Beberapa bentuk implementasi ekonomi hijau dapat kita lihat dari Corporate Social Responsibility (CSR), analisis dampak lingkungan (Amdal), dan lain sebagainya. Namun, direktur Watchdoc Documentary Dandhy Dwi Laksono mengkritisi konsep ekonomi tersebut.
Kritik Dandhy dilontarkan dalam diskusi publik bertajuk Menulis Ulang Indonesia yang digelar CRCS UGM di gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Jumat (26/4). Menurut Dandhy ekonomi hijau bagaimanapun berpeluang menciptakan konsentrasi dan sentralisasi kepemilikan alat produksi. Hal tersebutlah yang pada akhirnya berdampak pada sistem sosial dan lingkungan.
Sentralisasi akibat ekonomi hijau juga menjadi penyebab ketimpangan menganga lebar di Indonesia. Lantaran, banyak sekali properti publik yang dimonopoli segelintir orang. Dandhy mencontohkan air sebagai barang publik yang diprivatisasi.
“Hal ini diperparah dengan PDAM yang tidak kuasa mengelola air bersih,” Dandhy mencontohkan.
Dandhy mengemukakan ada lima penyebab utama ketimpangan. Pertama, fundamentalisme pasar atau kebebasan pasar dilandasi oleh kebebasan kepemilikan properti. Kebebasan memberi peluang bagi pemilik modal dominan melakukan privatisasi barang publik.
Perihal akses politik dan kebijakan yang menjadi penyebab kedua. Melalui konsentrasi kepemilikan tambang dalam film Sexy Killers. Akses terhadap kepemilikan tambang hanya dikuasai oleh para oligarkh. “Orang yang masih meributkan Capres yang jelas-jelas mendominasi akses itu diserahkan ke Rocky Gerung saja. Alat analisisnya sudah habis karena bahas copras-capres,”kata Dandhy.
Penyebab ketiga adalah upah rendah dan ketidakpastian kerja yang menggejala dalam bentuk buruh kontrak, outsourcing, insecured worker, dan lain-lain. Dikutip dari Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran karangan Muhtar Habibi, ketidakpastian kerja menjelma sektor informal yang tidak mendapatkan kepastian hukum dan jaminan sosial. Kerentanan buruh tidak pasti menyebabkan melemahnya posisi mereka di hadapan pemilik modal.
Penyebab lainnya adalah kesenjangan akses urban dan pedesaan. “Kita mungkin sering menemukan kopi terbaik ada di Starbucks, di kota. Bukan di tempat produksinya di pedesaan,” ujar Dandhy. Sistem perpajakan yang lemah juga turut menyumbang kesenjangan ekonomi yang ada. Penyebab terakhir, adalah konsentrasi kepemilikan tanah yang menggejala beberapa tahun belakangan dan diperparah dengan kasus sengketa lahan.
Melihat berbagai faktor ketimpangan tersebut, Dandhy menawarkan cara ‘menulis ulang Indonesia’, yakni dengan mengutamakan hak hidup, lingkungan hidup, mitigasi bencana, pangan dan energi, dan gaya hidup dengan paradigma alternatif, Indonesia yang lebih baik dapat diwujudkan.
Cara pandang alternatif tersebut dapat dilihat dari Ekspedisi Indonesia Biru (EIB). Beberapa pandangan alternatif dalam EIB dapat dilihat dalam film. Contohnya gaya hidup dalam film Boti. Masyarakat lokal dalam film tersebut menggunakan sampo dari dedaunan yang mampu membersihkan rambut dari kotoran, asam, dan lain sebagainya. Terkait energi, Dandhy pernah meliput koperasi kincir angin di pulau Sumbawa. Maka dari itu, Ekspedisi Indonesia Biru adalah bentuk literasi visual untuk mewujudkan Indonesia yang alternatif .
“It’s not a movie. It’s a movement,” tegas Dandhy.
Reporter: Sidratul Muntaha
Redaktur: Syakirun Ni’am