Home BERITAKABAR KAMPUSBilik Kampus Perempuan dalam Terorisme, Korban atau Aktor?

Perempuan dalam Terorisme, Korban atau Aktor?

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Published on February 27, 2019

Lpmarena.com- Perempuan menjadi sosok yang mendapat perhatian dalam fenomena terorisme di tanah air belakangan ini. Mereka terlibat dalam sejumlah kasus, mulai dari mensuplai logistik sampai melakukan bom bunuh diri.

Leebarty Taskarina, penulis buku Perempuan dan Terorisme menceritakan pengalamannya menjadi anggota BANPT di Jakarta. Perempuan yang ia temui menceritakan bagaimana mereka terjebak dalam paham radikal. Mereka direkrut sebagai tenaga penyuplai makanan bagi milisi dan teroris.

“Perempuan lebih banyak dicari karena tidak terlalu dicurigai,” kata Leebarty dalam acara bedah bukunya yang digelar di lantai 2 Gedung Pusat Studi UIN Sunan Kalijaga, Rabu (10/02).

Selain Leebarty, diskusi ini jugamenghadirkan M Ali Usman, peneliti Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga dan Inayah Rohmaniyah, aktivis perempuan sekaligus Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam.

M Ali Usman mengatakan, merekrut perempuan akan memudahkan teroris dalam melancarkan aksinya. Sebab, sejauh ini, jika dibanding dengan laki-laki, dalam kasus terorisme perempuan kurang diwaspadai.

“Perempuan sangat berguna saat aksi bom bunuh diri dan sebagai penyuplai makanan para milisi. Peran perempuan tak banyak dicurigai jadi ini alasan mereka merekrut perempuan,” ungkapnya.

Usman merujuk penelitian Lies Marcos, dalam persembunyian teroris legendaris Indonesia, Noordin M Top, di rumah salah satu muridnya, ada sosok perempuan yang bertugas menyuplai makanan. Perempuan tersebut merupakan istri murid Noordin. Ia diberi tugas menyediakan makanan tiga kali sehari untuk Noordin yang bersembunyi di bilik kamar. Hal yang mengejutkan, perempuan tersebut tidak mengatahui orang di dalam bilik kamarnya adalah buronan polisi.

Begitu pula dengan kasus bom Surabaya yang terjadi tahun lalu, satu keluarga menjadi agen teroris. Seorang ibu memiliki peran yang besar dalam operasi ini. Pemahaman agama yang eksklusif dinilai menjadi penyebabnya. Sehingga, menurut Lies, perempuan harus memiliki critical thinking yang lebih jeli terhadap gerakan radikal semacam itu. Hal ini tidak lain karena perempuan memiliki peran yang strategis dalam keluarga.

Perempuan menjadi korban dan aktor dalam waktu bersamaan. “Mereka tak sekadar memiliki impian untuk mencium bau surga melalui suaminya belaka, melainkan melalui perannya sendiri dengan membawa anak-anak mereka, dengan memanipulasi terhadap suatu keyakinan,” tulis Lies.

Meskipun dalam relasi dengan suami posisi perempuan cenderung subordinat tapi dalam hubungan dengan anak, seorang istri memiliki peran dan kekuasaan yang lebih kuat. Posisi perempuan yang rendah dan tidak memiliki otoritas ketika berhubungan dengan suami, akan berubah posisi menjadi penting dan memiliki otoritas ketika berkaitan dengan persoalan anak. Sebab, terdapat teks yang menempatkan derajat seorang ibu di depan anak.

Kasus lain adalah Dian Yulia Novi, seorang TKW yang merencankan meledakkan bom panci di Istana Negara. Begitu juga dengan kasus pelajar Dita Siska Milenia yang merencanakan penusukan di daerah Depok.

Melihat ini, Inayah Rohmaniyah memandang peran keluarga dalam membentuk cara pandang tentang perdamaian anak sangat penting. Begitu juga peran ibu dalam suatu keluarga, ia bisa mengontrol anak-anaknya dalam mengonsumsi konten di internet. Perempuan menjadi agen penyebar toleransi dan perdamaian serta menanamkan nilai-nilai agama yang benar.

“Perempuan harus memiliki critical thinking. Kebiasaan agama-agama mengajarkan secara indoktinatif sehingga kita kurang memiliki jiwa critical thinking,” kata Inayah.

 

Kontributor: Mifta Kharisma

Redaktur: Syakirun Ni’am