Oleh: Ajid FM
Disadari atau tidak, manusia hidup di atas kuburan masa lalu. Kehidupan bukan sekadar hari ini seperti kemarin atau hari esok tak lebih beruntung dari hari ini. Siap atau tidak, masa lalu akan hadir dalam bentuk paling indah atau kelewat keparat. Dan barangkali, syarat menjadi indah adalah hadir di waktu yang tepat.
Masa lalu bisa saja berwujud sore hari dengan sedikit sinar matahari; awan berbentuk gumpalan kapas yang membentang horizontal dan terlihat seperti permen kapas; kita berjalan di antara rel kereta api, bergandengan tangan, mendengarkan Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa, dan entah mengapa, gerimis tiba-tiba turun.
Sialnya, bagi sebagaian orang, nasib baik hadir seperti mukjizat, sangat langka.
Sebab di lain waktu, kenyataan meminjam orang tua pacar kita agar kita tidak saling bertemu, saling berkabar, dan menelusuri rel kereta api lagi. Sebab, tidak ada orang tua yang membiarkan anak perempuan satu-satunya menderita di kemudian hari. Barangkali, teman saya dari Semarang adalah perwujudan dari semua karakter yang terlahir untuk kalah dalam semua novel. Setidaknya semenjak ia berpacaran sampai kenyataan memisahkannya, ia tidak pernah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak. Ia kembali ke Semarang, dengan semangat yang sama, tetap meredup.
Teman saya adalah salah satu di antara jutaan jiwa yang bekeja di sektor informal. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sektor informal mendominasi pekerjaan di Indonesia. Pada Agustus 2019, tercatat 70,49 juta jiwa penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor informal. Sekitar 55,72% dari total angkatan kerja.
Sebagian besar, pekerja informal adalah pekerja rentan yang berpendapatan sedikit, tanpa jaminan sosial dan regulasi hukum yang jelas dari pemerintah. Muhtar Habibi, dalam Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran (2016), menganggap sektor informal sejalan dan sejalin dengan laju neoliberalisme. Struktur negara neoliberal berdampak serius pada model pembagian kerja.
Muhtar Habibi menggunakan konsepsi Marxisme klasik tentang proletarianisasi dan semi-proletarianisasi. Konsepsi tersebut menyatakan sektor informal sebagai upaya kapitalisme untuk melepaskan pekerja dari alat produksinya. Alhasil, banyak buruh yang tidak terserap dalam roda produksi formal, terpaksa bekerja di sektor informal yang rentan.
Pekerja rentan memang selalu dibutuhkan kapitalisme sebagai tenaga buruh cadangan, untuk dijadikan pelemah daya tawar buruh dalam persoalan upah. Minimnya lapangan kerja formal inilah yang kemudian menyebabkan perlakuan terhadap pekerja di sektor informal semakin tidak manusiawi. Misalnya, beban kerja buruh-buruh di sektor informal begitu berat tanpa payung hukum yang jelas, jaminan kesehatan, sosial dan hari tua.
Tentu, jika berbicara soal sektor informal sangatlah luas, bisa dibilang semua relasi kerja yang tidak berbadan hukum dan hanya berdasarkan asas kesepakatan. Sangat banyak disekeliling kita, buruh tani, buruh ‘dekor’, dan tentu saja buruh warung kopi (warkop), yang barangkali sangat familiar di kalangan mahasiswa.
Saya meringkuk di kamas kos, saat membaca reportase yang berjudul Eksploitasi Pekerja Mahasiswa di Warkop yang dimuat lpmarena.com. Saya melihat diri saya lima tahun yang lalu dalam reportase tersebut. Masa paling menyedihkan, terasing dari kawan, buku, dan kekasih. Selesai membaca, secara spontan saya berucap, “Badrun, Bassar, tetaplah berpikir untuk hidup. Kalian kawanku”.
Pada akhir semester kedua, di puncak kejumudan hidup, saya memutuskan berhenti bekerja di salah satu warkop di Nologaten. Bukan karena mempunyai penghasilan lain yang lebih layak, melainkan karena sudah tidak tahan saja dengan semua beban kerja di warkop. Setidaknya, saya sudah tidak perlu tidur sebentar setelah kuliah, bangun sebelum magrib dan bekerja ketika orang pada umumnya berdoa dengan khusyuk, menonton acara televisi terbaik, atau membaca Ensiklopedia hewan-hewan. Kemudian pulang pukul dua dini hari, waktunya orang-orang saleh bangun lagi untuk melantunkan doa-doa terbaik. Dan tentu saja, gaji 400 ribu per bulan adalah nominal paling keterlaluan yang saya dapat untuk bertahan hidup di Jogja.
Orang-orang memang cepat jatuh hati pada kemiskinan dan selalu ingin menjadi pahlawan. Kemiskinan, bagi mereka, si bos atau siapapun yang berjarak dengan kemiskinan, bagaikan bisikan, “selamatkan kami, selamatkan kami,” dan tanpa diinginkan mereka menggumamkan kalimat-kalimat nasihat, mengucapkan harapan-harapan yang kekanak-kanakan.
Ingin menjadi juru selamat inilah yang menurut saya keliru, sering dipakai dalih untuk memperkerjakan mahasiswa seenak jidatnya. Mahasiswa yang kurang beruntung hidupnya selalu berhadapan dengan pilihan kerja dan tuntutan menyelesaikan studi kampus. Si bos kerap hadir dengan kata-kata, “Saya ingin menolongmu, agar kuliah jalan, keuangan jalan,”dengan beban kerja budak, relasi seolah-olah keluarga, dan tentu saja dengan gaji yang tidak seberapa. Dan hal sejenis ini sangat akrab bagi pekerja-pekerja di warkop.
Seringkali, dalam bentuk kelewat keparat, masa lalu kerap hadir dan membikin kita semakin payah. Sebab, jarak antar masa lalu dan masa sekarang yang jauh ternyata menghadapkan kita pada situasi yang sama: sama-sama payah. Ingatan tentang diri yang menyedihkan lima tahun lalu hadir begitu saja: ketika saya memutuskan untuk berhenti bekerja di warung kopi, dengan satu keyakinan bahwa bekerja di warkop hanya cukup untuk hidup, tetapi tidak bisa untuk benar-benar hidup. Melupakan mungkin cukup bisa untuk menghilangkan nyeri luka atau barangkali menyembuhkannya, tapi tidak dengan bekas luka. Ia tetap ada untuk kelak ditagih penjelasan atasnya. Penjelasan itu berakar di kuburan masa lalu, bersanding dengan apa yang kita duga sebagai raksasa kenangan buruk. Pada titik inilah barangkali hidup barangkali terlihat utuh.
*Ajid FM, mahasiswa limit.
Ilustrator: Dzaky