Home BERITA Komite Politik: Jalan Alternatif dalam Perlawanan terhadap Oligarki

Komite Politik: Jalan Alternatif dalam Perlawanan terhadap Oligarki

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com–Social Movement Institute (SMI) mengadakan Festival Keadilan pada Minggu (10/12), di Bento Kopi Godean yang sebelumnya direncanakan di  Gor Tenis UIN Sunan Kalijaga. Namun terhalang dengan keputusan pembubaran dari Al Makin, Rektor UIN Sunan Kalijaga, sehari sebelum acara dilangsungkan. Acara ini sekaligus menjadi deklarasi oposisi permanen yang diberi nama Komite Politik, deklarasi tersebut dibacakan silih berganti antara Dimas dan Dera. 

“Oposisi Permanen menjadi roh dari Komite Politik. Kami ingin: (1) Menjadi penyeimbang kekuasaan; (2) Menjaga suasana atau pikiran alternatif terus diberi kemerdekaan bersuara; (3) Memelihara iklim demokrasi,” lantang Dimas membacakan teks Manifesto yang juga dibagikan kepada para hadirin.

Merujuk pada tulisan tersebut, Komite Politik didasarkan pada kondisi carut-marut di Indonesia. Tersebut krisis kepercayaan terhadap negara berikut institusi yang menopangnya dan elitis gerakan. Melihat demikian, Komite Politik bertujuan pemenuhan HAM, terciptanya demokrasi kerakyatan, kembalinya kekuatan dan kebebasan sipil, serta terciptanya sistem politik dan ekonomi yang inklusif.

Komite Politik juga menjadi wadah anak-anak muda, mahasiswa, dan masyarakat yang memiliki keyakinan dan keinginan pada perubahan yang mendasar, dan untuk melawan oligarki. Oligarki yang membuat negara Indonesia dewasa ini menjadi tidak baik-baik saja. Semisali tidak terpenuhinya HAM hingga tidak digunakannya sistem demokrasi di setiap ditekennya suatu keputusan.

“Pendidikan, pengorganisiran, kampanye, dan advokasi adalah kerja Komite Politik. Kami melakukan itu semua dengan semangat menghidupkan kedaulatan rakyat, menyalakan kesadaran perlawanan dan memperkuat akar dukungan dari komite-komite daerah. Tentunya resiko yang akan dihadapi cukup besar, tapi ketakutan tidak dapat menghalang kerja-kerja mulia ini,” kata Dera melanjutkan pembacaan Manifesto .

Setelah deklarasi dilakukan, dengan dipandu Muhammad Isnur, Ketua Umum YLBHI,  Bivitri Susanti, Pakar Hukum Tata Negara, menjelaskan kondisi Indonesia sekarang berkelindan dengan legalisme otokrasi. Legalisme otokrasi merujuk pada penyalahgunaan kewenangan kekuasaan, seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif, demi kepentingan segelintir orang saja, alih-alih kesejahteraan rakyat. Dengan kondisi yang seperti itu, menurutnya, akan sulit menerapkan sistem supremasi hukum yang secara formil diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 1 ayat 3.

“Kita sekarang melihat fenomena yang seringkali sudah dibicarakan belakangan ini, autocratic legalism, kita berbicara soal cara pandang yang legalistik sekali, dan di kita mungkin laku, ya, kawan-kawan, ya, karena kita kan selama ini diajarkannya soal supremasi hukum, bener gak? Tapi kalo hukumnya tidak adil apa mau kita buat supreme? Gak rela kita. Tapi itu yang dicekokkan kepada kita sejak kita kecil,” tegasnya.

Ia juga memberi contoh dengan sahnya UU TPKS bukan sebab urgensi bahwa masyarakat butuh akan aturan tersebut. Akan tetapi tak lain musabab aturan tersebut tidak mengganggu atas kepentingan bisnis kotor yang tengah atau akan dijalankan pemerintah beserta koleganya yaitu oligarki.

“Tapi coba yang lain, Undang-Undang Masyarakat Adat, Undang-Undang Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan lain sebagainya. Itu semua tidak diizinkan untuk lahir oleh oligarki,” lanjut salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu.

Sekitar ratusan orang menghadiri acara Festival Keadilan tersebut, dengan  Eko Prasetyo, Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti hingga Rocky Gerung turut andil sebagai pengisi acara. Dimeriahkan juga dengan penampilan musik dari Kepal SPI, Farida, dan John Tobing, pencipta lagu Darah Juang.

Reporter Sadrah Tawang Mahari (Magang) | Redaktur Selo Rasyd Suyudi | Fotografer Khirza Zubadil Ashrof (Magang)