Lpmarena.com-Dinamika kesenian UIN Sunan Kalijaga mengalami periode naik-turun. Peminatnya yang cenderung meningkat di masa pandemi justru harus dihadapkan pada tembok ketidakjelasan: tidak tersedianya tempat latihan, pengurangan dana yang signifikan dari tahun ke tahun, birokrasi yang berbelit-belit dan carut-marut permasalahan lain yang dari tahun ke tahun tak kunjung selesai. Hingga kini, geliat seni di kalangan mahasiswa tercatat berada di titik jenuh.
Berbeda dengan dekade sebelumnya, yakni tahun 60 hingga 80-an, mahasiswa menghelat kegiatan kesenian secara berkala. Dalam wawancara ARENA bersama Faisal Ismail, mantan aktivis kesenian sekaligus guru besar IAIN waktu itu, mengatakan bahwa banyak aktivis kesenian yang berjejaring dengan para seniman seperti Umbu Latu Paranggi, Totok Asmara, hingga Emha Ainun Najib. Reportase berjudul “Kesenian di IAIN Sunan Kalijaga, Perlu Bangkit dari Kejenuhan” itu merekam bagaimana seni dan sastra baik di dalam maupun di luar kampus merangkak pelan hingga tahun 90-an. Sejak saat itu kegiatan kesenian minim diadakan.
Berangkat dari sana, ARENA menelusuri kesenian kampus UIN di masa pandemi seperti saat ini. Faktanya minat mahasiswa terhadap kesenian masih tinggi. Ini dibuktikan dengan penelitian Pusat Analisis dan Data (Pusda) ARENA pada bulan Oktober-November 2021 yang menunjukkan 93% mahasiswa baru bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) kesenian.
Alfi Fajri Mukti, ketua UKM Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Gitasavana menyampaikan jumlah pendaftar Gitasavana mengalami peningkatan. Dari proses rekrutmen terakhir tahun 2019 lalu, jumlah pendaftar naik dua kali lipat dari sebelumnya, yakni mencapai 140 mahasiswa.
Peningkatan minat ini juga dialami di UKM Kalimasada yang bergerak di bidang kesenian Jawa, seperti karawitan dan tari. Kata Nopal, selaku ketua UKM, mahasiswa ingin mencari ruang alternatif untuk berkembang karena jenuh dengan kegiatan kuliah. Kondisi ini membuat peminat Kalimasada selama pandemi juga naik, dari 70 menjadi 120 mahasiswa.
Namun, semangat berkesenian itu berbenturan dengan berbagai persoalan seperti infrastruktur yang kurang mendukung, buruknya respons kampus, minimnya fasilitas ruang kesenian, hingga masalah masa studi. Lebih-lebih pandemi membatasi ruang gerak mahasiswa yang terkatung-katung menyesuaikan aktivitas di ruang virtual.
Sempitnya Ruang Gerak UKM Seni
Permasalahan fasilitas pendukung dari kampus menjadi cerita lama di tiap kepengurusan. Tak tersedianya tempat latihan di masa pandemi juga menjadi problem. Padahal, katakanlah Kalimasada harus latihan sekitar dua hingga tiga jam sehari. Sementara Student Center (SC) yang seharusnya menjadi tempat latihan justru dibatasi sampai pukul empat sore.
“Padahal kalau siang sampai sore ya ada kegiatan. Tapi pas latihan di luar malam-malam, nanti dimarahi warga karena berisik,” keluh Nopal.
Akhirnya, mereka terpaksa berlatih di lahan belakang gedung SC. Itupun harus bergantian dengan UKM lain yang membutuhkan tempat untuk latihan. Sama halnya dengan Sanggar Nuun ataupun PSM Gitasavana. Tak jarang, proses latihan terhambat ketika mendapat teguran warga karena dianggap mengganggu.
“Belum lagi kalau nanti jam sepuluh malam sudah ditutup gerbangnya,” imbuhnya.
Banyak UKM kesenian yang tak dapat berkegiatan secara maksimal lantaran terbatasnya ruang latihan. Semenjak dirobohkannya panggung demokrasi atau pangdem—yang kini berdiri gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam—pada tahun 2016 lalu, mahasiswa kehilangan ruang tetap untuk berekspresi.
“Kalau dulu kan ada pangdem, mahasiswa biasa berlatih atau menggelar acara disitu. Kalo sekarang kan susah, gak ada ruangnya,” papar Farid, salah satu pegiat kesenian di Teater Eska.
Birokrasi yang Kurang Mendukung
Belum selesai dengan masalah terbatasnya ruang gerak, kesenian di UIN dihadapkan dengan birokrasi kampus yang kurang mendukung. Farid menuturkan bagaimana ia bergabung tahun 2017 lalu dengan Teater Eska. Di sana, ia mengaku bisa berpuisi, bermain peran dan melakukan banyak hal yang membuatnya merasa hidup. Namun pada saat yang sama, dana pendukung dari kampus selalu seret dan nominalnya menurun tiap tahun. Birokrasi yang berbelit-belit saat penurunan dana pun menjadi kendala kepengurusan.
Padahal menurutnya UKM semacam Eska butuh banyak peralatan pentas seperti halnya sound, lighting, panggung portable dan lain sebagainya. Sarana-sarana penunjang tersebut tentu membutuhkan biaya yang tidak murah.
“Birokrasi kampus kurang mendukung, kalau mendukung tidak konkrit. Misalnya, setiap tahun UKM dapat dana, kadang dana yang keluar dipotong sama birokrasi,” jelas Farid.
Selain itu, periode kepengurusan di dalam internal organisasi juga menjadi dilema tersendiri. Mereka yang bergabung dengan UKM dikejar dengan masa studi. Kerja-kerja kesenian di kampus dihadapkan dengan tuntutan agar mahasiswa lulus cepat. Pada saat yang sama, kampus belum menjadi wadah yang optimal untuk mahasiswa mengeksplorasi minatnya di kesenian. Alfi meyampaikan hal serupa. Menurutnya, proses yang lama pada saat menjadi anggota menjadi salah satu penyebab banyak anggota PSM yang tidak selesai sampai akhir. Soal masa cuti yang dihitung masa studi juga turut menjadi faktor yang mengurangi produktivitasnya di UKM yang digeluti.
“Jadinya orang-orang lebih fokus ke kuliah, susah mau all out ke UKM. Tapi kan kalau misal sudah terjun ke UKM, harusnya bisa seimbang,” jelasnya.
UIN Sunan Kalijaga sebelumnya telah mengeluarkan Suat Edaran perihal waktu masa studi mahasiswa S1 yakni maksimal tujuh tahun, magister paling lambat empat tahun, program doktoral tujuh tahun. Semua itu dihitung baik mahasiswa mengambil cuti ataupun tidak cuti pada semester tersebut.
Nopal menyampaikan bahwa batasan masa studi itu memengaruhi keberlangsungan kesenian yang digeluti mahasiswa. “Masa pendek studi berpengaruh sih, tapi kebijakan macam itu ya bisa jadi tantangan, kita harus adaptasi,” pungkas Nopal.
Reporter Atikah Nurul Ummah | Ilustrator M Dzaky Samsul A | Redaktur Dina Tri Wijayanti