Home BERITA Diskusi Hari Tani Nasional: Wadas, Krisis Petani, dan Paradigma Pembangunan Berkelanjutan yang Salah

Diskusi Hari Tani Nasional: Wadas, Krisis Petani, dan Paradigma Pembangunan Berkelanjutan yang Salah

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.comMemisahkan warga Wadas dari tanahnya adalah memisahkan petani dari ruang hidup dan sumber kehidupan mereka. Begitu kata Sana Ullaili, perwakilan Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta, kala membuka diskusi publik bertajuk “Perampasan Ruang Hidup dengan Dalih Pembangunan Berkelanjutan” dalam rangka memperingati 25 tahun grup musik Seni Perlawanan Oleh Rakyat (SPOER) sekaligus Hari Tani Nasional 2023, Ahad (24/9) di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga.

Sana menuturkan, semua warga yang hidup di Wadas adalah petani. Meski profesinya beragam, mereka ketika sudah balik ke rumah akan kembali pada alam. Mereka menanam mengolah hasil buminya untuk kelangsungan hidup dan keberlanjutan generasi petani. Namun, kini mereka terancam proyek penambangan untuk material Bendungan Bener.

Pemisahan petani dari tanahnya, lanjut Sana, juga akan mencabut ruang politik, terutama pada kaum petani perempuan. Di Wadas kaum perempuan mempunyai hak politik atas tanah yang digarapnya. Mereka bebas menentukan apa yang akan ditanam dan dikelola oleh keluarga mereka untuk hidup.

“Perempuan Wadas itu merepresentasikan dirinya ada dengan mengolah gula aren, membuat besek, dan membuat makanan. Tapi ketika tanah diambil dari mereka, tidak ada lagi representasi perempuan wadas,” tegas Sana. 

Sebagaimana disebut dalam rilis media SPOER, permasalahan di Wadas adalah gambaran umum permasalahan petani di Indonesia. Dandhy Dwi Laksono, perwakilan tim Ekspedisi Indonesia Baru, memaparkan pandangannya tentang krisis petani Indonesia hari-hari ini.

Menurut Dandhy, krisis petani dimulai karena adanya cita-cita penyeragaman bahan pangan dasar warga Indonesia lewat program food estate. Gagasan utamanya adalah mengubah hutan menjadi sawah, dan memproduksi beras secara massal hingga mampu memenuhi kebutuhan beras seluruh warga dengan sumber daya manusia seminimal mungkin. Meski pada akhirnya selalu mengalami kegagalan, program ini terus-menerus dijalankan sampai zaman Presiden Jokowi.

Kegagalan tersebut mendorong terjadinya krisis petani di Indonesia. Menurut data Bappenas yang Dandhy paparkan, dalam sensus yang diselenggarakan setiap sepuluh tahun, jumlah petani di Indonesia terus menyusut. Dalam sepuluh tahun terakhir Indonesia kehilangan lima juta petani, dan diprediksi 40 tahun lagi profesi petani akan punah di Indonesia. Fakta ini semakin diperparah dengan data yang menunjukan 70% petani Indonesia telah berumur 45 tahun ke atas.

“Negara-negara lain mencoba menumbuhkan tanaman di atas gurun, sementara kita membabat hutan tropis untuk food estate, padahal sektor pertanian adalah fundamental bagi pembangunan negara” tambahnya.

Di forum yang sama, Ahmad Ashov Birry dari Trend Asia mengemukakan bahwa apa yang dialami Indonesia sekarang adalah dampak paradigma pembangunan berkelanjutan yang salah. Seharusnya pembangunan berkelanjutan menggunakan paradigma holistik, bukan paradigma destruktif sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Dengan paradigma destruktif ini, terjadilah apa yang dialami warga Wadas: pembangunan dengan menghancurkan lingkungan dan pondasi sosial.

Pada akhirnya, menurut Ashov, paradigma pembangunan berkelanjutan yang salah ini akan memunculkan krisis. “Krisis yang dampak-dampaknya sudah dialami ini, itu tanda bahwa batas-batas lingkungan sudah dilewati dan pondasi sosial telah rusak,” tutur Ashov.

Reporter Fatan Asshidiqie | Redaktur Ahmad Zamzama NH. | Foto Fatan Asshidiqie