Home BERITA GNP Soroti Iklim Demokrasi Kampus yang Buruk Lewat Panggung Rakyat

GNP Soroti Iklim Demokrasi Kampus yang Buruk Lewat Panggung Rakyat

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com–Gerakan Nasional Pendidikan (GNP) mengadakan Panggung Rakyat selang diskusi mengenai komersialisasi pendidikan dan demokrasi kampus dilakukan pada Jumat (22/12), di Hall STPMD “APMD” Yogyakarta. Panggung rakyat tersebut menampilkan berbagai pementasan, dari musik dan rap bernada kritikan, pembacaan puisi, monolog, tari sufi hingga orasi politik menjadi medan gerakan untuk menyuarakan pendapat secara bebas.

Salah satu yang disorot dalam panggung rakyat adalah situasi demokrasi di kampus yang tengah merosot. Zoel Taba, mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST), menyampaikan kebebasan mahasiswa belakangan banyak dibatasi. Hal tersebut, ia lihat dengan banyaknya intervensi kampus terhadap mahasiswa.  

“Demokrasi yang berlangsung di kampus sedang buruk. Banyak terjadinya pelarangan aktivitas diskusi, pembatasan aktivitas politik mahasiswa, pelabelan buruk terhadap mahasiswa yang ikut demonstrasi, ancaman-ancaman, bahkan struktur-struktur politik seperti BEM dan DEMA juga dikooptasi hingga ada yang dibubarin, ini jelas mencederai demokrasi,” paparnya.

Merinci yang terakhir, Zoel melihat pembubaran dan pemecatan Ketua Majelis Mahasiswa Universitas Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (MMU KBM-ST) sebagai keputusan yang otoriter dan tidak demokratis.

Rey, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, menampilkan sebuah protes lewat monolog dan pembakaran almamater. Pembakaran tersebut Rey menjelaskan sebagai bentuk pemurnian, ia ingin membakar almamater sebagai simbol kritik terhadap kampus yang kini sudah jauh dari esensinya berikut mahasiswa itu sendiri.

“Aku respon juga elitisme mahasiswa yang menganggap kampus sebagai tumbuhnya para intelektual. Kalo dari sudut pandangku, itu jauh sekali. Kita hari ini masih menggap almamater adalah barang yang suci, padahal malah [almamater] menjadi jarak pemisah antara kita sebagai mahasiswa, buruh, petani, dan lainya,” jelasnya. 

Aksi simbolik tersebut, ia berangkat dari kepercayaan Zoroaster, Hindu, dan Konghucu yang mempercayai bahwa “api sebagai medium demitologisasi,” yang dengan begitu ia melakukan “pembakaran simbol yang kadung disucikan, dimapankan oleh kekuasaan,” imbuhnya.

Masalah lain menurutnya hadir dalam tubuh gerakan mahasiswa sendiri. Berangkat dari pengalamannya sewaktu membangun gerakan kolektif, ia mengungkap mengalami beberapa respons negatif dari lingkungan sekitarnya. 

Menambahi itu, Wa Ode Fitrah Azzalia, mahasiswi UMY, melihat gerakan mahasiswa masih cenderung dimiliki oleh segelintir saja, yaitu organisasi mahasiswa, belum seluruhnya memiliki kesadaran untuk melakukan protes. 

“Namun, justru masalah demokrasi di kampus saya itu, ada di partisipasi mahasiswa dalam kegiatan demokrasi kampus yang masih kurang, jadi memang kebanyakan yang bersuara itu hanya anak aliansi, BEM dan sebagainya,” ungkapnya sewaktu diwawancarai ARENA.

Padahal gerakan mahasiswa, terang Azzalia, khususnya di dalam kampus sendiri merupakan tonggak awal bagi jalannya demokrasi.

“Dalam pandangan saya, dan mungkin juga sebagian orang sepakat yah bahwa demokrasi kampus itu adalah instrumen yang sangat vital dan merupakan fondasi dari suatu sistem pendidikan yang sehat dan progresif tentunya,” jelasnya.

Reporter Hidayatullah (Magang) | Redaktur Selo Rasyd Suyudi | Fotografer Tim Media Gerakan Nasional Pendidikan