Lpmarena.com – “Ya awalnya cuma iseng-iseng,” jelasnya sembari tertawa. Saya mendengarkan dengan seksama, bahwa niatnya mengunggah curahan hati di media sosial tidak untuk menyinggung atau bahkan mengkritik pihak kampus. Perempuan di hadapan saya itu menceritakan tanggapan yang ia peroleh dari beberapa dosen. Dari menyangkut statusnya sebagai mahasiswa pascasarjana hingga dalih nama baik kampus.
Perempuan itu Ainun Masnunah, mahasiswa pascasarjana program studi Filsafat. Pada 18 Juli lalu saya mengunjunginya untuk meminta keterangan terkait perundungan yang ia alami karena pendapatnya di Facebook akhir Februari lalu. Ketika ditanya kesediaannya diwawancarai, Ainun justru menjawab tenang sambil tergelak, “Ya kan udah resiko, buat apalagi, nama baik saya sudah dicoreng, ya sekalian saja.”
***
Siang itu, 23 Februari 2021, Ainun menulis keluhannya di laman Facebook tentang perkuliahan daring yang ia jalani. Menurutnya beberapa dosen berlaku sewenang-wenang. Ada yang mengubah jadwal sepihak, bahkan ada yang hanya dua kali masuk selama satu semester. Selain itu, Ainun keberatan dengan cara mengajar dosen melalui kanal Youtube dan meminta mahasiswanya untuk berlangganan akunnya. Semua keluh kesah ia tumpahkan dalam unggahan itu, tak kecuali upayanya membayar dana kuliah dengan berjualan bakso. Ainun merasa pembelajaran yang didapatkan tak sebanding dengan biaya yang dibayarkan ke pihak kampus. Dan sebagai pelengkap ia menyertakan foto segepok uang dalam unggahannya. Pamer kalau punya duit saja, candanya.
Tak berselang lama, postingan itu menuai beragam respons. Salah satunya lewat akun Yaya Ibrahim dengan komentar, “Duh curhatnya di medsos toh, apa trus dosenya baca ya… smg mhs s2 semakin bijak dlm menggunakan medsos.” Akun itu diketahui milik Siti Rohaya, dosen program studi Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga. Keduanya mengenal di sebuah jejaring kewirausahaan yang ada di kampus, yaitu Cendi (Center for Entrepreneurship and Career Development) UIN Sunan Kalijaga.
Tak hanya berkomentar, Siti Rohaya juga mengirim pesan pribadi kepada Ainun membahas unggahan itu. Menurutnya, unggahan itu kurang pantas mengingat statusnya sebagai perempuan, mahasiswa S2, sekaligus santri. Ia juga membandingkan bagaimana mahasiswa UGM yang tak pernah menjelekkan almamater sendiri. Meskipun dosennya bermasalah. Lebih-lebih, media sosial juga menjadi salah satu tolak ukur penerimaan ASN (Aparatur Sipil Negara).
“Orang yang tidak bijak menggunakan media sosial, bisa jadi bumerang pada diri sendiri, karena kita enggak pernah tahu seperti apa kedepannya kita,” tegur Siti Rohaya dalam pesan WhatsApp yang Ainun tunjukan kepada saya. Terakhir, dalam pesan tersebut ia mengaku mendapat sejumlah pesan dari dosen lain yang mendiskreditkan nilai akademik Ainun.
“Saya yakin Ainun kecewa karena tidak mendapat nilai A, karena kalau dapat A pasti enggak curhat di medsos seperti itu walaupun kecewa dengan cara ngajarnya.”
ARENA pun mencoba mengkonfirmasinya kepada Siti Rohaya. Namun, yang bersangkutan menolak diwawancarai dan mengaku tak tahu-menahu tentang peristiwa tersebut.
Masalah tak selesai di situ. Pagi Ainun diawali dengan muram, sebab beberapa hari setelahnya, sekitar akhir bulan Februari ponselnya berdering. Inayah Rohmaniyah, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, menghubunginya.
Ainun dicerca berbagai pertanyaan, seolah ia telah berulah buruk. “Kamu ngomong apa di Facebook? Ini sekarang nama kamu jadi obrolan di rektorat pasca. Kamu ini kok ngejatuhin UIN, kamu secara enggak langsung ini ngejelek-jelekin UIN lho, nduk. Kamu maunya apa? Kamu enggak menghargai kita yang akreditasi. Ini nama baikmu dicoret ini di pasca,” kata Ainun mengulang yang didengarnya di seberang ponsel kala itu. Pelan-pelan Ainun menjelaskan bahwa unggahannya tidak ditujukan untuk menjelekkan siapa pun. Unggahannya sekadar status candaan, pun tidak secara eksplisit menyebutkan instansi manapun.
ARENA juga memeriksa kebenaran pernyataan itu dengan menghubungi Inayah Rohmaniyah. Namun alasan kesehatan membuatnya tak bisa melakukan wawancara. Ia hanya berpesan untuk selalu menjaga kesehatan.
Selepas percakapannya dengan Inayah, hari-hari Ainun berubah. Kemurungan dan ketakutan menghinggapi dirinya. Ia tak menyangka unggahannya dipersoalkan sampai ke dekan fakultas. Ia merasa takut dengan posisinya di bangku perkuliahan, kalau-kalau namanya dicoret, dipersulit, dan hambatan akademis lain akibat berani mengkritik sistem pembelajaran daring. Perempuan itu juga khawatir masalah ini akan sampai di telinga orangtuanya dan muncul anggapan bahwa Ainun tidak menjadi mahasiswa yang baik. Padahal, ia hanya menyuarakan keresahan dan hak-hak yang belum terpenuhi sebagai mahasiswa.
