Paranoia Radikalisme di Kampus
Musim paranoia radikalisme di kampus belum berlalu.
Lpmarena.com– Berbagai upaya dilakukan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk menangkal paham yang dianggap radikal. Ditandai dengan digelarnya sosialisasi pencegahan radikalisme pada hari terakhir Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) Rabu, (28/08).
Sosialisasi tersebut diarahkan langsung oleh perwakilan dari Polri, Brigjen (Pol) Merdisyam,
Merdisyam yang juga menjabat sebagai Direktur Sosial Budaya Badan Intelijen Polri (Baintelkam Polri) ini memaparkan bahwa radikalisme di Perguruan Tinggi (PT) dapat menyasar siapapun khususnya bagi mahasiswa baru.
“Indonesia terdiri dari berbagai suku, adat, dan budaya, terutama agama ini akan berpotensi menimbulkan konflik dan perpecahan yang akan mengancam keutuhan negara,” papar Merdisyam.
Ia menyampaikan bahwa ancaman saat ini menjadi multidimensi. Tidak hanya terkait ancaman fisik, tapi juga ancaman siber di tengah era globalisasi yang sedang berkembang pesat seperti saat ini.
“Ancaman tidak lagi berupa fisik terkait dengan masalah terorisme, radikalisme, separatis dan ideologi, melainkan sudah bersifat multidimensi dari seluruh aspek dunia,” kata Merdisyam.
Merdisyam mengklaim bahwa kondisi tersebut dapat menimbulkan kejahatan disertai dengan memudarnya nilai-nilai kebangsaan dan Pancasila. Selain itu, ia juga menganggap adanya kelompok-kelompok yang berusaha memaksakan ideologi tertentu sehingga melemahkan kekuatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Persaingan antarbangsa di dunia ini yang menginginkan NKRI menjadi lemah dan terpecah. Dan akhirnya muncul pemudaran nilai-nilai bangsa,” jelasnya.
Merespon upaya pencegahan radikalisme tersebut, Devanda Tasya Nuranita, mahasiswa baru Ilmu Komunikasi, memaparkan bahwa hal itu merupakan bentuk pembungkaman. Membatasi gerak mahasiswa untuk berekspresi dan menciptakan ketakutan-ketakutan tertentu terkait dengan macam-macam ideologi.
“Menurutku, mahasiswa dibungkam, mahasiswa jadi takut berekspresi, ditakut-takuti dengan paham-paham. Akhirnya mahasiswa harus mikir dua kali untuk mengadakan aksi,” tulis Devanda saat dihubungi ARENA melalui WhatsApp, Rabu (28/08).
Hal senada diungkapkan oleh Bulan (bukan nama sebenarnya), mahasiswa baru Prodi Psikologi, Fakultas Fishum. Ia mengatakan bahwa sosilisasi tersebut merupakan hal yang penting. Namun, sejak awal pendaftaran ulang, hal-hal terkait radikalisme sudah disinggung berulang kali.
“Dari awal PBAK sudah dijejelin hal-hal kaya gitu. Jadinya kurang efektif, soalnya langsung dijejelin selama PBAK full,” ujar Bulan ketika ditemui ARENA seusai acara sosialisasi.
Banyaknya rangkaian acara PBAK menjadi salah satu alasan sosialisasi tersebut kurang tepat sasaran. Keadaan mahasiswa baru yang kelelahan, namun dituntut mengikuti acara dari awal sampai akhir membuat sosialisasi itu tidak benar-benar sampai kepada mahasiswa.
“Jadinya malas, cuma ngantuk saja. Bagiku pribadi enggak penting, masuk telinga kanan keluar telinga kiri,” pungkas Bulan.
Stigma Berbuntut Pembungkaman di Universitas
Perihal pembungkaman sivitas akademika melalui stigmatisasi sekaligus persekusi terhadap orang-orang yang dituduh radikal dan anti-Pancasila memang marak terjadi.
Misalnya, Suteki, dosen Pancasila Universitas Diponegoro (Undip), dilansir dari Tirto.id, dicabut jabatannya sebagai Kepala Program Studi Magister Hukum, Ketua Senat di Fakultas Hukum, dan anggota senat akademik. Jabatannya dicopot dengan alasan melanggar peraturan pemerintah 53/2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil.
Belakangan, Suteki mengetahui bahwa pencabutan jabatannya berkaitan dengan kehadiran dia sebagi ahli dalam uji yudisial Perppu Ormas. Peraturan tersebut menjadi landasan pembubaran organisasi kemasyarakatan yang dianggap radikal, dalam hal ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Saat itu, posisi Suteki berada di seberang pemerintah perihal Perppu Ormas. Ia lantas dituding sebagai HTI dan anti-Pancasila
Selain kasus tersebut, UIN Sunan Kalijaga juga pernah mengeluarkan peraturan tentang pembinaan mahasiswi bercadar dalam edaran B-1301/Un.02/R/AK.00.3/02/2018.
Dalam esai berjudul Kampus Kita Mabuk Pancasila yang diunggah ARENA pada 19 Juli 2019, Bagus Nur Akbar, penulis, mengatakan aturan tersebut menimbulkan stigma bahwa mahasiswi bercadar menganut paham anti-Pancasila sehingga perlu dibina.
Lebih lanjut, Bagus juga menulis bahwa kebijakan yang berujung pada stigmatisasi tersebut justru menciderai semangat Bhinekal Tunggal Ika.
“Kebijakan Yudian tersebut justru bertentangan dengan nilai Pancasila Yudian, semakin menguatkan jarak antara ‘kami’ yang Pancasila dan ‘mereka’ yang dianggap anti pancasila.” tulis Bagus.
Sumber foto: http://uin-suka.ac.id/
Reporter: Sekar Jatiningrum
Redaktur: Zaim Yunus