Home BERITA Ketika Tambang Tak Hanya Mengeruk Alam: Cerita Para Puan Jomboran yang Kehilangan Mata Pencaharian dan Kedamaian Desa

Ketika Tambang Tak Hanya Mengeruk Alam: Cerita Para Puan Jomboran yang Kehilangan Mata Pencaharian dan Kedamaian Desa

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com-Ragam bentuk permainan dan serba-serbi aneka jajanan sejenak sunyi bagi Nia. Begitupun dengan kora-kora, komedi putar, mandi bola, permainan panah atau gurita bakar yang ia beli, kini tak lagi membuatnya berselera.

Waktu itu, Hadin, kakak ibunya, datang ke rumah menemui bapaknya, Jodi. Memang, tak ada yang salah dengan kedatangan pakdenya tersebut, tapi juga Nia tidak mengerti bermula dari mana percekcokan antara pakde dan bapaknya bisa terjadi, yang jelas, ia bersedih atas pertengkaran keduanya.

Dengan hp di tangan, pakdenya menunjukkan video dan bertanya pada bapaknya, “Kok vidio tambang ini bisa kesebar,” tiru Nia. Ketegangan kemudian terjadi di rumah berbata merah itu, bapak Nia mengatakan hal yang membuatnya getir, “Kalau kamu tidak anggep aku saudaramu lagi oke tidak apa-apa”.

Nia terbata-bata menceritakan kejadian tersebut, sorot mata yang beberapa saat tadi begitu bersemangat sekejap hilang gairahnya di pasar malam.

Jodi, bapak Nia kini tidak memiliki pekerjaan tetap, ekskavator dua perusahan telah mengambil pekerjaannya dalam menambang pasir. Kompensasi yang dijanjikan pihak perusahaan, baik itu PT Pramudya Afgani, maupun Citra Mataram Konstruksi (CMK), tidak dapat merayunya untuk menghentikan penolakan. Bersama warga yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) ia terus mengupayakan pemberhentian tambang.

Sedangkan Hadin berada di sisi yang lainnya. Kakak ipar Jodi tersebut, menyetujui kehadiran tambang, ia masuk ke dalam panitia yang dibentuk oleh perusahaan untuk mengurusi desa Nia, dan posisinya sebagai ketua. Warga desa kerap memanggilnya dengan Bos Cilik atau Londo.

Melihat posisi yang kontras antara keduanya. Agaknya, Hadin malu karena urusan pekerjaannya di tambang Kali Progo tersebar di grup keluarga. Nia mengetahui perbedaan sikap keduanya. Tapi, ia selalu takut membahas tambang bersama keluarganya. Termasuk kepada bapaknya sendiri, ia enggan bersuara. Bahkan terkait ramainya penolakan yang terjadi, ia ketahui lewat media sosial.

Kini, Nia tak lagi bermain di Kali Progo, ia tak berani. Hadirnya dua perusahaan tersebut membuat Nia kehilangan tempat bermainnya atau lebih buruknya, penghasilan tetap Ibu dan bapaknya, dan nahasanya lagi, ketentraman desa pun tak luput dari pengerukan.

Nia menceritakan kenangan manisnya sewaktu ia masih duduk di kelas 3 SD dulu, saat perusahaan tambang beserta segala praharanya belum masuk di Kali Progo.

Setiap pulang sekolah Nia akan membantu ibunya, berjualan es teh dan nasi kuning. Walaupun Nia sendiri mengaku, lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk bermain daripada membantu berjualan. Dari siang, ia bermain air di pelataran sungai bersama kawan-kawannya, beranjak sore, mereka akan beramai-ramai membantu membawa ember kecil berisi pasir untuk dibawa ke truk.

Berbeda dengan Nia, Rahmi, ibunya, melihat Kali Progo sebagai suluh agar dapur tetap mengebul, penghasil uang dan makan bagi keluarganya.

Hampir setiap hari Rahmi akan membuat es teh dan nasi kuning untuk pekerja tambang yang ada di sana. Termasuk suaminya, kakak Nia, dan para warga, mereka menambang pasir kemudian diangkut dalam satu truk milik warga RT sebelah. Karena pekerjaan menambang dilakukan hampir tiap hari juga, dari pagi hingga petang, terutama di musim kemarau, banyak pekerja yang kehausan dan es teh buatan Rahmi adalah penawar ampuh buat melepaskan dahaga mereka.

Dengan es teh yang kala itu seharga 500 rupiah, dan kondisi pekerja yang kelelahan juga berpanas-panasan, maka tak mengherankan, dalam sehari Rahmi bisa membuat 100 es teh dan bolak-balik pada pagi, siang, sampai sore, dari Kali Progo ke rumahnya yang berada di tengah desa.

