Aku harus bekerja sebagai driver Shopee Food untuk membayar biaya kuliahku agar tidak terhenti di tengah jalan. Mau tidak mau, sejak pandemi melanda, aku harus membantu meringankan beban orang tua. Bahkan terlintas untuk cuti kuliah karena kondisi ekonomiku sulit.
Lpmarena.com-Suatu malam di kamar kontrakan, aku termenung memandangi dua pakaian yang sengaja kupajang di depanku. Jas almamater dan jaket kurir Shopee Food yang warnanya kontras: hijau dan oranye. Aku akan memakai keduanya bergantian setiap hari untuk mengisi masa akhir studi serta membayar biaya kuliah agar tidak terhenti di tengah jalan.
Aku mengikuti kegiatan praktik peradilan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta secara mandiri dari organisasi tingkat fakultas, Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH). Ini kulakukan demi menunjang proses akademik sebagai anak hukum. Sebab selama pandemi, tak ada kuliah praktik dalam mata kuliah Praktik Peradilan. Dosen sekadar menyampaikan teori secara daring.
Selama magang aku harus memakai pakaian yang sudah ditentukan pihak pengadilan: baju putih, celana hitam, sepatu dan jas almamater. Pekerjaan baruku sebagai driver selain mengharuskanku memakai jaket oranye bertuliskan Shopee Food, aku harus memakai celana panjang dan sepatu.
Rencana Cuti Kuliah
Selain menanggung biaya kuliah sebesar Rp1.500.000 per semester tiap Agustus, ada tagihan kontrakan bulan berikutnya yang sudah jatuh tempo sebesar Rp2.600.000. Belum lagi biaya pondok adik pertamaku yang sudah masuk kelas tiga SMA. Adik keduaku, yang baru masuk Paud, pengeluarannya pun tak kalah banyak.
Semester ganjil lalu, terlintas untukku cuti kuliah. Pekerjaan orangtuaku sebagai petani dengan penghasilan di bawah sejuta tiap bulan tentu tak bisa menutupi semua pengeluaran itu. Waktu cuti rencananya akan kugunakan untuk membantu orangtuaku mencari penghasilan tambahan di Yogyakarta yang UMR-nya pun rendah. Kabar akan cuti sudah diketahui oleh keluarga besar. Mereka menerima keputusanku mengundur masa studi dari batas wajar empat tahun, 8 semester.
Tanggal 6 Agustus 2021, aku buru-buru membuka laman akademik kampus untuk mengisi Kartu Rencana Studi (KRS). Perubahan jadwal begitu mendadak. Selain itu pengisian KRS hanya diberi waktu empat sampai lima jam. Server eror masih jadi kendala menahun yang tak ada jalan keluarnya. Sekali jaringan eror, mahasiswa harus cari jam lain, atau malah tak kebagian kelas.
Persoalannya, nilai yang kuperoleh di mata kuliah prasyarat Hukum Acara Perdata di semester 5 tak memenuhi untuk mengambil mata kuliah Praktik Peradilan di semester 7. Mata kuliah itu ada di semester ganjil, jika cuti, aku harus menunggu sampai semester 11. Rencana cuti untuk semester ganjil ini kuurungkan setelah konsultasi dengan Dosen Pembingbing Akademikku (DPA). Tapi konsekuensinya UKT harus kubayar sendiri. Tekadku bulat.
Sebelumnya, untuk bisa mengakses Sistem Informasi Akademik (SIA) di website kampus, mahasiswa harus membayar lunas UKT. Namun, semenjak pandemi prosedurnya diperbaharui dengan memberikan perpanjangan waktu pembayaran. Jadi aku bisa mengambil mata kuliah sebelum pembayaran UKT.
Semester ini, kampus mengeluarkan pengumuman tentang perpanjangan pembayaran UKT sampai 16 Agustus. Aku masih mempunyai waktu 10 hari untuk mencari pinjaman uang. Beberapa teman sudah kuhubungi. Dua hari setelahnya ada temanku yang bersedia meminjamkan uangnya. Sementara biaya kuliahku teratasi. Dan untuk membayar hutang, aku bekerja sebagai driver Shopee Food.
Tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT)
UIN Sunan Kalijaga mulai menerapkan sistem pembiayaan UKT sejak periode pembelajaran 2013-2014 setelah dikeluarkannya Surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 97/E/KU/2013. Pimpinan PTN diminta untuk menghapus uang pangkal dan menerapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa.
