Home BERITA TOLAK PERMENAKER NO. 18 TAHUN 2023, MPBI TUNTUT PENETAPAN UPAH SESUAI KHL

TOLAK PERMENAKER NO. 18 TAHUN 2023, MPBI TUNTUT PENETAPAN UPAH SESUAI KHL

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com – Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY, menggelar mimbar bebas bersama para mahasiswa di depan kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY pada Selasa (22/11) pukul 11.00 WIB. Aksi tersebut menolak Permenaker Nomor 18 Tahun 2022, tentang Penetapan Upah Minimum 2023 yang disahkan Sabtu (19/11) lalu.

Irsyad Ade Irawan, Koordinator MPBI DIY menilai ditetapkannya kenaikan upah yang hanya sebesar 10 persen, sebagaimana tertulis pada Pasal 7 Ayat 1, tidaklah cukup memenuhi hajat hidup para pekerja. “Upah di Yogyakarta paling tinggi itu dua juta, kalo misalnya naik 10% berarti cuma dua juta seratus, nah itu tidak cukup,” tegasnya.

Ia juga meminta kepada pemerintah untuk tidak lagi membuat aturan turunan berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja yang inkonstitusional, dan kembali kepada Undang-Undang Ketengakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

Irsyad mengatakan “Kalau sudah inkonstitusional, harusnya itu kan dilarang untuk pembuatan keputusan yang strategis,” dan menurutnya, penetapan upah merupakan hal yang strategis, karena menyangkut hak hidup masyarakat.

Menurut survei yang dilakukan MPBI dan beberapa organisasi lain, angka Kehidupan Layak (KHL) di Yogyakarta sendiri, mencapai tiga juta tujuh ratus sampai empat juta, yang berarti terjadi ketimpangan antara upah dengan standar KLH.

“Kita sudah melakukan survey, angkanya mencapai 3,7 sampai empat juta, nah Permenaker ini menghalangi warga di DIY khususnya buruh, untuk hidup secara layak.” jelas Irsyad.

Senada dengan itu, salah satu peserta aksi dari Front Perjuangan Permuda Indonesia (FPPI), Reyhan Majid, menuntut agar pemerintah dapat menaikkan upah buruh di angka empat juta. “Di aksi kali ini kami meminta, menuntut, dan mendesak satgas untuk menaikkan sampai di angka empat juta.”

Seperti yang tersurat pada Undang-Undang Ketenagakerjaan, Pasal 36 Ayat 2, menyatakan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. Dan Irsyad mengatakan, para buruh ingin pencapaian kebutuhan hidup layak ini menjadi acuan pokok pemerintah dalam penentuan upah.

Hal tersebut dirasakan salah satu peserta aksi, Rifki menceritakan gaji 2,3 juta yang didapati dari satu bulan kerja tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama istrinya. Mulai dari uang makan sebesar 1,2 juta per bulannya, kontrakan yang harus dibayar 700 ribu per bulan, hingga cicilan motor sebesar 780 ribu, harus ia bayarkan setiap bulannya. Terlebih, sewaktu terjadi kenaikan BBM yang berimbas juga kepada bahan pokok, menjadikan kesulitannya bertambah.

Kesulitan tersebut membuat Rifki harus mencari alternatif lain, salah satunya dengan menjadi ojek online, setelah kepulangannya pada sore hari. Ia biasa mendapatkan tiga puluh sampai tujuh puluh ribu dalam sehari. Dengan perolehan yang tidak menentu, mau tidak mau ia harus mengorbankan waktu liburnya untuk mengojek.

“Kadang bisa sampai tujuh puluh ribu kadang malah gak narik mas, kalo rata-rata tiga puluh ribu. Tapi mau gak mau (harus narik) daripada saya minus, itu pun masih minus tapi gak banyak,” ujar Rifki sewaktu dihubungi ARENA.

Ia menyanpaikan kecilnya pengupahan buruh juga turut melanggar hak untuk memiliki rumah. Menurutnya harga rumah dan tanah di Yogyakarta ini terbilang mahal, terlebih dengan honor yang murah. Karena itu ia menuntut kepada gubernur beserta wakil gubernur, membagikan Sultan Ground dan Pakualaman Ground untuk dijadikan perumahan buruh.

“Sultan Ground dan Pakualaman Groud tersebut, memiliki fungsi sosial, maka bisa dijadikan perumahan buruh,” tuturnya.

Ia merujuk Pasal 6 Perda DIY Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kalutanan dan Tanah Kadipaten, yakni kesejahteraan masyarakat. “Kalo tanahnya itu gratis berarti kan buruh hanya tinggal mencicil harga bangunan,” pungkasnya.

Reporter Selo Rasyd Suyudi | Redaktur Atikah Nurul Ummah