Dari berjualan es teh dengan keuntungan 50 ribu per hari tersebut, serta menambang pasir di Kali Progo kala itu sangat membantu perekonomian keluarga Nia. “Seneng banget dulu itu. Bisa beli mesin cuci, kalung emas juga. Dulu itu harganya 400 ribu tapi sekarang kalungnya udah dijual, jadi sekarang udah gak punya emas,” ujar Rahmi sembari tertawa miris sewaktu ditemui di rumahnya.  

Sekarang, keadaan berbanding terbalik. Bapaknya bekerja serabutan, begitupun ibunya, melakukan banyak pekerjaan untuk biaya makan keluarga sehari-hari, dan untuk sekolah Nia serta adiknya, tak jarang melakukan pinjaman jadi opsi ketika kekurangan  “Kondisinya sekarang kayak gitu, gak ada uang, terus kadang kalau aku mau bayar sekolah minjem uang si Mbah,” ucap Nia lirih dengan kepala yang terunduk dalam.

Nia, yang saat ini duduk di Sekolah Menengah Atas, ingin melanjutkan pendidikan hingga perkuliahan, dan Universitas Gadjah Mada menjadi kampus impiannya suatu hari nanti. Ia berharap mendapat beasiswa atau bantuan agar tidak membebankan keluarganya, entah ibu, bapak, ataupun kakaknya yang saat ini bekerja di kelautan.

“Kakak udah nggak kuliah, jadi aku yang kuliah. Nanti kuliah mau dibiayain kakak. Dulu keluargaku baik-baik aja, sekarang udah beda gara-gara pekerjaan,” ujar Nia.

Bekerja apa saja untuk bertahan hidup

Mencari pekerjaan memang bukan perkara yang mudah. Bagi Rahmi, semua pekerjaan akan ia lakukan untuk membantu perekonomian keluarga, apalagi setelah suaminya, Jodi, tidak memiliki pekerjaan tetap.

Rahmi, ibu rumah tangga yang hampir berusia setengah abad itu akan memulai aktivitasnya pukul 3 pagi. Mulai menyiapkan sarapan, memasak air hangat untuk Dani, adik Nia, dan membereskan rumah. Tak lama, ia bergegas membangunkan Nia untuk berangkat ke sekolah yang jaraknya kurang lebih 20 km. Ia jugalah yang harus antar-jemput Nia setiap hari, karena anaknya tidak membawa sepeda motor sendiri.

Selepas mengantar dua anaknya, Rahmi pergi menggarap sawah sendirian, suaminya sudah tidak kuat untuk mencangkul ataupun mencari rumput (ngarit) karena badan dan umur yang tidak lagi bugar.

Seharusnya sawah dapat menjadi pegangan untuk Rahmi, tapi nyatanya menggarap sawah lebih banyak mengeluarkan biaya, seperti sewa traktor yang belum ia bayar hingga hari ini dan pupuk. Beruntungnya, tetangga pemilik traktor itu berbaik hati untuk tidak menagih uang sewa sampai masa panen datang. Pupuk untuk kedelai berasal dari bantuan kelurahan. Sedangkan pupuk untuk padi ia harus membeli sendiri, sama halnya dengan pestisida yang dipakai, ia membeli seharga 25 ribu setiap kalengnya.

Bukan hanya soal biaya, tenaga Rahmi banyak tercurah untuk menggarap sawah. Rahmi menceritakan kondisi jarinya yang membutuhkan terapi sebab bekerja, mulai dari mencangkul, ngarit, hingga mengendalikan traktor. Kakinya juga pernah kesakitan gara-gara tersandung batu tajam di sawah, karena biasanya Rahmi tidak memakai alas kaki saat di sawah. Meski begitu, mau tidak mau, Rahmi akan tetap bekerja.

“Kemarin jempol saya gak bisa ditekuk, terus baru kemarin dibawa ke puskesmas buat di terapi. Harusnya ini datang lagi kesana buat terapi, tapi saya nggak datang. Asalkan badannya sehat aja gak apa-apa,” terang Rahmi sembari melipat kertas-kertas dari percetakan. 

Kertas yang sedang ia lipat itu nantinya akan dijadikan sampul buku. Rahmi mengaku dua tumpuk kertas sampul ini sudah menumpuk beberapa hari, jadi siang hari itu ia memilih untuk melipat kertas daripada mengayam besek.

“Ini kalau saya enggak bantuin suami mesti nanti ditanyain, ‘mana ini kerjaannya kok nggk selesai? Teman-teman yang lain udah pada selesai’, jadi saya bantu ngelipet, biar nanti malam dilem sama Pak Jodi,’” kata Rahmi dengan mata yang tetap fokus pada kertas di tangannya.