Sebelumnya, UIN menggunakan pembiayaan dengan sistem Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP) yang pembayarannya terpisah sesuai kebutuhan. Ada uang pangkal atau uang gedung, ada biaya SKS, biaya praktek, biaya Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan biaya wisuda yang harus dibayarkan sesuai kebutuhan mahasiswa.
Pembayaran sistem SPP bisa lebih ringan karena dibayarkan sesuai kebutuhan dengan waktu yang tidak bersamaan. Mahasiswa bisa menyiapkan uang sebelumnya ketika mendekati jadwal pembayaran dengan nominal yang tidak terlalu besar.
Beda halnya sistem UKT dengan pola subsidi silang yang digadang-gadang bisa meringankan masyarakat tak mampu untuk mengakses pendidikan. Sistem UKT dibayar kontan di awal semester yang mencakup semua biaya operasional selama kuliah.
Biayanya ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi tiap mahasiswa. Terdapat tujuh kelompok dengan nominal berbeda yang akan dibayarkan. UKT kelompok pertama dimulai dari nominal Rp400.000. Golongan dua sampai tujuh nominalnya semakin tinggi. Dari data kenaikan UKT olahan Tim Pusda ARENA, angka tertinggi tahun ini mencapai Rp9.000.000. Penetapan kelompok UKT ini ditetapkan oleh rektor berdasarkan formulir yang diisi ketika registrasi awal masuk. Pembayarannya pun harus lunas sesuai tanggal yang sudah ditentukan kampus.
Meskipun sistem UKT praktis, tapi dalam penggolongannya sering salah sasaran. Mahasiswa yang seharusnya mendapatkan golongan rendah malah mendapat UKT golongan tinggi.
Selain salah sasaran, UIN juga tak mematuhi KMA Nomor 1326 tahun 2014 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal di Perguruan Tinggi Negeri Keagamaan. Persentase UKT golongan satu minimalnya harus mencapai 5% dari jumlah mahasiswa yang diterima.
Awal Menjadi Driver Shopee Food
April 2021, sepanjang jalan mulai dijumpai kurir berjaket oranye. Driver Shopee Food mulai diluncurkan dan diresmikan pertama kali di Jogja pada bulan itu. Shopee Food merupakan salah satu layanan marketplace Shopee. Layaknya layanan aplikasi pesan-antar makanan lain, Shopee Food menawarkan berbagai makanan dan minuman dengan mengajak kerja sama gerai makanan atau restoran untuk menjadi partner.
Perkembangannya pesat. Beberapa bulan setelah diluncurkan, teman-temanku sering mengobrolkan promo makanan dan minuman dengan iming-iming gratis ongkir sepanjang hari. Apalagi tanggal-tanggal cantik seperti 09.09, 10.10, 11.11, sering menjadi momen promosi yang menggiurkan.
Obrolan di tongkrongan serta informasi dari cerita-cerita di media sosial menjadi salah satu referensiku untuk mencari lebih banyak info menjadi driver. Aku pun mencoba cari peluang menjadi kurir dengan harapan bisa bekerja dan mencicil hutang-hutangku.
Sembari menunggu kabar, aku juga mengirim beberapa lamaran ke instansi lain. Harapanku hampir menciut ketika tak kunjung ada kabar. Betapa sulit mencari pekerjaan di Jogja. Sekitar dua bulan, tanggal 5 Agustus 2021, akhirnya ada panggilan wawancara dan harus membawa berkas-berkas seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), SIM, Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Kartu Keluarga (KK), Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), dan buku tabungan non-syariah.
Perasaan senang, gelisah dan bingung campur aduk malam itu. Senang karena ada kesempatan mendapatkan pekerjaan. Gelisah karena meragukan kredibilitas panggilan wawancara yang kuterima. Sebab berkas yang harus kubawa pun belum lengkap. Aku harus pulang ke kampung di Jawa Timur untuk membuat KK dan SKCK. Ditambah harus menyiapkan biaya untuk membeli atribut kurir Shopee Food.
Status kerjasama antara driver dengan pihak Shopee adalah mitra, sedangkan untuk ke pihak restoran adalah partner. Sebagai mitra Shopee, setiap calon driver harus membeli atribut untuk aktivitas kerja setiap mengantarkan makanan atau minuman.
