Home BERITA Minimnya Ruang Aman di Media: Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan Meningkat

Minimnya Ruang Aman di Media: Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan Meningkat

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com– Dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) mengadakan seminar untuk membangun perspektif gender pada masyarakat khususnya dunia jurnalisme. Acara diselenggarakan di Balai Kota Yogyakarta pada Kamis (14/11). 

Berdasarkan data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2023 sebanyak 82,6% perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual, termasuk 7 kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan.

Nurhidayah Perwitasari, koordinator divisi advokasi, gender dan kelompok minoritas AJI Yogyakarta mengatakan, kasus yang sering dialami oleh para jurnalis perempuan terjadi saat liputan berlangsung. Mereka sering kali mendapatkan kekerasan ketika sedang melakukan liputan yang mengharuskan berhimpitan dengan jurnalis lain.

“Saat jurnalis perempuan itu liputan di lapangan dan berhimpitan dengan wartawan lain dengan sengaja disikut atau dicubit. Mungkin banyak dari jurnalis perempuan yang berpikir itu tidak sengaja, namun itu sering terjadi,“ terang Wita. 

Tidak hanya di lapangan, kasus kekerasan seksual yang dialami oleh jurnalis perempuan juga terjadi di ruang redaksi. Siti Roswati Handayani, dari LBH APIK mengatakan bahwa jurnalis perempuan juga sering menjadi korban atasannya. Perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap dalam dunia media yang dicerminkan dengan maskulinitasnya yang kental.

Ia juga mengatakan bahwa jurnalis perempuan cenderung tidak dipercaya dalam peliputan isu kriminal dan politik karena dianggap memiliki risiko tinggi. Mereka dianggap lebih cocok dalam pemberitaan yang mengarah ke kuliner dan fashion, sedangkan ketika jurnalis laki-laki yang terjun dalam isu tersebut dianggap aneh. Adanya kejadian seperti ini membuktikan kurangnya pemahaman kesetaraan gender di dunia media.

“Kalau perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama dalam hal peliputan dengan berkedok perlindungan, apakah masih dianggap sebagai kesetaraan?,“ tanya Roswati.

Roswati meyakini, kekerasan terhadap perempuan terjadi akibat dari ketidakadilan gender dan stereotipe negatif masyarakat terhadap gender. Bahkan, para korban kekerasan seksual yang memiliki tingkat sosial tinggi atau riwayat pendidikan tinggi cenderung mengambil sikap diam karena takut kredibilitasnya diragukan.

Nurul Kurniati, dari Women Crisis Center Rifka Annisa menjelaskan, dampak yang akan terjadi oleh korban kekerasan seksual tidak hanya berupa fisik, tetapi juga psikologis, seperti trauma berkepanjangan, kecemasan, bahkan sampai keinginan untuk mengakhiri hidup.

Oleh karena itu, Wita berpendapat bahwa perusahaan media harusnya mengembangkan kebijakan internal yang melindungi jurnalis, khususnya perempuan. Selain itu, perlu adanya kolaborasi antar sektor untuk menciptakan lingkungan pemberitaan yang adil dan aman.

“Media perlu bekerjasama dengan pemerintah, organisasi perlindungan perempuan, dan komunitas lain untuk membangun pemahaman kesetaraan gender dan mengutamakan perspektif korban dalam peliputan kasus kekerasan berbasis gender,“ pungkasnya.

Reporter Aqeela Jangkar (Magang) | Redaktur Niswatin Hilma