Lpmarena.com–Dalam sistem ekonomi neoliberal, perempuan mendapat posisi yang sangat rentan, dilemahkan, juga dijatuhkan harkat martabatnya. Hal tersebut disampaikan Dewi Candraningrum, Editor buku Seri Ekofeminisme, pada sesi ketiga Simposium Beda Setara yang diadakan Jaringan Gusdurian di Convention Hall (CH) UIN Sunan Kalijaga, Jumat (15/11).
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan periode 2014—2016 itu memaparkan bahwa perempuan dihadapkan dengan sistem ekonomi yang tidak mendukung. Pekerjaan domestik menjadikan perempuan dianggap tidak memiliki fungsi dan dibuat rentan dalam struktur ekonomi kapitalisme.
Menyitir survei Organisasi Buruh Internasional (ILO), Candraningrum memaparkan kondisi perempuan kebanyakan yang mengalami kemiskinan karir dan waktu. Dalam posisi ini, banyak dari perempuan tidak sadar terkait posisinya dalam rumah tangga, dan menganggap bahwa kerja domestik bukanlah pekerjaan, sehingga dinormalisasi untuk tidak mendapat bayaran.
Padahal kerja domestik itu sendiri, kata Candraningrum, tidak berbeda dengan pekerjaan umumnya, seperti mencuci, menyediakan makanan, dan memberi layanan seksual. Di beberapa negara Skandinavia, hal tersebut dihargai, negara sudah memulai memberikan intensif kepada ibu hamil, melahirkan, dan merawat anak.
“Di dalam sistem ekonomi neoliberalisme, perempuan dijatuhkan. Fungsi ibu rumah tangga itu nol. Gak ada harganya. Saya hanya ibu rumah tangga. Saya tidak bekerja. Saya tidak berkarya. Saya tidak punya uang. Negara tidak mengakui itu. Kan itu kurang ajar sekali ya,” rutuknya.
Senada dengan Candraningrum, Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah, perwakilan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menyebutkan, dalam konteks keagamaan, posisi perempuan kerap dihadapkan banyak persoalan yang berkaitan dengan wacana keagamaan yang androsentris. Bahkan, lanjut Fajriyah, sulit untuk menjadi tokoh agama perempuan, sebab diksi ulama lekat pada laki-laki.
“Dari ulama laki-laki sendiri mereka pasti akan melihat bahwa ini seakan-akan melawan teologi, melawan nilai-nilai pemahaman agama, nilai-nilai tafsir agama yang dianuti. Itu sudah pasti, sudah kelihatan, sudah terbukti bahwa penolakan dari kelompok laki-laki itu sendiri gitu,” papar Fajriyah.
Ia melihat, bahwa kepemimpinan yang diwujudkan dalam sosok ulama perempuan adalah penting, agar tidak terjadi bias dan puya perspektif gender dalam merespons situasi-situasi yang berkaitan dengan perempuan. Fajriyah meyakini bahwa solusi-solusi keagamaan yang dihadapkan pada perempuan akan lebih inklusi karena berdasar dari pengalaman perempuan.
“Perempuan menjadi liat, perempuan menjadi tidak dilihat, bahkan untuk kajian-kajian keagamaan yang itu diperuntukkan bagi perempuan. Situasi ini tentu akhirnya membangun narasi-narasi keagamaan yang berkembang, tumbuh, dan terus-menerus merugikan perempuan,” jelasnya.
Kepala Pusat Riset Gender SKSG UI itu juga menjelaskan beberapa upaya yang harus diperjuangkan perempuan muslim dalam kepemimpinan dan pemenuhan hak mereka. Seperti membangun kepercayaan diri yang juga harus didukung dan diakui oleh lingkungan, serta menciptakan kesadaran ruang agar diakui keberadaannya sebagai perempuan muslim dan peran kepemimpinannya.
Hal sama ditekankan juga oleh Candraningrum, bahwa kepemimpinan perempuan harus didukung dan negara harus bertanggung jawab dengan kebijakan yang mendukung peran perempuan, karena pekerjaan merawat yang dilakukan perempuan adalah pekerjaan yang berhubungan langsung dengan lingkungan hidup.
Baginya, perempuan memiliki kontribusi yang tidak dapat dianggap remeh. Ia memberi contoh kontribusi perempuan dan peran kepemimpinannya dalam isu sosial dan ekologi, seperti kisah Mama Aleta yang mempertahankan perusakan tanah dan hutan lewat tenunan di Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur, dan para perempuan yang menyokong logistik pada konflik antar agama di Poso.
“Jadi pekerjaan-pekerjaan yang dianggap biasa itu sebenarnya penting, yang ikut andil dan ikut berperan dalam memimpin pun adalah perempuan.” pungkasnya.
Reporter Wilda Khairunnisa | Redaktur Selo Rasyd Suyudi