Pembelian atribut dilakukan ketika interview dengan membawa uang sebesar Rp425.000 untuk dibayar tunai. Atau, kurir bisa mengambil paket cicilan dengan uang muka Rp350.000, diangsur selama 50 hari atau per harinya Rp3.000.
Aku mengambil paket 1 dengan harga 425.000 tanpa cicilan. Atribut yang akan didapatkan diantaranya sebuah helm, jaket, masker dan delivery bag. Jika mengambil cicilan, upah harianku akan dipotong. Persoalannya, di dompet hanya ada uang pas 150 ribu. Akhirnya pacarku meminjamkan uang untuk melengkapi sisanya. Meskipun aku belum tahu akan makan apa setelah membeli atribut.
Keesokan harinya (06/08) aku mendatangi Shopee Food Driver Center di Jl. Ringroad Utara, Pugeran, Maguwoharjo. Berkas-berkas yang dibutuhkan sudah di tangan, tinggal KK dan SKCK masih menyusul. Setelah wawancara, aku hanya melewati tetek bengek administrasi dan pengaktifan akun pada aplikasi. Tidak ada informasi mengenai gaji yang akan terima ataupun jaminan sosial bagi driver sepertiku.
Empat hari setelahnya aku dapat pemberitahuan bahwa akunku sudah aktif dan bisa mulai kerja. Petunjuk awalnya, untuk mulai bisa menerima pesanan, aku harus geser tombol ‘mulai kerja’ dan mengisi saldo minimal 50.000 di dompet driver yang sudah terhubung dengan rekening pribadi. Alur kerja, fitur dalam aplikasi dan standar pelayanan sebagai kurir selanjutnya dijelaskan melalui tautan video Youtube. Dari sana aku tahu, setiap driver yang telah menyelesaikan atau mengantarkan orderan akan mendapatkan 100 poin. Terdapat tiga level, yang masing-masing memiliki target pesanan yang harus diselesaikan.
Selasa pagi, 10 Agustus 2021, aku sudah rapi dengan setelan baju magang dan bersiap menuju kantor PTUN Yogyakarta. Tak lupa kostum kurir kupersiapkan di jok motor. Waktu magangku sekitar 8 jam dengan 5 hari kerja. Sepulang magang, sekitar pukul 4 sore, aku bergegas berganti pakaian kurir Shopee Food. Aplikasi driver kunyalakan sembari mencari resto untuk menerima pesanan. Rasa lelah karena selesai magang sudah tidak dipikirkan lagi mengingat biaya kuliah yang secepatnya harus aku bayar.
Pertama kalinya, tanganku gemetar karena takut salah mengantarkan makanan. Sementara aku melihat ojek online (ojol) lainnya nampak mahir, tangan kanan memegang stang kendali motor, sedangkan tangan kiri memegang ponsel untuk mengontrol aplikasi. Ribet. Aku belum terbiasa mengemudi sambil melirik aplikasi di layar ponsel.
Sudah hampir satu jam berputar-putar, tidak ada perubahan di aplikasi. Meskipun sudah tahu alur kerjanya, tak segampang yang kukira untuk bisa langsung mendapat orderan. Karena bingung, aku pun kembali berhenti di depan tempat magang.
Tidak lama, ada dua pemuda berhenti dan menyerahkan sebungkus makanan. Nasi itu setidaknya memberiku energi untuk terus mencari orderan. Sudah tiga jam layar gawaiku tidak ada orderan masuk. Tapi aku tetap menunggu, hingga pukul 20.40 WIB ada notifikasi di layar. Di sana tertera biaya pengantaran Rp7.200 dan rincian pesanan. setelah klik “OK” muncullah rute Maps tempat resto dan alamat pembeli. Mencari alamat untuk menjemput pesanan juga susah, meski titiknya sudah sesuai aplikasi. Akhirnya aku dibantu oleh salah seorang driver yang mendapat pesanan di resto yang sama.
Pesanan selesai. Hari pertama menjadi driver Shoppe Food cukup melelahkan. Walaupun baru mengantongi upah dari satu orderan, aku putuskan untuk pulang malam itu.
