Oleh: Selo Rasyd Suyudi*
Pemilwa sudah usai, hari ini dan seterusnya.
Sebut saja dia Thomas, lengkapnya, Thomas 300-Hari-Menganggur. Ada tiga hal yang ia inginkan dalam hidupnya. Pertama, ia ingin dapat bangun pagi. Kedua, mendapati teman sekelasnya di suatu pagi mengirim pesan tertulis padanya bahwa ia mencintai Thomas. Dan, ketiga, mendapati Pemilwa tidak akan berjalan seperti biasanya. Ia merinci: tidak berjalan seperti biasanya adalah ada satu kotak kosong, sehingga dirinya dapat memilih untuk pertama kalinya sejak beralmamater hijau dan ia pastikan kotak kosong tersebut adalah pilihan yang paling endul buatnya. Setidaknya.
Resolusi pertama dan kedua cukup rasional dan normal, ia dapat mengusahakannya, walau pastinya bakalan tertatih-tatih menggapainya, tapi santai, ia punya telepon pintar berikut kawan saleh dan handal di mana ia dapat menemukan kiat sukses bangun pagi dan cara keren anti memalukan dalam upaya menggaet hati seseorang. Singkat kata, ada 1001 variasi yang bisa ia coba, tapi bagaimana dengan ketiga? Itu sulit, jauh lebih sulit dari melatih keledai untuk tidak terperosok ke dalam lobang yang sama.
Perihal yang terakhir, Thomas 300-Hari-Menganggur mengingat tulisan Ajid FM yang sudah jauh-jauh hari nangkring di situs ARENA. Ajid menulisnya lima tahun silam, 10 Desember 2019, dalam “Ramai-Ramai Mengabaikan Pemilwa”. Sudah jauh-jauh hari ia khatam membacanya dan ada satu hari di mana tulisannya terngiang, yakni saat Pemilwa berlangsung.
“Saya merasa risih melihat perilaku peserta Pemilwa, partai politik mahasiswa. Keberadaannya hanya menjelang pemilihan, dan setelah itu hilang entah kemana. Lantas muncul lagi tahun depan. Begitu seterusnya sampai kiamat kurang dua hari,” kata mahasiswa sipil tersebut.
Tiap itu mendengung di kepala, Thomas 300-Hari-Menganggur selalu sigap menjawab dalam hatinya: Iya bung, saya pun merasa begitu, lalu menambah, dan hari ini masih seperti itu, bung, asal kau tahu saja. Partai satu, partai dua, partai tiga, partai empat hanyalah “partai-partaian” yang tidak pernah peduli dengan masalah mahasiswa, tidak pernah peduli dengan politik dan demokrasi, tidak pernah peduli dengan kampus, dan hanya peduli pada berahi kekuasaannya belaka.
Thomas merasa akrab dengan perkataan Ajid tersebut, bukan karena ia pernah bertemu secara langsung, tidak, ia tidak sezaman—tapi lebih-lebih karena sudah empat kali pagelaran ia menyaksikan apa yang dikata Ajid “seolah-olah demokrasi” ini, masih saja “seolah-olah demokrasi,” tidak pernah ada kemajuan barang se-upil pun, bahkan menjadi “hampir demokrasi” atau “dikit lagi banget demokrasi” misalnya, pun tidak bisa.
Angan-Angan Kosong Soal Kotak Kosong
Dalam kancah nasional, aspirasi untuk hadirnya kotak kosong dalam hal ini sewaktu terjadinya calon tunggal sudah ada sejak dasawarsa silam. Maraknya calon tunggal dan demi mencegah hadirnya “boneka” adalah yang melatari terciptanya putusan ini. Lewat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 kemudian UU Pilkada Nomor 10 tahun 2016, calon tunggal dapat untuk tetap melangkah ke pemilihan kepala daerah, dan kotak kosong maju sebagai lawannya.
Dari situ masyarakat diperbolehkan untuk memilih atau tidak si calon. Jika yang menang adalah kotak kosong, maka pejabat sementaralah yang dipilih untuk mengisi kursi kepemimpin.
Lebih jauh, di Kolombia, aspirasi untuk menghadirkan kotak kosong dalam pemilu diakomodasi. Di sana, bila dalam pemilihan presiden kotak kosong yang menang, maka pemilu diulang, dan partai politik wajib mengganti capres-wapres dengan orang lain karena mengingat, pemilu adalah pesta rakyat dan suara rakyat adalah suara Tuhan, sebabnya jika yang menang adalah kotak kosong itu artinya si calon tidak dapat memuaskan keinginan rakyat.
Sesederhana itu konsep kotak kosong.
Namun, di Pemilwa—yang dalam UU Pemilwa ini asasnya adalah diselenggarakan secara demokratis dan transparan, jujur dan adil, dan seterusnya, dan seterusnya—hak ini kerap dianggap sebagai tindakan sia-sia, atau lebih buruk, saya duga (semoga salah) tidak pernah ada di benak kopong mereka untuk menghadirkan kotak kosong.
Bagi Thomas, kotak kosong bukan celetukan orang iseng yang ujug-ujug datang dalam seratus tahun sekali, tetapi sebuah pernyataan simbolis, sebuah bukti bahwa Thomas telah muak dengan kondisi politik kampus yang stagnan. Bolehlah itu dibilang sebagai gerakan tidak peduli. Namun, bagi Thomas, kotak kosong adalah bentuk kepedulian paling ekstrim.
Ini lebih dari sekadar aksi diam, jeritan tanpa suara yang jauh lebih nyaring ketimbang visi-misi hambar dalam poster dan dalam kampanye. Sebab, kemenangan kotak kosong akan menyatakan satu hal dengan tegas: bahwa Pemilwa sudah kehilangan kepercayaan, dan para mahasiswa enggan lagi menjadi sapi perah dalam apa yang disebut sebagai “seolah-olah demokrasi” ini.
Thomas membayangkan betapa ironisnya ketika calon tunggal kalah melawan kotak kosong. Itu akan menjadi tamparan keras bagi partai politik mahasiswa dan calon tunggal yang selama ini hanya muncul saat Pemilwa dengan kegiatan yang melulu gitu-gitu saja: pendidikan politik, menyampaikan visi-misi, koar-koar soal kecurangan, kemudian lenyap ketika pesta usai dam senyap setelah semua terjadi. Seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah seremonial belaka dan mereka hadir sesuai pesanan zaman.
Namun, Thomas juga sadar bahwa angan-angan ini hanyalah angan-angan. Harapan, sebagaimana harapan yang ia pernah idamkan, akan selalu berakhir di altar kekecewaan. Di kampus (katanya) putih ini, demokrasi sudah lama kehilangan pemaknaannya. Pemilwa tak ubah hanya rutinitas untuk menggugurkan kewajiban agenda tahunan.
Thomas 300-Hari-Menganggur ingin sedikit revisi ihwal tiga keinginan dalam hidupnya. Pada yang pertama ditambah dan menjadi “ingin dapat bangun pagi dan bisa hibernasi sekurang-kurangnya selama satu bulan semenjak Pemilwa dimulai.” Karena satu hal yang pasti, di dalam tidurnya Thomas selalu punya mimpi, sedang di Pemilwa, harapan untuk bermimpi pun tidak ada.
*Penulis sering memilih jalan salah dan kemudian menyesal, kecuali memilih untuk tidak memilih di Pemilwa.
Editor Maria Al-Zahra | Ilustrator Nabil Ghazy