Home KUPAS Ada yang Istimewa Tapi Bukan Yogyakarta

Ada yang Istimewa Tapi Bukan Yogyakarta

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

“Vigilantisme terhadap minoritas di Yogyakarta adalah imbas dari dinamika sosial struktural yang terkait dengan apa yang disebut sebagai ‘Krisis Keistimewaaan’.” (hlm. 30)

Hairus Salim dan Iqbal Ahnaf mempertanyakan ulang keistimewaaan yang disandang oleh Yogyakarta dalam bukunya, Krisis Keistimewaan: Kekerasan Terhadap Minoritas di Yogyakarta. Nampaknya, mereka tidak takut jika warga Yogyakarta ramai-ramai menyuruhnya keluar dari kota tersebut. Sebab di dalam keistimewaan Yogyakarta, tersimpan berbagai kesemrawutan.

Krisis keistimewaan Yogyakarta bermula pada sistem desentralisasi dan industrialisasi yang menciptakan pergeseran dalam ranah sosial dan struktural. Ia berdampak pada terciptanya kesempatan politik bagi kelompok paramiliter untuk memenuhi kepentingannya. Atas dasar itu, tulisan ini akan menjabarkan korban dalam dinamika struktural yakni kelompok minoritas

Minoritas dalam buku Krisis Keistimewaan merujuk pada kelompok karakter kultural, asal-usul keyakinan yang mandapat perlakuan diskriminatif dan tindakan kekerasan. Mereka dengan karakternya berada dalam posisi lemah dan rentan menjadi korban.

Minoritas di Yogyakarta nasibnya tidak selalu mujur seperti izin untuk investasi. Keberadaannya kapanpun bisa langsung didepak. Padahal Yogyakarta mendeklarasikan dirinya sebagai City of Tolerance yang menambah keistimewaannya. Salim dan Iqbal sedang menggugat predikat itu semua dalam bukunya.

Menggugat Keistimewaan Yogyakarta

Tesis yang dibangun dalam buku Krisis Keistimewaan itu menempatkan posisi negara sebagai aktor utama. Pergeseran sistem pemerintahan otoriter menuju sistem reformasi juga mempengaruhi dinamika ekonomi dan politik. Di Yogyakartra sendiri, gejolak konflik politik mulai muncul sejak tahun 1990 dan awal tahun 2000. Bermula dari keluarnya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah ditentukan melalui mekanisme pemilihan. Jelas sistem tersebut berbanding terbalik dengan Yogyakarta yang menggunakan sistem penetapan Sultan sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakil Gubernur. Undang-undang ini dipandang menganulir status keistimewaan DIY.

Sebagian rakyat Yogyakarta memilih sistem penetapan. Ada tiga alasan pokok yang melandasinya. Pertama, politik balas budi. Sebagai contoh Paku Alam telah memberikan dan meminjamkan tanahnya untuk digarap dan digunakan rakyat sebagai tempat penghidupan. Kedua, alasan historis. Kesultanan dan Pakualaman sebelum Indonesia merdeka adalah wilayah berdaulat yang banyak membantu, berjuang dan akhirnya bergabung dengan Indonesia merdeka. Ketiga, stabilitas sosial, politik dan ekonomi karena Yogyakarta dianggap sebagai wilayah yang rukun, damai, dan tenteram. Pemilihan kepala daerah dipandang akan menimbulkan instabilitas dan konflik horizontal. Mekanisme pemilihan akan memunculkan resiko yang lebih riskan.

Peran Keraton pada level ini, bukan hanya mengurusi tentang kebudayaan, ketentraman dan kenyamanan di Yogyakarta. Perannya bukan hanya menjadi penengah, melainkan juga sebagai pemerintahan. Akibatnya pemerintahan keraton menjadi lemah dan tidak memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan warga.

Bentuk keistimewaan yang perlu diperhatikan lagi yakni “Sabda Raja.” Pada Jumat 6 Maret 2015 di Bangsal Kencana, Sultan membacakan delapan poin Sabda. Pada intinya, Raja akan diteruskan oleh Puteri Sultan dan gelar Kalifatullah berganti mejadi Panoto Gomo (Pengatur Agama). Hal ini menimbulkan konflik di dalam keluarga keraton terkait penerus Raja. Sebab, seorang perempuan tidak pernah memimpin keraton sebelumnya dan dianggap melanggar adat. Dalam waktu yang sama, terjadi penolakan oleh kelompok yang tidak sepakat dengan digantinya Kalifatullah.

