Lpmarena.com– Aliansi Solidaritas untuk Rakyat mengadakan aksi damai bertema “Bebaskan Tahanan Politik Papua Tanpa Syarat!” di Monumen Tugu Yogyakarta, Senin (21/10). Selain di Yogya, berbagai kota lain juga mengadakan aksi serupa, yaitu Kupang, Makassar, Palu, Gorontalo Malang, Bandung dan Jakarta.
Rico Tude, Humas Aliansi Solidaritas untuk Rakyat, mengatakan bahwa aksi ini diadakan untuk mendesak pemerintah dan aparatur negara. Ia memaparkan bahwa sejak Agustus lalu, aktivis Papua yang kerap melakukan aksi protes terhadap rasisme terus dibungkam. Padahal, menurut Rico, aksi-aksi yang dilaksanakan aktivis tersebut seringkali berjalan damai.
“Mereka dituduh dengan pasal-pasal makar yang sebenarnya ini kami anggap mengancam demokrasi, mengancam kebebasan berpendapat, dan mengancam penyampaian kritik.” tegas Rico.
Lebih lanjut, Rico menuturkan terkait penjeratan Surya Anta menggunakan pasal makar. Surya Anta sendiri adalah orang non Papua yang kerap menyuarakan tentang diskriminasi yang menimpa orang Papua.
Dilansir dari Tirto.id, hingga saat ini Surya Anta dan aktivis Papua lain yang ditahan bersamanya di Mako Brimob sakit dan tak dirawat. Sel Surya Anta justru malah disetel lagu kebangsaan dan diperdengarkan di seluruh penjuru Mako Brimob sepanjang hari.
Diskriminasi Rasial dan Struktural
Menurut Ahmad Jamaludin, mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, jerat pasal makar terhadap Surya Anta dan aktivis Papua lainnya adalah perlakuan “khusus” yang tak bisa tidak disebut diskriminasi.
“Sederhananya, diskriminasi adalah perlakuan berbeda atas orang atau kelompok karena latar belakang ras, kelompok, seksualitas, dan umur,” jelas Jamal dalam artikelnya berjudul Diskriminasi Papua dan Retaknya Komunitas Terbayang Bernama Indonesia.
Jamal menulis ada dua jenis diskriminasi yang sering menimpa aktivis atau orang Papua. Pertama adalah diskriminasi rasial. Menurut Jamal, patut diakui bahwa sebagian masyarakat kita berpandangan bahwa ras tertentu lebih rendah dan boleh diperlakukan semena-mena.
Sebut saja, mahasiswa Papua yang sulit mendapatkan indekos dan tempat tinggal di Yogya. Sebagian pengelola indekos menolak mahasiswa Papua dengan alasan orang Papua sering “mabuk dan bikin keributan”.
Jenis kedua ialah diskriminasi struktural, yaitu diskriminasi dengan pola tertentu yang dilakukan aparat negara terhadap orang Papua. Menurut amatan Jamal, diskriminasi struktural dapat dilihat, misalnya, ketika hanya asrama Papua yang paling sering “diamankan” polisi. 7 truk Dalmas, 4 mobil Sabara, dan puluhan motor Brimob bahkan dikerahkan untuk “mengamankan” pentas seni dan budaya di Asrama Mahasiswa Papua.
“Maraknya tindakan diskriminasi dewasa ini menegaskan bahwa pembedaan berdasarkan kelompok, ras hingga agama adalah masalah kita bersama,” tulis Jamal.
Reporter: Adrean Ibnu Awwalie (Magang)
Redaktur: Sidra