Ainun mengaku menangis selama seminggu lebih. Keadaannya teruk. Ia berpikir berulang kali hanya untuk menyampaikan pendapatnya secara nyaman tanpa gentar. Bahkan sempat melintas di benaknya ingin berhenti kuliah saat itu.
Namun, dibalik berbagai cercaan yang datang, ia mendapat sedikit suntikan moral dari beberapa mahasiswa dan dosen. Kawan-kawannya di pascasarjana yang mengetahui hal itu turut berbagi keluh kesah yang sama. Selain itu pernah seorang dosen yang mengajarnya secara langsung mendatangi Ainun ketika berjualan. “Terima kasih, lho. Kamu ini justru menggerakkan kita,” kata Ainun menirukan dosen itu. Ainun kembali tenang, perlahan keteguhannya muncul.
Litbang ARENA pernah melakukan survei terkait efektivitas pembelajaran daring. Hasilnya, sebagian besar indikator survei menunjukan ketidak-optimalan pembelajaran daring. Data survei tersebut menunjukkan 39,1% mahasiswa tidak sepakat jika sistem kuliah dosen mendukung proses belajar, 9,9% lainnya sangat tidak sepakat akan hal itu. Pada indikator lain, 36,8% mahasiswa sepakat jika mereka kesulitan memahami materi, sedangkan 46,2% mahasiswa lainnya sangat sepakat. Ini selaras dengan apa yang dialami Ainun. Baginya, pembelajaran daring yang ia lalui tak maksimal.
Selepas kejadian itu, Ainun merasakan pembelajaran daring di pascasarjana pelan-pelan berubah. Dosen yang tadinya hanya menjalankan perkuliahan melalui diskusi grup WhatsApp kini beralih ke pertemuan tatap muka virtual. Bahkan, salah satu dosen menyatakan siap jika harus memulai pembelajaran luring.
Kisah serupa juga dialami Anam. Oktober tahun lalu ia ingin mendaftar program Beasiswa Djarum. Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam itu bermaksud meminta tanda tangan Wakil Dekan Bidang Akademik sebagai syarat administrasi untuk mendaftar. Dua kali ia mendatangi ruang Tata Usaha, tetapi yang dimintai tanda tangan sedang berada di luar kota. Sedangkan Anam terdesak waktu, tidak cukup baginya menunggu lagi. Akhirnya ia dinyatakan tidak lolos karena ketidaklengkapan berkas persyaratan. Padahal menurutnya, akan lebih efisien apabila petugas TU menghubungi wakil dekan dan meminta izin untuk menandatangani dokumennya pada hari sebelumnya.
Anam lalu menulis ketidakpuasannya pelayanan melalui status WhatsApp. Ia mengkritik bagaimana birokrasi yang lamban dan tanpa kepastian. Misal dalam permintaan tanda tangan, sistem tata usaha tidak inisiatif dan hanya berpaku pada kehadiran pihak yang bersangkutan saat itu juga. Jika pihak itu tidak ada, maka tak ada solusi penyelesaian. Harusnya, menurut Anam, ada komunikasi lebih lanjut atau alternatif tanda tangan dengan format lain.
“Sebaiknya, kalau sudah mengatakan besok, maka harus ada besok, bukan memberikan alasan-alasan yang lain,” tulisnya dalam status itu.
Setelah kritikan itu diunggah, salah seorang teman Anam meminta izin untuk menyebarkannya. Dari teman inilah, beberapa dosen membaca kritik tersebut. Beberapa hari setelah ia mengunggah kritiknya, Anam mendapat panggilan dari dekanat. Ia yang saat itu sedang ada kegiatan organisasi, harus menundanya dan segera menghadap wakil dekan tiga masa itu.
Di ruang dekanat ia ditanyai tentang maksud dan tujuan menulis kritikan. Ia kena marah. “Anda ini sebagai mahasiswa tidak sopan! Gitu lah,” kenangnya pada saya melalui pesan suara WhatsApp pada 22 Juli lalu. Meski ia mengakui sempat terjadi ketegangan, namun akhirnya masalah itu selesai dengan solusi yang ia tawarkan. Beberapa minggu setelah kejadian itu, peraturan di ruang tata usaha kampus diperbaharui mengikuti solusi dari Anam untuk membuat regulasi penandatanganan berkas.
***
Ainun dan Anam hanyalah dua dari sekian banyak mahasiswa yang resah. Dari beberapa grup kelas WhatsApp, saya melihat banyak mahasiswa mengeluhkan berbagai persoalan akademik yang ada di UIN. Sebut saja pembelajaran yang tidak efektif, pelayanan administrasi, dan sebagainya. Tapi amat jarang dari mereka yang berani menyuarakan pendapatnya. ‘
Panggilan’ serta perundungan yang dihadapi Ainun dan Anam tidaklah mudah. Ainun, misalnya, harus menanggung kesedihan dan ketakutan selama berhari-hari karena keluh-kesahnya dianggap mencoreng nama baik almamater. Namun apa yang dia lakukan justru membawa perubahan bukan hanya untuk dirinya, tetapi teman yang lain. Terakhir saya menemuinya, ia sama sekali tak menampakan raut sedih. Ia bahkan sudah tak ragu untuk bercerita banyak kepada saya mengenai masalahnya dengan tawa yang masih saya ingat.
Reporter Muhammad Alfaridzi dan Asshidqi | Redaktur Dina Tri Wijayanti | Ilustrasi Firdan HK