“Ya ngurusin desa! Wong orangtuaku aja ditangkep polisi.”
Lpmarena.com – Selasa siang lalu berita pengepungan Desa Wadas oleh puluhan aparat kepolisian beredar di lini masa Instagram. Aliran listrik mereka dipadamkan. Menyusul kabar bahwa beberapa warga mendapatkan tindakan represif, perutnya ditendang, dadanya dipukul, kepalanya dipiting. Saya menyaksikan dengan perasaan campur aduk. Ingin marah, menangis, sekaligus kesal.
Terbayang ketakutan akan kejadian serupa saat 24 April tahun lalu, muntahan gas air mata, warga kocar-kacir, anak-anak yang berlari ketakutan, air mata yang pecah dari pelupuk mata warga. Malam itu saya sulit tidur.
Pagi harinya (09/02), bersama reporter ARENA lain, saya bergegas ke Polres Purworejo karena mendengar sebanyak 67 orang ditahan oleh kepolisian. Tiga belas diantaranya masih usia pelajar. Mereka mengaku diseret paksa sejak Selasa pagi tanpa tahu alasannya. Bahkan sebagian warga tengah melaksanakan mujahadah di masjid. Kami menunggu sampai pukul dua siang hingga mereka semua dibebaskan.
Sekitar pukul 14.45 WIB, warga yang sudah dibebaskan menuju Wadas diangkut dua bus. Saya dan rekan-rekan mengikuti dari belakang dengan motor. Meski saya turut lega melihat mereka semua dibebaskan, timbul rasa getir saat tiba di Wadas. Di sepanjang jalan memasuki desa, spanduk-spanduk berisi pesan penolakan tambang sudah tak ada, masih terlihat puluhan aparat yang berjaga, dan tak ada aktivitas keseharian warga seperti biasa.
Di Masjid Nurul Huda, nampak beberapa warga menyambut dengan rasa syukur karena mereka pulang. Keluarga dan kerabat menghampiri, memeluk erat dan berderai air mata.
Ketika sedang berdiri sambil memandangi kejadian tersebut, Rayan–bukan nama sebenarnya–menghampiri saya. Saya mengenal siapa gadis kecil itu dan lantas memeluknya. Air mukanya sedih dan tegang. Ia sedang mencari seseorang. Tanya saya, “Kamu lagi nyari siapa?”
“Kakak liat mamakku nggak?” tanyanya.
Kedua orangtua Rayan, termasuk ibunya, juga ditangkap oleh aparat. Diketahui bahwa Ibu Rayan ditangkap pagi hari ketika sedang ziarah ke makam. Saya terdiam memerhatikan sekitar, membantu mencari ibu Rayan diantara kumpulan warga dan gerombolan aparat yang berjaga. Akhirnya saya dapati ibu Rayan ternyata sedang berada dalam masjid, berbincang dengan beberapa warga. Rayan menghambur mendatangi ibunya.
Melihat Rayan sudah mulai tenang karena melihat ibunya, saya mengajaknya duduk dan mengobrol di depan masjid. Saya menyimak bagaimana kisahnya ketika kedua orangtua ditangkap polisi.
***
Atmosfer Wadas tidak seperti hari-hari biasa. Tak ada ibu-ibu yang berjaga di pos-pos sembari menganyam besek atau momong anaknya. Tidak terlihat anak-anak bermain. Yang terdengar hanya kendaraan dan derap langkah aparat berlalu-lalang di jalan.
Menjelang siang, Rayan pulang sekolah berjalan kaki bersama seorang temannya. Bocah kelas enam itu mendapati rumahnya kosong. Ia pun mendapat kabar dari warga bahwa bapaknya ditangkap polisi. “Bapak pagi-pagi lagi makan sate sama temennya, tiba-tiba preman sama intel datang bawa paksa bapak ke Polsek,” kisah Rayan mengingat kata warga.
Saat itu Rayan kebingungan. Ia tak dapat masuk ke rumah karena pintunya terkunci. Untuk masuk ke rumah, Rayan terpaksa meminta tolong tetangga untuk membuat lubang di pintu menggunakan gergaji. Ia kemudian mengambil gawai, mencari nomor yang dapat dihubungi dan mencari informasi situasi saat itu, tapi sia-sia. Aliran listrik satu desa padam, koneksi internet pun terputus.
Ia memutuskan berjalan menuju meja makan, berharap ada makanan yang bisa mengisi kekosongan perutnya siang itu. Tak ada apa-apa. Di dapur, ia memutuskan memasak mi instan untuk mengganjal perut. Walau lapar, Rayan menyantap mi instan dengan penuh khawatir. Pikirannya menerawang nasib puluhan warga yang ditangkap tanpa alasan yang jelas, sementara di luar rumah desanya tengah dikepung ratusan aparat.
Menjelang sore, Rayan biasanya keluar rumah untuk bermain bersama teman-teman satu kampung atau pergi ke mengaji. Namun situasi saat itu membuatnya untuk keluar saja gamang.
Melihat jalanan yang semakin tidak aman, teman Rayan minta tolong untuk mengantarnya pulang. Meski takut, akhirnya Rayan memutuskan untuk pergi ke rumah temannya dengan berjalan kaki.
“Di jalan aku pura-pura metik nanas, tiba-tiba ada polisi bilang, minta sini nanasnya! Aku takut buat jawab,” kisah Rayan. Melihat tingkah polisi seperti itu, mereka mengurungkan diri dan balik ke rumah Rayan sambil menunggu polisi balik menuju markas.
Tidak jauh dari Desa Wadas. Polisi membangun beberapa tenda besar di Desa Kaliboto. Menjelang magrib, para aparat menarik diri ke markas dan kembali lagi ke Wadas pada malam hari. Puluhan motor milik polisi juga terparkir di dusun Randuparang.
Malam pun tiba, tidak satupun warga berani untuk pergi ke luar. Dengan gelisah Rayan mencoba tidur, namun terbangun. Jumlah personel polisi semakin bertambah, spanduk-spanduk perlawanan mereka copot kemudian disobek agar tidak bisa dipasang kembali.
Hingga Rabu pagi belum juga ada kabar bahwa warga yang ditangkap, termasuk kedua orangtuanya akan dibebaskan. Rayan pun memilih untuk tidak bersekolah, ia merasa gelisah karena suasana semakin tegang.
Bagaimana kalau ditanyai guru alasan tidak masuk? Saya bertanya pada gadis itu.
“Ya ngurusin desa! Wong orangtuaku aja ditangkep polisi,” jawabnya tegas.
Saat ini ia merasa lega semua warga sudah dibebaskan. Namun masih ada rasa cemas karena aparat kepolisian dan pihak yang terlibat dalam pertambangan masih berada di hutan untuk inventarisasi dan melakukan pengukuran tanah.
Reporter Aulia Iqlima Viutari | Redaktur Dina Tri Wijayanti