Hari-hari berikutnya aku mulai paham medan dan terbiasa menggunakan aplikasi. Aku mulai tahu sistem untuk mendapatkan orderan. Sistem yang dibuat Shopee secara otomatis akan memilih driver yang paling dekat dengan restoran. Jadi, ojol harus mangkal di dekat resto yang sedang ramai agar cepat mendapatkan orderan juga. Itu yang kulakukan.
Modal dan Pendapatan Menjadi Driver
Modal yang dikeluarkan untuk jadi driver tak sedikit. Tak hanya selesai di pendaftaran. Ternyata pendapatan hasil orderan harus aku sisihkan tak hanya untuk keperluan sehari-hari tapi juga penunjang pekerjaan. Aku berpikir keras, bagaimana bisa menutup itu semua?
Modal awal, aku harus membayar uang atribut sebesar Rp425.000. Power bank berkapasitas 10.000 mAh seharga Rp107.000 untuk menunjang kinerja ponselku. Belum lagi servis motor setiap bulannya dengan biaya Rp50.000 sekaligus ganti oli dengan harga Rp50.000. Pun untuk kerusakan lain yang tak terduga, harus dipersiapkan minimal Rp100.000.
Ditambah, aku membeli kaos tangan seharga Rp15.000 dan kantong anti air untuk HP senilai Rp8.000. Lalu Rp60.000 harus keluar kantong juga untuk holder HP. Jok motorku yang sudah berlubang pun harus diganti supaya lebih nyaman dalam berkendara, yang menghabiskan uang Rp80.000. Untuk modal bensin, motorku terbilang cukup tua meski keluaran 2013 dengan menggunakan pembakaran injeksi, sehingga cukup irit. Jika diisi penuh jenis pertamax seharga 35.000 bisa aku gunakan selama tiga hari kerja dan keperluan sehari-hariku. Sudah hampir Rp200.000 duitku keluar.
Bulan Agustus, waktu yang kubagi untuk magang dan bekerja ternyata tak cukup maksimal. Terbukti di bulan itu aku hanya berhasil mengantarkan 82 orderan, dengan pendapatan sebesar Rp789.800. Itu belum dipotong keperluan modal yang kurinci di atas. Semua kutanggung sendiri, tidak ada jaminan atau biaya penunjang.
Belum lagi kebutuhan sehari-hari seperti makan dan kesehatan. Makan dua kali sehari di Jogja di burjo kisaran Rp8.000 totalnya Rp16.000. Jika ditotal, dalam sebulan aku mengeluarkan Rp480.000. Ada alternatif lain jika kepepet dompet menipis, yakni dengan makan sebungkus nasi angkringan seharga dua ribu. Untuk biaya kesehatan aku kadang minum jamu tradisional dengan kisaran harga Rp10.000, ditambah vitamin botol sekitar Rp30.000-an
Hasil pendapatan paling sedikit dalam sekali orderan adalah Rp7.200 dengan rentang jarak satu sampai tiga kilometer. Lebih dari itu, per kilometer ditambah Rp2000. Pengantaran di bawah tiga kilometer, driver tetap akan mendapatkan Rp7.200. Selain dari jumlah orderan, pendapatan per hari juga ditentukan dari jarak antar. Tidak ada batas maksimal biaya pengantaran. Driver juga akan mengejar insentif atau bonus harian jika berhasil mengantarkan orderan sesuai level-levelnya, bonusnya untuk level teratas mencapai Rp35.000. Limit waktu bonus adalah 24 jam.
Mendapat Orderan Fiktif
Masalah muncul ketika ada kecurangan yang dilakukan driver dengan menggunakan Maps palsu untuk mendapatkan orderan lebih cepat. Jadi, meskipun sudah nongkrong di dekat resto, terkadang aku tak mendapat orderan.
Ketika sama-sama mangkal dengan sesama driver, kadang lebih dulu mereka sudah dapat orderan. Seperti yang terjadi padaku tanggal 30 September, aku mendapat pesanan Mie Gacoan Colombo pukul 13.05 WIB yang jaraknya sekitar 800 meter. Antriannya membludak. Bahkan, nomor pesananku 640. Setiba di resto, masih tersisa 34 antrian di depanku, belum lagi antrian dari pelanggan lain. Aku berjejalan di dalam dengan hawa panas, sumpek, dan juga lapar karena dari pagi belum makan.