Krisis Keistimewaan selanjutnya yakni masalah agraria dan masifnya pembangunan hotel, mal, dan apartemen. Status tanah di wilayah Yogyakarta mengikuti peraturan keraton dan negara. Tanah milik keraton dikenal sebagai Sultan Ground (SG) mengacu bekas wilayah kekuasaan Kesultanan dan Pakualaman Ground (PG) mengacu bekas wilayah kekuasaan Pakualaman. Hal ini dianggap ambigu.

Pada tahun 1984, masa pemerintahan Gubernur Hamengku Buwono IX, terdapat keputusan DPRD Nomor 3/K/DPRD/1984 tentang Pernyataan Pemerintah Propinsi DIY untuk memberlakukan secara penuh UUPA di DIY dalam bentuk penghapusan tanah-tanah swapraja. Pemerintah DIY juga meminta presiden mengeluarkan Keppres No 33 Tahun 1984 tentang pemberlakuan secara penuh UUPA di DIY.

Dengan adanya Undang-undang Keistimewaan, Sultan dan Pakualaman dapat menggunakan tanah-tanah yang dinyatakan SG/PAG. Akibatnya konflik terjadi dimana-mana. Seperti yang terjadi antara pedagang kaki lima dan pengusaha kaya Eka Aryawan di Gondomanan. Mereka harus berebut status peminjaman tanah milik keraton.

Contoh lain di Pantai Watukodok, warga juga harus memperjuangkan status tanah yang sudah ditempati sekian lama sebab akan direbut oleh investor yang bernama Erni asal Jakarta. Tanpa perlawanan warga, perebutan ruang, air, cahaya, ekonomi antara rakyat biasa dengan pengusaha hotel, mal dan apartemen terus terjadi. Imbasnya, memperparah nasib rakyat kecil.

Dari sekian gambaran konflik yang terjadi, makna keistimewaan yang dimiliki Yogyakarta dipertanyakan oleh beberapa kalangan. Apakah keistimewaan itu juga dimiliki oleh orang-orang minoritas yang terancam kehidupannya. Keraton dengan kewenangannya tidak bisa menjadi penengah. Keraton dan pemerintahan terjun dalam kontestasi. Artinya, mengkritik pemerintah sama saja mengkritik keraton. Hal ini mengakibatkan wibawa keraton turun.

Akibatnya, terdapat kelompok yang menentang kebijakan Sultan seperti penggantian Kalifatullah. Ada juga kelompok yang memilih diam ketika pembangunan hotel, mal dan apartemen sangat masif. Ada beberapa Kelompok milisi sipil yang memanfaatkan isu-isu tertentu demi menegakkan eksistensi dalam kontestasi ekonomi-politik. Akibatnya tercipta pola-pola relasi yang membuat kelompok-kelompok milisi sipil seringkali leluasa dalam melakukan aksi-aksi vigilantisme terhadap kaum minoritas. Peristiwa tindakan-tindakan intoleran yang massif dalam tahun-tahun terakhir ini, bisa diasumsikan secara langsung maupun tidak langsung akibat terjadinya ‘krisis keistimewaan’.

Vigilantisme Kepada Minoritas

Vigilantisme adalah tindakan main hakim oleh kelompok massa berdasarkan pada penilaian mereka terhadap apa yang salah dan benar (Hlm 3). Vigilantisme pada dasarnya adalah pemaksaan kehendak dengan cara kekerasan, intimidasi atau tekanan massa. Kelompok milisi sipil terkadang melakukan aksi kekerasan dengan dalih membantu penegakan hukum. Tetapi tanpa kewenangan yang sah, tindakan demikian bisa menciptakan situasi tidak aman di publik. Sebab, kelompok massa bisa memenuhi kepentingannya dengan cara intimidasi dan kekerasan.

Korban dari aksi vigilantisme adalah kaum minoritas. Kelompok yang sering menjadi korban seperti Kristen, Ahmadiyah, Syiah, LGBT dan Komunis. Dalam rentang waktu tahun 2000-2020 terdapat 84 kasus terkait kekerasan. Wahid Institute menyebut pada tahun 2014 Yogyakarta sebagai daerah nomor 2  yang paling tidak toleran. Aktor yang banyak melakukan kekerasan antaranya Forum Umat Islam (FUI) dan Front Jihad Islam (FJI).

