Lpmarena.com – Media sosial merupakan platform yang paling sering digunakan masyarakat untuk mendapatkan atau menyebarkan informasi. Namun, media sosial juga menjadi platform yang paling banyak menghasilkan hoaks, juga platform yang rentan bagi perempuan. Hal ini disampaikan oleh Indah Fajar, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka, pada Focus Group Discussion “Strategi Perempuan Menyikapi Misinformasi Dalam Pemilu” yang diadakan oleh ISRA Institute, Selasa (16/01).
Kerentanan itu berasal dari bias gender di media sosial, terutama pada masa kampanye. Menurut Indah, jumlah laki-laki mendominasi pengguna media sosial di Indonesia. Dari 60,4% total masyarakat Indonesia yang bersosial media, pengguna laki-laki berjumlah 53,2%.
“Semua wacana kemudian muncul di media sosial karena sangat luas dan beragam. Maka kemudian muncul opini mayoritas dan minoritas. Kerap kali perempuan yang ingin mengangkat isu soal keadilan gender menjadi minoritas dan takut untuk bersuara,” papar Indah.
Indah mencontohkan, ada seorang perempuan berkerudung yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Kemudian banyak warganet yang justru mengkritisi tampilan luarnya: perempuan itu tidak berkerudung sebelum menjadi calon legislatif. Padahal seharusnya warganet mengkritisi visi dan misinya sebagai calon anggota legislatif.
“Masyarakat malah mencari track record dari perempuan yang maju ke legislatif. Seperti caranya berkerudung, kasus rumah tangganya dan hal-hal pribadi lainnya,” ujar Indah.
Pengawasan di media sosial, lanjut Indah, lebih susah dilakukan daripada di media massa seperti koran atau majalah. Karena interaksi di media sosial bersifat borderless atau tanpa batas. Semua orang dapat saling terhubung, komunikasi lebih bebas, dan pesan sangat mudah tersampaikan. Sedangkan di media massa informasi yang masuk harus diolah dulu di dapur redaksi.
“Penggunaan media sosial memunculkan adanya spiral of silence. Spiral of silence ini dapat membungkam opini atau asumsi dari orang lain. Jadi kita nantinya akan ikut-ikutan opini mayoritas,” kata Indah.
Khairul Fahmi selaku Pakar Hukum Pemilu Universitas Andalas mengungkapkan, hingga saat ini belum ada regulasi yang membahas detail kampanye di media sosial. Hanya ada regulasi yang menyebut bahwa kampanye di media sosial haruslah akun yang resmi terdaftar di KPU. Sedangkan permasalahan hari ini adalah munculnya banyak akun liar yang berkampanye, tapi tidak dengan cara-cara yang etis.
“Media sosial adalah wahana yang sangat tidak baik untuk kampanye. Ada banyak akun robot yang isinya SARA, sensitif gender, dan kekerasan,” papar Khairul.
Khairul juga menyayangkan minimnya literasi masyarakat yang mengakibatkan informasi di media sosial dimakan begitu saja, tanpa ada cek ulang. Lebih-lebih, informasi itu kemudian disebarkan ke orang-orang sekitarnya. Hal ini kemudian berakibat pada banyaknya hoaks dan misinformasi, utamanya saat pemilu.
“Pola masyarakat hari ini, menyebarkan informasi sudah tidak hati-hati. Asal sebar, asal senang saja, karena dianggap bahan bercandaan”.
Indah menuturkan, etika di ruang digital perlu diterapkan. Salah satunya menghargai hasil karya orang lain dengan mencantumkan sumbernya. Ini dapat meminimalisir hoaks karena pembaca media sosial lainnya dapat melacak keaslian sumber informasi dan melihat keakuratan informasi yang disebar.
“Kalau dulu itu (ada ungkapan) ‘mulutmu harimaumu’, kalau sekarang ‘jarimu harimaumu’,” pungkas Indah.
Reporter Maria Al-Zahra | Redaktur Mas Ahmad Zamzama N.