Aku menunggu hampir dua jam dengan upah pengiriman Rp9.600 ke jalan Magelang. Malangnya, tak ada respons saat mengkonfirmasi ke pelanggan. Sesampainya di titik lokasi, ada driver Shopee Food juga dengan nama pelanggan yang sama. Kami menunggu cukup lama. Karena tak kunjung direspons, aku meneleponnya.
“Maaf, Mas, titiknya salah. Bukan di situ tapi di Bank Danamon.”.
Titik lokasinya keliru hampir satu kilometer, aku harus putar arah. Pesanan akhirnya kutitipkan saja ke satpam. Rasanya sudah naik pitam. Lebih-lebih pelanggan satu itu marah-marah karena kesal menunggu terlalu lama. Padahal, kita sama-sama lapar.
Karena satu pesanan itu, aku mendapat nilai jelek hingga ratingku turun dari 5.00 ke 4.98. Rating memengaruhi kesehatan akun driver, semakin jelek ratingnya bakal susah mendapatkan orderan. Susah orderan akan susah mengejar bonus level 3 sebesar Rp35.000.
Tidak hanya drama menunggu orderan lama, ada masalah lebih serius yang membuat kurir junior sepertiku keteteran. Kami menyebutnya orderan fiktif. Ada restonya, ada pesannya, ada nama pembelinya, ada biaya pengantarannya, tapi tidak ada orangnya.
Tanggal 21 September, waktu menunjukkan pukul 00.23 WIB dini hari. Aku mendapat orderan Warung Bakmi Pak Yono di Sorowajan. Lokasi pengantaran ada di kisaran Sapen. Jarak kedainya lumayan jauh, hampir satu kilometer. Black Kebab Timoho nama restonya. Seperti biasa, aku lekas berinteraksi dengan pemesan dengan menanyakan kesesuaian pesanan. Tapi tak ada tanda-tanda balasan. Hingga makanan sudah jadi, aku kembali mengabarinya kalau pesanan akan diantarkan. Di perjalanan pun tidak ada respons apa-apa, hanya tertera informasi di aplikasi “tagih tunai Rp63.000”. Itu artinya aku harus menagih ke pemesan sebesar itu.
Sesampainya di titik lokasi, aku mencoba menghubunginya lewat WhatsApp. Tapi centang satu, telepon seluler pun tidak bisa. Beberapa menit kemudian dua driver Shopee Food membawa makanan atas nama pemesan yang sama. Hanya beda resto dan jumlah tagihan. Kami bertiga mencoba mencari warga sekitar untuk menanyakan nama customer kami, tapi waktu itu sudah larut dini hari. Tidak ada orang sama sekali yang kami temui.
Seketika terdapat notifikasi WhatsApp dari Shopee Indonesia dan mengatakan bahwa customer yang kami cari tidak ada. Nomor itu berusaha meyakinkan akan membantu mengembalikan uang kami. Aku cukup curiga: bagaimana bisa pihak Shopee tahu masalah kami bertiga? Kedua driver lain segera mengiyakan bantuan itu dan pulang, tapi aku masih waswas. Uang Rp63.000 cukup besar dan sayang kalau hilang secara percuma.
Sesampainya di kontrakan aku kembali dihubungi oleh oknum yang mengatasnamakan Shopee. Jika tidak teliti, bakal terkecoh dengan tampilan profil WhatsApp berlogo Shopee. Segala jurus manis orang itu sudah mulai merasuki pikiranku. Arahnya sudah mulai masuk ranah privasi dengan meminta kode One Time Password (OTP), kode keamanan ponsel, hingga foto rekening. Untungnya aku bisa mencegah dan segera memblokir nomor tersebut. Tidak masalah kehilangan uang Rp63.000 ketimbang keamanan digitalku terancam.
Setelah kejadian itu, aku mulai khawatir. Tapi jumlah uang yang kupinjam untuk memenuhi pembayaran UKT sebesar Rp1.500.000, sejuta kupinjam dari teman pacarku dan sisanya dari temanku. Bulan pertama aku sudah ditagih, dan aku mengangsur Rp300.000 dulu. Sisanya kukumpulkan sedikit demi sedikit dari penghasilan menjadi kurir. Meskipun rasanya sudah begitu lelah.
Reporter Ach Nurul Luthfi | Redaktur Dina Tri Wijayanti | Ilustrator Dzaky Samsul Anwar