Keluarga Rahmi adalah salah satu dari 12 keluarga yang tergabung di percetakan. Pekerjaan dari percetakan bermacam-macam, tak melulu membuat sampul buku. Rahmi bercerita, kadang kala ia dimita membuat bungkus wingko atau bakpia. Harga dari tiap bungkus pun bermacam-macam, tergantung merek dan jenisnya. Ia pernah membuat 50 lembar bungkus wingko untuk salah satu jenama yang sudah memiliki nama di Jogja, dan dihargai 30 ribu. Sedangkan untuk sampul buku yang sedang ia kerjakan dihargai 25 ribu setiap 250 lembar.

Namun, Rahmi lebih suka menganyam besek daripada kerja di percetakan.

 “Sudah 3 kali setor besek dan dapat 90 ribu. Daripada percetakan dapat uangnya setelah 2 bulan, soalnya kan ditumpuk di pabrik, baru dianter ke toko-toko, terus kalau udah dapat uang ke juragan dulu, baru turun ke kita. Sedangkan pekerjaan baru lebih sering dapat. Ada petugasnya yang ambil kerjaan lama sama bawa kerjaan yang baru,” tutur Rahmi.

Rahmi membuat besek juga seorang diri. Suaminya tidak terampil untuk menganyam dan Nia lebih difokuskan untuk belajar ketimbang membantunya bekerja. Dalam satu bulan terakhir ini total ada 120 besek yang ia buat. Sekali menyetor berisikan 40 besek yang dihargai 25-30 ribu. Biasanya dalam 2-3 hari besek itu siap disetorkan. 

Modal untuk membuat besek ini sederhana, cukup bambu yang dipotong tipis dan panjang kemudian dikeringkan lalu dianyam menjadi besek. Untuk bambunya sendiri, Rahmi mendapat dari kebun mertuanya, jadi ia tidak perlu mengeluarkan biaya lebih. Berbeda dengan tetangganya yang tidak memiliki bambu, harus membayar 8-15 ribu tiap potongnya.

Desa Nia terdapat bantuan Program Keluarga Harapan (PKH). Keluarga Rahmi salah satu yang mendapat bantuan PKH. Bantuan itu untuk menunjang sekolah Nia, anaknya, yang masuk kategori pelajar SMA. Tiap tiga bulan sekali bantuan PKH itu turun sesuai dengan kategorinya. Bagi pelajar SMA seperti Nia mendapat 500 ribu.

Namun, berbeda dengan Kinasih, perempuan paruh baya yang tinggal bersama anak dan menantunya serta kedua cucunya tidak mendapat bantuan PKH ataupun bantuan dari kelurahan. Padahal Kinasih masuk ke dalam kategori lansia dan kedua cucunya masuk ke dalam kategori balita.

“Pernah disurvei, ya seneng, tapi terus ditunggu tapi kok malah gak pernah datang bantuannya. Bantuan dari kelurahan itu sembako atau duit, tapi ya gak pernah dapat juga. Padahal bantuan itu akan sangat membantu kita, terutama buat beli beras,” keluh Kinasih lirih.

Kinasih menuturkan, dulu sejak ia masih kecil hingga tua, Kali Progo adalah ladang kehidupannya. Sejak dulu keluarganya selalu menambang di Kali Progo, tapi kini beralih membuat besek dan membuka toko kecil-kecilan. Bantuan PKH yang tidak ia dapat, tanggungan keluarganya dan biaya sekolah cucunya tak cukup jika hanya mengandalkan besek dan jualan di toko.

Kinasih juga ikut serta dalam barisan warga yang menolak tambang di Kali Progo. Ia berharap ekskavator perusahaan itu hengkang dari Kali Progo, hingga keluarganya dapat menambang kembali.

Ia menyesalkan beberapa warga yang ikut ke tambang kebanyakan adalah orang kaya,  mereka mendapat kompensasi dan mendapatkan uang, tanpa harus memikirkan pekerjaan anak cucunya mendatang. Sementara orang-orang kecil seperti dirinya menolak agar bisa bekerja kembali di sana.

Walaupun hidupnya serba susah, Kinasih tetap gigih menolak tambang, sekalipun ia pernah ditawari uang. “Pernah ditawari, dikasih uang sama orang, katanya itu uang dari Kali Progo. Aku nolak, aku masih kuat buat besek, aku sehat aja udah cukup,” ujar Kinasih tegas dengan logat jawanya yang medok.

Bujukan tambang dengan uang kompensasi itu berimbas pada kehidupan sosial warga desa di. Kinasih menceritakan, dulu sebelum tambang itu masuk ke Kali Progo warga desanya sangat kompak. Jalan cor sepanjang hampir 1 km dengan tebal 15 cm di depan rumahnya dibangun bersama-sama. Para lelaki akan menambang material di kali, sedangkan para perempuan akan bergiliran memasak untuk warga yang bekerja hari itu. Namun, saat ini untuk perkumpulan RT, acara hajatan, maupun kerja bakti hanya segelintir orang saja yang datang.