FUI berdiri sejak 2012. Terdiri dari aliansi Mujahiddin, Laskar Jihad, Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), Pemuda Muhammadiyah, Kokam Muhammadiyah, Remaja Masjid, dan lain-lain. Kelompok tersebut memiliki basis di kampung yang disebut sebagai Greenzone seperti Karangkajen, Kauman, Kotagede, Kuncen, dan lain-lain. Sedangkan, FJI mulai ada pada 2006 dideklarasikan oleh Ustaz Abu Bakar Baasyir dengan motif menegakkan amar makruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan, mencegah kebatilan). Keduanya memiliki kedekatan dengan GPK dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Baik FUI dan FJI memiliki isu yang tidak jauh berbeda untuk diperangi. Buku Krisis Keistimewaan menyebutkan ada lima isu. Pertama, Pekat atau pencegahan kemaksiatan seperti perjudian, prostitusi, panti pijat, penjualan minuman keras, dan lain-lain. Kedua, penanganan kaum sesat seperti, Syiah, Ahmadiyah, Gafatar dan lain-lain.

Ketiga, Kristenisasi saat pendirian gereja dan penyiaran agama kristen berupa bantuan makan dan beasiswa. Baik FUI dan FJI melakukan tindakan penyegelan dan penolakan acara-acara keagamaan kristen. Sasaran pertama mereka pada kasus ini adalah administrasi. Selain konsolidasi melalui media komunikasi, mereka intens mempengaruhi masyarakat untuk menolak keras dengan alasan orang kristen di daerah tersebut tidak seberapa ketimbang muslim.

Keempat, isu LGBT. FUI menganggap LGBT sebagai penyakit menular. Pemberian ruang untuk LGBT akan memperbanyak jumlahnya. Kelima, komunisme. Baik buku maupun film yang berhubungan dengan komunisme adalah upaya membangkitkan bahaya laten di Indonesia.

Kelompok-kelompok macam FUI dan FJI ini berkembang pesat karena negara telah membiarkannya leluasa. Padahal tujuan mereka hanya ingin mnedapatkan pengaukuan sebagai pejuang atau pembela Islam. Jika dianalisis ekonomi-politik, FUI dan FJI merupakan kelompok yang sangat dekat dengan GPK yang tidak lain adalah sayap pemuda PPP. Di beberapa gembong perekonomian Yogyakarta seperti parkir, beberapa titik adalah lahan kekuasaan GPK. Sedangkan pada kontestasi politik, GPK menjadi basis yang mendukung salah satu calon PPP.

Semangat mereka bukanlah berangkat dari satu ideologi tertentu untuk mengganti pemerintahan. Bahkan mereka juga tidak menyerang dan bersemangat mendapatkan kemapanan kekuasaan. Kaum minoritas dipilih sebagai sasaran mereka tidak lain adalah untuk menguatkan satu fragmentasi isu dan menguatkan ikatan emosional dalam lanskap sosial-keagamaan. Hal ini sebagai alat mobilisasi sentimen anti-minoritas untuk mempertahankan kemapanan kelompok.

Mereka menggunakan isu keagamaan untuk mempertahankan basis sosial. Dengan itu mereka akan mudah untuk bernegosiasi dengan penguasa. Mereka dapat menjalankan unsur-unsur negara tanpa tunduk dengan kebaikan penguasa.

Berbagai rekam bukti dari media, sebetulnya, Sultan dan GKR Hemas telah melakukan satu protes terhadap tindakan-tindakan virgilantisme. Baik menjadi penengah maupun bersuara keras di media atas tindakan vigilantisme tersebut. Namun, disini, mereka lupa akan gembong masalah itu sendiri yang sebetulnya telah ditinggalkan oleh pemerintahan Yogyakarta. Hasilnya, peristiwa intoleransi terus menerus terjadi dan berulang kali.

Ada empat tawaran yang diajukan dalam buku ini. Pertama, pihak yang memiliki kekuatan politik dan otoritas kultural hendaknya memperkuat relasi dalam sosial-keagamaan. Agar kontestasi identitas yang tidak ramah tidak terjadi kepada minoritas. Kedua, mengkonsolidasikan basis sosial dan civil society yang membela hak-hak kaum minoritas. Sultan harus tegas menunjukan komitmen yang lebih jauh untuk melindungi minoritas.

Ketiga, pemerintah yang bersih. Terjadinya pembagian politik ruang antar kelompok yang memiliki akses sumber daya mengakibatkan legitimasi sosial. Keempat, memperkuat basis keragaman, tradisi-tradisi yang menumbuhkan toleransi.

Judul Krisis Keistimewaan: Kekerasan terhadap Minoritas di Yogyakarta | Penulis Hairus Salim dan Mohammad Iqbal Ahnaf | ISBN 978-602-72686-7-8 | Tahun Terbit 2017 | Penerbit CRCS UGM | Peresensi Wahidul Halim

Sumber gambar: crcs.ugm.ac.id