Home MEMOAR Arena: Menumbuhkan Militansi 

Arena: Menumbuhkan Militansi 

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Hidayatut Thoyyibah*

Lpmarena.com-  Sejak Arena edisi “Bisnis di Kekuasaan” terbit, saya sebagai kru Arena diliputi kebanggaan. Pasalnya setiap hari, edisi tersebut menjadi perbincangan seru di tanah air. Saya bertugas “menitip jualkan” Arena edisi tersebut di Mall Rimo yang jaraknya hanya menyeberang jalan dari gerbang Kampus Barat IAIN Sunan Kalijaga. Kenapa saya bertugas menitip jualkan di Mall tersebut, karena salah satu manager di sana adalah istri Bang Fauzi Rizal ketua Yayasan Perpustakaan Hatta salah satu tokoh yang saya kenal dengan baik.  

Tidak sampai satu minggu, edisi Arena yang kami titipkan habis. Lalu, peristiwa pembredelan itu menghentikan langkah kami untuk menambah pasokan titip jual di Mall Rimo. Lalu gelombang protes di Kampus Putih, Kampus perjuangan pecah. 

Ratusan aktivis mahasiswa dari berbagai kampus di Yogyakarta, bahkan dari luar kota bersolidaritas untuk Arena. Mereka datang memenuhi tangga demokrasi, tangga menuju Masjid UIN, berorasi mengecam pihak rektorat yang membredel edisi tersebut, dan sekaligus menjadi mimbar terbuka orasi-orasi politik mengecam pemerintahan Orde Baru, mengecam kekuasaan Soeharto yang corrupt, dan mengecam bisnis anak-anaknya yang menggurita dengan memanfaatkan kekuasaan Bapaknya. Monopoli cengkeh, Mobil Timor dan masih banyak lagi, hari-hari tersebut menjadi topik perbincangan terbuka. Bukan kasak-kusuk lagi. Pendidikan politik penting bagi mahasiswa-mahasiswa, karena topik-topik tersebut adalah topik sensitif yang tidak berani diungkapkan secara terbuka. 

(Dok. Pribadi: Penerimaan anggota baru)

Entah hari ke berapa gerakan protes itu terus berjalan. Pagi itu, saya  datang ke Arena dan menemui beberapa wajah baru, hanya beberapa yang saya kenal. Setelah melewati ruang depan, saya masuk ke ruang dalam untuk melihat siapa yang ada di Arena, tetapi ketika saya akan keluar, ada beberapa orang Polisi atau Tentara berpakaian preman membawa kamera merangsek ke dalam ruangan. Dia mulai menghidupkan kamera untuk memvideo ruang luas berkarpet plastik dan sebagian tikar, tepat  kami biasanya berdiskusi. Tiap ruang sebenarnya hanya disekat dengan lemari berisi plakat, piagam dan beberapa buku atau dokumen milik Arena. 

Melihat mereka masuk, saya mulai berteriak menyuruh mereka keluar. Ketika saya mulai berteriak, orang-orang yang ada disekitar Arena mulai ikut berteriak yang memaksa mereka keluar.  Aparat keamanan, tentara atau polisi pada tahun-tahun itu masih menjadi mata rantai kekuasaan teratas. Jadi pengalaman meneriaki mereka, memaksa agar mereka menghargai dunia akademik dengan tidak memasuki kantor Arena menjadi pengalaman pertama saya berhadapan langsung dengan alat kekuasaan, yang bersifat lebih personal.

Saya ingat, bagaimana salah seorang senior saya di Arena pernah menuturkan bahwa demonstrasi, melakukan perlawanan, adalah salah satu upaya untuk membangun dan mengembangkan militansi. “Bukan hanya ideologisasi, tetapi juga militansi Jeng”. Senior yang maksud ini adalah senior yang paling rajin mengunjungi tempat kos-kos kami sambil membawa buku-buku untuk dipinjamkan. Bahkan kalau dia kecapekan, bisa nunut tidur di ruang tamu tempat kos. 

