Home BERITA Tak Digubris Gubernur, Serikat Buruh Yogyakarta Menyurati Presiden

Tak Digubris Gubernur, Serikat Buruh Yogyakarta Menyurati Presiden

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Bentuk paling nyata menikmati keistimewaan Yogyakarta bagi kaum buruh adalah pemberian upah minimum yang layak.

Lpmarena.com- Serikat buruh Yogyakarta menyurati Presiden Joko Widodo. Kata Junet Mustofa, perwakilan Serikat Pekerja Nasional (SPN), surat tersebut sebagai mosi tidak percaya kepada Gubernur DIY yang tak kunjung menggubris aspirasi buruh.

“Itu (surat-red) menjadi mosi tidak percaya kami kepada Gubernur, supaya nanti dari pihak pemerintah, Presiden Jokowi, bisa menegur Gubernur DIY yang sampai saat ini tidak bisa merespon aspirasi dari kami,” jelas Junet.

Surat dikirimkan melalui Kantor Pos, selepas aksi budaya bertajuk “Mosi Tidak Percaya Kepada Elit Politik, dan PP 78/2015 Tentang Pengupahan” di Kantor Gubernur Yogyakarta, Jalan Malioboro, Kamis (31/10).

Senada dengan Junet, Reyhan Majid juga berharap melalui surat tersebut Jokowi menegur Gubernur Yogyakarta secara struktural terkait kebijakan dan aturan pengupahan.

“Berharap dengan menyurati Presiden, pemerintah pusat melalui Presiden, bisa membaca dan memahami kondisi buruh, khususnya di Yogyakarta,” ujar Reyhan, koordinator aksi.

Isi suratnya berupa penolakan mekanisme penetapan Upah Minumum Provinsi (UMP) yang menggunakan Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2018. Selain itu, mereka juga menuntut upah dengan mengacu Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Demi hidup layak kaum buruh, kata Reyhan, penetapan upah harus berdasar pada KHL.

Lebih lanjut, Reyhan menerangkan bahwa tuntutan pokok dalam aksi tersebut adalah mekanisme penetapan upah. Menurutnya, dengan mengkritik metode pengupahan maka akan berdampak besar terhadap penetapan upah layak bagi kaum buruh.

Selain melayangkan surat ke Presiden, Aksi Budaya ini juga meninggalkan simbol telur besar di depan Kantor Gubernur. Menurut Iryad Ade Irawan, perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, telur itu merupakan kritik simbolik terhadap ketetapan upah Yogyayarta yang selalu di bawah Kebutuhan Hidup Layak.

“Selama sepuluh tahun belakangan, Yogyakarta belum ‘pecah telur’. Artinya, upah yang diperoleh buruh Yogyakarta selalu di bawah KHL,” terang Irsyad kepada wartawan.

“Jadi, kami berharap akan ada semacam pecah telur yang mana pada tahun 2020 upah minimumnya bisa sesuai dengan KHL,” lanjut Irsyad.

Menurut Irsyad, kenaikan UMR Yogyakarta beberapa tahun belakangan sangat tidak signifikan. “Ya, paling Rp.100.000. Padahal, sudah jelas Yogyakarta ini jadi salah satu daerah yang katanya istimewa, tapi soal upah buruhnya paling rendah se-Indonesia,” terangnya.

Reyhan juga menambahkan bahwa seharusnya keistimewaan Yogyakarta tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Mestinya mencakup seluruh komponen di dalamnya, termasuk kaum buruh.

“Bentuk paling nyata menikmati keistimewaan Yogyakarta bagi kaum buruh adalah pemberian upah minimum yang layak,” pungkas Reyhan.

Aksi Budaya tersebut merupakan kelanjutan dari evaluasi audiensi yang dilakukan Serikat buruh Yogyakarta dengan DPRD DIY beberapa waktu lalu: “Buruh Jogja Tuntut Kenaikan Upah 2020 Mengacu KHL”.

Serikat buruh yang tergabung dalam aliansi juga masih sama: Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Pekerja Nasional ( SPN), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan beberapa aliansi serikat pekerja lainya.

Reporter: Astri Novita

Redaktur: Hedi