Imbas penolakan tambang

Priastuti, perempuan muda yang belum genap berusia 30 tahun. Sehari-hari bekerja dengan mengayam besek untuk membantu meringankan pekerjaan suaminya dan membiayai anaknya yang saat ini duduk di kelas 4 SD. Siang hari, ketika ARENA bertemu di rumahnya, ia menceritakan kembali memori menakutkan yang menimpa dirinya. karena menolak tambang.

Teringat jelas dalam ingatan Priastuti, saat gerombolan polisi datang ke rumahnya siang itu. Pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan suara keras membuatnya takut, ditambah ketidakhadiran suaminya sebab tengah bekerja.

“Kenapa nolak tambang? Suamimu kerja sopir, kok berani nolak tambang?! Wes, saiki jalukmu opo?!” Kata Priastuti menirukan mimik dan gaya orang yang mengaku dari kepolisian.

Siang itu selepas mengayam besek Priastuti memilih untuk beristirahat di kamar. Tak beberapa lama, pintu rumah diketuk dengan cukup keras. Ia bangkit dan mengintip, ujung matanya menangkap 5-6 orang lelaki dewasa dengan perawakan tinggi, besar berkerumun di depan pintu rumah. Setiap dari mereka membawa Handy Talky (HT) yang menempel di baju.

Curiga mereka adalah polisi. Sembari berjalan ke pintu, ia mengingat hal-hal yang telah ia lakukan hingga polisi mendatangi rumahnya. Benar saja, setelah pintu dibuka mereka memperkenalkan diri dari kepolisian. Ternyata, datang untuk menanyakan fotokopi KTP yang mereka bawa adalah milik Priastuti dan menanyakan tanda tangan Priastuti terhadap penolakan tambang.

Sendirian di rumah membuat Priastuti terpaksa meladeni polisi-polisi itu seorang diri. Tetangga sebelah rumah yang mengetahui hal ini kemudian datang dan menemani Priastuti, kebetulan tetangganya itu juga warga yang menolak tambang. Tetangga itu adalah Kinasih. Maka, kedua perempuan itu menjawab rentetan pertanyaan dari segerombolan polisi dengan badan tinggi dan suara besar.

Sejak tahun 2011 Priastuti pindah ke rumah itu pasca menikah, baru sekali itu ia didatangi polisi. hingga kini bayang-bayang akan kedatangan polisi ke rumah masih terekam jelas.

”Kejadian itu nggak aku inget, tapi tiba-tiba bisa keinget sendiri. kalau udah keinget gitu aku jadi takut. Apa besok aku didatengin polisi lagi? Gara-gara nolak tambang. Apa salahku nolak tambang?” Ujar Priastuti terdengar gemetar dan lemah saat menceritakan ulang kejadian itu. Trauma itu masih membekas hingga hari ini.

Kejadian tidak menyenangkan dengan polisi bukan hanya dialami Priastuti. Beberapa warga desa yang menolak tambang, mendapat surat pemanggilan ke kantor polisi. Jodi, bapak Nia, adalah salah satu warga yang mendapat surat pemanggilan tersebut. Mendapat kabar bahwa Jodi dipanggil polisi, Nia dan Rahmi khawatir. Mereka hanya bisa berdoa semoga Jodi kembali pulang tanpa kurang suatu apapun. Beruntungnya, doa mereka terkabul dan Jodi pulang dalam keadaan baik-baik saja.

Di mata Nia, permasalahan tambang bukan hanya soal lingkungan. Permasalahan keluarganya maupun masyarakat desa menjadi beban pikiran bagi gadis yang seharusnya tidak memikirkan hal ini. Bahkan hingga saat ini bapak dan pakdenya masih berseteru melalui WhatsApp, dengan saling menyindir satu sama lain status, menjadi beban tersendiri bagi Nia, ia resah akan keadaan saat ini.

Keinginan Nia hanya satu, semua kembali damai. Baik masyarakat desa maupun keluarganya. Ia ingin  keadaan kembali pada sedia kala, sebelum kedua perusahaan itu datang dan mengambil  semua yang ada di desanya,  pekerjaan, kerukunan dan keharmonisan satu sama lain.

*Semua nama tokoh dan desa dalam tulisan ini disamarkan untuk menghargai dan keamanan narasumber.

Liputan ini adalah liputan kolaborasi untuk mengangkat isu pertambangan yang ada di Kulonprogo. Kolaborasi ini diikuti oleh LPM Natas, LPM Arena, BPPM Balairung, LPM Philosofis, BPMF Pijar, LPM Ekspresi, LPM Himmah dan LPM Rethor.

Reporter Maria Al-Zahra | Ilustrator Bisma Aly Hakim | Redaktur Selo Rasyd Suyudi