Home BERITA Mahalnya Pendidikan Berimbas pada Kesehatan Fisik dan Mental

Mahalnya Pendidikan Berimbas pada Kesehatan Fisik dan Mental

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com–Gerakan Nasional Pendidikan (GNP) menggelar diskusi publik dan panggung rakyat dengan tajuk “Mahalnya Biaya Pendidikan & Matinya Demokratisasi Kampus: Kemana Arah Pendidikan Indonesia?” pada Jumat (22/12), di Hall STPMD “APMD” Yogyakarta. Dalam diskusi ini, masalah beserta dampak dari mahalnya pendidikan di Indonesia menjadi sorotan.

Rachmad Ganta Semendawai dari Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS), memaparkan data bahwa sekitar 74,22% mahasiswa yang tidak bisa membayar UKT memiliki masalah fisik dan mental. Dalam survei lain, kata Ganta, seperti yang dilakukan UNY Bergerak menunjukan bahwa mayoritas mahasiswa UNY yang tidak mampu membayar UKT mengalami gangguan mental bahkan dua mahasiswa mengaku ingin bunuh diri.

Ia pun memaparkan solusi dari masalah pendidikan nihil dilakukan oleh negara, ia menyebutkan jalan keluar dengan kredit pendidikan (student loan) yang dicanangkan oleh Jokowi telah terbukti gagal di Amerika dan Jepang. 

“Solusi dari Jokowi sederhana student loan itu. Persis seperti yang dipake oleh Amerika Serikat yang sebenarnya di Amerika Serikat udah gagal. Karena hasil temuan di Amerika serikat. 54% mahasiswa di Amerika Serikat mengalami depresi akibat student loan dan pinjaman biaya kuliah,” jelasnya. 

Pada akhirnya menurut Ganta, “karena masalah biaya  kuliah, akhirnya diskusi kita tentang biaya kuliah itu menyangkut nyawa orang,” imbuhnya.

Joko Susilo, Knowledge Manager Nalar Institute, mengurai mahalnya pendidikan di Indonesia dilatari liberalisasi sektor pendidikan yang ditandai dengan adanya intervensi modal terhadap instansi pendidikan. Salah satunya dengan mendorong instansi pendidikan menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau PTN-BH. Hal tersebut menurutnya merupakan permulaan terjadinya pendidikan sebagai barang dagangan yang diperjual-belikan.

“Kalau kita melihat relasi pasar negara [dengan] pendidikan tinggi, ada sesuatu yang sangat mencolok pasca krisis ekonomi tahun 90-an,” terang Joko. “Para ekonom yang beraliran liberal atau kanan, dia menawarkan yang disebut new economy atau knowledge economy, ekonomi pengetahuan. Ini karena krisis industrial itu menuntut mereka mencari sumber pendapatan, akumulasi kapital baru. Gagasan ini dalam konteks global, mereka menyebutnya corporate university”.

Ia menuturkan imbas dari keputusan tersebut memaksa kampus untuk melakukan privatisasi dan mempunyai hak otonominya sendiri, salah satunya menentukan regulasi dan biaya kuliah. Dalam hal ini, Joko menjelaskan, adalah bentuk lepas tanggung jawab negara akan penyelenggaraan pendidikan, ia mencontohkan dengan kehadiran Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (PT), menjadi musabab kenaikan biaya pendidikan di Yogyakarta membengkak secara signifikan sekitar 54 persen sampai pada tahun 2023. 

“Pasca 2012 adanya Undang-Undang Perguruan Tinggi, kontribusi negara itu hanya di angka 30 persen. 60 persen dari mana? Dari UKT mahasiswa. Kampus-kampus di Indonesia pasca Undang PT 2012 itu sangat tergantung dari pembiayaan dari UKT. Nah itulah UKT terus naik,” kata pria yang akrab disapa Josu tersebut.

Reporter Nuril Atieq (Magang) | Redaktur Selo Rasyd Suyudi | Fotografer Tim Media Gerakan Nasional Pendidikan