(Arsip 1991)

Jika mahasiswa saat ini memiliki kemudahan untuk mengakses informasi, bagi mahasiswa tahun 80-90an kemudahan mendapat informasi adalah kemewahan. Ber-Arena memberikan kemewahan bagi mahasiswa yang ada di dalamnya, karena di tengah kesulitan mengakses informasi, Arena memiliki jaringan untuk bisa memperoleh informasi. Beberapa kali Arena “menculik” tokoh-tokoh penting nasional untuk berdiskusi di Arena, Daniel Dhakidae jurnalis nasional, Ariel Heryanto Dosen Universitas Satya Wacana, George Aditjondro, Gus Dur dan lain-lain pernah menjadi korban penculikan untuk menjadi narasumber dadakan yang diadakan oleh Arena. Beberapa  bahkan hanya disediakan tempat diskusi di selasar depan kantor Arena sampai Kantor Senat Mahasiswa Institute (SMI), yang kantornya bersebelahan. 

Jaringan dengan tokoh-tokoh nasional ini juga membuka peluang untuk bisa mengakses sumber-sumber literatur yang sangat sulit untuk didapatkan. Mengingat salah satu bentuk otoritarianisme rezim orde baru adalah melakukan larangan mengakses informasi yang dianggap “berbahaya”. 

Selain mendapatkan kemewahan akses informasi, Arena juga memproduksi informasi. Arena berani menciptakan informasi dengan melakukan reportase fact finding atau investigative news. Live in di lokasi konflik, reportase sambil melakukan pengorganisasian masyarakat. 

Pasca pembredelan, Arena vakum. Meskipun begitu tradisi diskusi terus dilakukan. Saya dan Nida’us Saadah menjadikan Arena sebagai Kampus Utama, “Kalau sehari saja tidak ke Arena, rasanya saya ketinggalan informasi”. Duduk di kursi rotan di ruang tamunya, membaca koran bergantian, atau bahkan bermain remi, merupakan cara unik di Arena untuk tetap melakukan penguatan kapasitas untuk para juniornya. Dan tentu saja, tetap melakukan rekrutmen, Upgrading (Pendidikan dan latihan bagi crew baru). 

(Arsip 1977)

Setiap Arena ulang tahun kami upayakan untuk melakukan perayaan kecil, di kos Mbak Nehik Sri Hidayati, yang berada di sebelah barat Kampus Barat (sekarang di belakang Hotel Saphir Batas Kota), kami memasak nasi uduk, kering tempe, telur goreng dan lainnya. Saat-saat seperti ini menjadi saat ketika antar generasi berkumpul, kadang-kadang bagi yang telah lulus sekalipun. Makan-makan, diskusi dari hal remeh sampai yang paling serius terjadi dalam forum ini. 

Perayaan-perayaan hari-hari  khusus juga kami rayakan bersama. Misalnya pada saat tahun baru. Kami pernah merayakan tahun baru ke Malioboro, dan yang paling seru adalah merayakan tahun baru dengan bermain remi. Tentang bermain remi ini, ada senior Arena yang dengan sengaja tidak boleh berhenti bermain dari sebelum pukul 24.00 sampai tahun baru hadir. Beliau dikenal sebagai pemain remi dengan rekor kekalahan terlama,  yaitu dari tahun 1994 sampai 1995. 

Selain kenangan tentang kegembiraan, kebanggaan, kelucuan, Arena juga memberikan pengalaman menyeramkan. Pengalaman menyeramkan itu terutama terjadi ketika rapat redaksi. Ketika rapat redaksi, biasanya semua orang sudah datang dengan tema tulisan, angle, dan outlinenya. Melebihi sidang munaqasah, rapat redaksi menjadi tempat pembantaian yang berdarah-darah. Beberapa kali saya harus mingsek-mingsek menangis karena tema yang saya ajukan dibantai habis-habisan. Tetapi dengan pengalaman tersebut, keharusan melakukan riset, membaca banyak tulisan memberikan efek lain, setidaknya masa muda saya tidak terlalu ngisin-ngisini. 

Hasutan; Jika ada couple award di ARENA, sudah saatnya ARENA memberikan parent and children award, sebenarnya ada berapa jumlahnya?

*Masuk melalui sistem pendaftaran pada tahun 1992 dengan mengalahkan ratusan pendaftar. Terpilih dan menjadi minoritas dalam satu angkatan. Dari 20 orang yang diterima, hanya ada dua orang perempuan dan alhamdulillah bertahan sampai wisuda, bahkan setelahnya  | Foto Arsip Arena dan Dokumentasi Pribadi