Home BERITA AJI Indonesia: Kebebasan Pers dalam Kondisi Krisis

AJI Indonesia: Kebebasan Pers dalam Kondisi Krisis

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com—Kebebasan pers berada dalam kondisi krisis sepanjang tahun 2023. Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) yang dibuat Dewan Pers pada 2023 menghasilkan nilai IKP Nasional 71,57. Angka itu turun 6,30 poin jika dibandingkan hasil survei IKP 2022 yang mencapai nilai 77,87. Penurunan ini pertama kali terjadi dalam enam tahun terakhir.

Ika Ningtyas, sekretaris jenderal Aliansi Jurnalis Independen, mengatakan bahwa media dan jurnalis menghadapi tantangan yang cukup besar pada 2023. Tantangan itu datang dari internal, seperti konsentrasi kepemilikan media yang terhubung dengan partai politik maupun oligarki. Juga, model bisnis berbasis klik masih cukup dominan, terutama di media online, yang berdampak pada rendahnya mutu produk jurnalisme.

Selain itu, tantangan juga datang dari eksternal dengan kondisi demokrasi yang kian menurun. Melihat skor yang dirilis oleh Freedom House, dalam lima tahun terakhir demokrasi indonesia mengalami penurunan. Apalagi pada 2023 terjadi pelemahan institusi demokrasi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah konstitusi (MK).

Ika menyatakan kehadiran media dan jurnalis independen cukup penting dalam situasi demokrasi. Peran media dan jurnalis independen yang kritis jauh lebih dibutuhkan untuk mengawasi praktik otoritarianisme yang seringkali sejalan dengan meluasnya korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. 

“Namun di sisi lain, rezim yang otoriter menjadikan media dan jurnalis yang kritis sebagai sasaran kekerasan, kriminalisasi dan bentuk pelemahan lainnya,” ungkapnya pada webinar “Peluncuran Laporan Kebebasan Pers 2023” yang diadakan oleh AJI Indonesia, Rabu (31/1), secara daring.

Menurut laporan Aliansi Jurnalis Independen, ada 89 kasus serangan dan hambatan terhadap pers pada 2023, dengan korban sebanyak 83 individu jurnalis, 5 kelompok jurnalis, dan 15 media. Jumlah tersebut naik dibandingkan tahun 2022 sebanyak 61 kasus dan 41 kasus pada 2021.

Kehadiran media independen dan jurnalisme sebagai watchdog penting untuk memastikan pasokan informasi yang akurat, kritis dan dan kredibel untuk mendorong partisipasi publik. Partisipasi publik ini penting dilakukan agar melibatkan lebih banyak warga dalam upaya menyelamatkan demokrasi dan mengoreksi kekuasaan. 

“Sehingga upaya untuk dapat menyelamatkan demokrasi bukan hanya menjadi tugas pejuang hak asasi manusia atau pun tugas segelintir orang, tetapi harus menjadi agenda bersama,” tegasnya.

Selain itu, Ika juga mengatakan bahwa situasi menjelang pemilu 2024 ini jauh lebih kompleks karena melihat otoritarianisme digital, seperti represi-represi yang menggunakan fasilitas teknologi, semakin gencar dilakukan jika dibandingkan pada pemilu 2019 silam.

Masduki, dosen ilmu komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), menuturkan bahwa demokrasi Indonesia sedang tidak dalam posisi baik. Ia melihatnya dalam kondisi pers saat ini yang banyak mengalami represi. Kebebasan jurnalistik ini pararel dengan kondisi politik indonesia yang sedang mengalami kemunduran.

“…selama 20 tahun ini membangun, mengkampanyekan, membuat pondasi tentang kebebasan berekspresi, kebebasan pers itu justru hanya dalam hitungan satu tahun 2023 dan mungkin 2024 itu mengalami kerontokan,” ungkapnya.

Reporter Ridwan Maulana (Magang) Redaktur Mas Ahmad Zamzama N. | Ilustrasi euractiv.com