Home BERITA Pekerja Rumah Tangga Butuh Payung Hukum Yang Kuat

Pekerja Rumah Tangga Butuh Payung Hukum Yang Kuat

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com-Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan pekerjaan yang rentan dan perlu perlindungan dari aturan negara. Hal itu disampaikan oleh Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan RI dalam webinar bertajuk Habis UU TPKS, Terbitlah UU PPRT pada Rabu (20/04).

Iswarini merinci beberapa bentuk kerentanan yang kerap dialami PRT, yaitu mudah mendapat kekerasan fisik, psikis, dan seksual, tak ada batasan waktu dan beban kerja yang jelas (eksploitasi), tak punya jaminan kesehatan, serta tak punya hak untuk bernegosiasi dengan majikan. Selain itu, PRT kerap mendapat diskriminasi karena dianggap bukan suatu keahlian atau skill.

Stigma babu yang melekat membuat PRT ditempatkan pada status sosial rendah. Menurut Iswarini, penyebutan ‘pembantu’ memarginalkan PRT sehingga mereka dianggap tak punya hak-hak pekerja.

“Mulai sekarang kita harus membiasakan menyebut PRT sebagai pekerja, bukan pembantu. Kalau PRT dianggap pekerja, kita pasti terdorong untuk profesional,” tegasnya.

Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun 2014, di Indonesia terdapat 4,2 juta PRT. Dari data itu, faktanya PRT bekerja lebih dari empat belas jam dan tidak libur selain hari raya. PRT juga berada dalam ketimpangan relasi sosial dengan majikan karena berasal dari keluarga miskin.

Sebagai testimoni, Arnida Rahman, Anggota Serikat Pekerja Rumah Tangga Paraikatte Makassar, mengungkapkan masalah yang dialaminya sama dengan pemaparan Iswarini. Selain itu, Arnida mengeluhkan gaji yang diterima PRT Makassar tidak sesuai UMR. Upah mereka berkisar 600-700 ribu tiap bulan. Jumlah tersebut menurut Arnida sangat tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.

“Kami adalah pekerja seperti umumnya. Kami sudah memenuhi tiga unsur (hubungan kerja), yakni pekerjaan, upah, dan perintah,” ujar Arnida.

Melihat kondisi di atas, baik Iswarini maupun Arnida mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) supaya hak-hak PRT dapat terpenuhi dan terlindungi.

Iswarini kemudian memaparkan alasan urgensi pengesahan RUU PPRT. Sama halnya UU TPKS, RUU PPRT bertujuan untuk melindungi perempuan sebagai manusia yang punya hak asasi dan mengentaskan penganiayaan sesama manusia. RUU ini juga menjadi alat legitimasi kerja-kerja PRT yang selama ini dianggap rendahan.

“Kalau PRT tidak diatur melalui undang-undang, berarti kita masuk dalam jebakan perbudakan modern,” terang Iswarini.

Mangkrak di Meja Legislatif

RUU PPRT sudah berumur delapan belas tahun sejak pertama kali diajukan tahun 2004. Selanjutnya RUU ini masuk ke daftar tunggu Prolegnas dan stagnan di Baleg sebagai draft. Pada 2019, RUU PPRT masuk lagi ke Prolegnas lalu menjadi RUU prioritas. Hingga saat ini, RUU PPRT belum diusulkan ke sidang paripurna DPR.

Brian Sri Prahastuti, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI, menerangkan proses yang lama dikarenakan adanya pro-kontra dalam ruang legislatif. Ada fraksi yang semula mendukung, kemudian berubah sikap. Juga, terdapat bias pandang para legislator yang punya kepentingan sebagai pemberi kerja.

“Ada beberapa perspektif kontra. Salah satunya, mereka menilai PRT tidak perlu diatur secara formal karena menjadi bagian budaya gotong royong di Indonesia,” ungkap Prahastuti.

Menurutnya, permasalahan PRT bukan urusan keluarga saja, melainkan menjadi urusan bersama. Iswarini mendorong presiden untuk segera mengeluarkan pernyataan dukungan terhadap RUU PPRT. Hal itu diperlukan karena pernyataan presiden punya dampak signifikan pada politik di DPR maupun masyarakat.

Reporter Musyarrafah | Redaktur Dina Tri Wijayanti
Sumber Foto: bergelora.com