Lpmarena.com- Profil seorang anak muda ideal biasanya digambarkan dalam wujud temperamennya yang spontan dan nyala idealismenya yang berantakan. Itulah agaknya “harta” mereka. Kebetulan atau tidak, lelaki muda bertubuh kering semampai ini ternyata gudang keduanya. Diramu dengan kekerasan kemauannya, keluasan wawasannya, dan kemampuannya berbicara serta mensugesti orang. Hampir-hampir ia muncul sebagai tokoh legendaris di kalangan mahasiswa di kampusnya IAIN Sunan Kalijaga. Untunglah ia keburu tamat study.
Pendirian-pendiriannya yang radikal, dan tingkah-tingkahnya yang spektakuler sering berakibat beberapa kawannya kehilangan paham, menyindirnya dalam gurau dan bisik-bisik sebagai titisan Caligula tokoh utopisnya Albert Camus yang menginginkan bulan dan kehidupan abadi.
Sudah separah itukah dia? Sekelumit catatan di bawah ini mungkin bisa memberi gambaran tentang kepribadiannya.
Restu
Slamet Effendy Yusuf, anak muda itu, lahir pada 27 tahun yang lalu dalam naungan zodiak Capricorn di dusun sunyi Lesmana Ajibarang Purwokerto. Ayahnya KH Yusuf Azhari guru ngaji kampung yang hafal Al-Quran, sementara sang ibu Umi Kulsum secara sambilan berdagang gula kelapa yang dikirimnya ke beberapa kota di Jawa Barat.
Dari keluarga yang populis inilah sikap dan pandangan hidup anak muda itu ditempa. Dogma-dogma agama, keberanian, cita-cita, tanggung jawab, dan sifat tahan menderita, adalah sesuatu yang disuapkan ke dalam dirinya oleh orang tua dan para guru di daerahnya sana.
Suatu hari, tahun 1969, ketika Slamet bermaksud studi ke Yogya orang tuanya bernasihat: “Met, saiki kowe wis tak anggep gede. Arep dadi abang apa ijo koew wis bisa milih. Apa sing kok anggep bener lakonono kanti mantep, perjuangono. Aku ikhlas”. Nasihat yang lebih bermakna sebagai kepercayaan dan support itu oleh Slamet ditafsiri sebagai restu sekaligus ‘bai’at’.
“Saya merasa bahwa semua yang saya perbuat adalah atas restu orang tua. Oleh karenanya saya mantap. Saya yakin bahwa setiap restu orang tua adalah untuk kebaikan anaknya,” ucapnya pada ARENA di suatu hari.
Resiko
Sikapnya yang “birrul walidain” ini ternyata tidak dengan sendirinya membuatnya menjadi anak penurut dan mudah diatur, bahkan cenderung sebaliknya. Konfrontasi pendapat dengan beberapa pinisepuh tak segan-segan dilakukannya. Dalam banyak kesempatan sering pula dinyatakan sikapnya yang anti establishment, nepotisme, orang-orang tua pendikte, dan orang-orang tua suka memperalat anak-anak muda buat sukses kepentingannya. Ia lebih patut digolongkan sebagai penggugat lingkungannya. Suasananya yang monoton, suasana yang birokratis, kemiskinan dan keterbelakangan, dan suasana-suasana yang dipandangnya kurang human.
Tak mengherankan ia sering dituduh “pemberontak”, otak keributan, anak urakan, dan lain-lain cap yang tidak menggembirakan. Konon seorang pejabat pernah berkata tentang dia. “Slamet itu anak yang angkuh, keras kepala, sulit diatur. Entah mau jadi apa dia”. Tuduhan-tuduhan yang menyakitkan itu agaknya sudah dihitungnya sebagai resiko perjuangannya di dunia kemahasiswaan.
Katanya: “Asalkan mahasiswa memandang ide-ide itu bermanfaat dan hati saya tidak diselinapi niatan-niatan busuk, kenapa pusing-pusing? Itu harus ditempuh. Toh resiko ada di mana-mana, sebab hidup ini sendiri adalah perjuangan untuk mengatasi resiko-resiko itu. Dan saya memandang bahwa resiko yang diakibatkan oleh perjuangan untuk menegakkan niat baik dan kepentingan orang banyak, itu adalah ibadah. Kalau kita terpaksa harus jadi martir untuk ini, apakah itu tidak lebih menarik daripada mengkhianati hati nurani yang juga sama-sama tersakiti?” Pendiri ini agaknya masih terpatri sebagai miliknya hingga kini.
Sekarang, Slamet telah menyunting seorang dampingan hidup yang sedang dalam hamil tua, dan bulan lalu (tanggal 9 Desember 1976) studinya di fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga sudah ia rampungi.
Wirogunan
Aktivitas Slamet di dunia kemahasiswaan ia rintis dari tangga yang paling bawah. Sejak dari kacung tingkat, tukang damprat dosen yang malas mengajar, sampai masang pamflet dan panjat-memanjat memasan spanduk. Namun, dunia ini ditekuninya dengan sepenuh hati. Pernah sebagai salah seorang penyiar Radio Suara IAIN (1970), Seksi Kesenian Senat Mahasiswa Fak. Syariah (1972), Ketua Cabang PMII Yogyakarta (1972), dan Ketua Dema IAIN Suka (1973–1975).
Semasa menjadi Ketua Dema inilah ia banyak berurusan dengan yang berwajib, karena diduga sebagai salah seorang penggerak aksi-aksi mahasiswa Yogyakarta. Ia harus menjadi salah seorang saksi dalam pengadilan Hariman (peristiwa Malari), dan beberapa minggu nginap di sel tahanan Polisi Militer Yogya dan Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan. Beberapa orang intel kampus sangat kenal baik dengan dia.
Di bidang jurnalistik dan tulis-menulis, Slamet Effendy termasuk nama yang cukup produktif. Beberapa tulisannya tentang kemahasiswaan/generasi muda, agama, dan lain-lain masalah sosial pernah dipublikasi oleh: Harian Kami (Jakarta), Sinar Harapan (Jakarta), Forum (Bandung), Eksponen (Yogyakarta), Masa Kini (Yogyakarta), As-Syir’ah (Yogyakarta) dan ARENA ini sendiri di mana Slamet duduk sebagai Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawabnya sejak majalah ini lahir dua tahun yang lalu. Berkat keprigelannya dalam menulis, tahun lalu Slamet telah memenangkan Sayembara Menulis yang diselenggarakan oleh Radio Suara Malaysia. Untuk itu, dia telah diundang ke sana, kasih ceramah tentang agama, dan generasi muda di sana serta mampir ke kampus-kampus di Malaysia dan Singapura.
Nangis
Ia telah cukup kenyang dengan romantika hidup mahasiswa. Keterlibatannya sebagai pemegang peran aktif di banyak aktivitas kemahasiswaan, nampaknya menyebabkan ia begitu berakar di kalangannya. Gaya hidup, sikapnya, pikirnya dan kepribadiannya nyaris bertabur pijar-pijar kemahasiswaan.
Diam-diam Slamet pun punya tokoh-tokoh yang ia kagumi kepribadiannya, antara lain: Mao Tse Tung, Ki Wahid Hasyim, Muchtar Lubis, Soekarno, dan Ali Murtopo. Di samping itu semua, ternyata Slamet yang binal dan keras pendirian ini adalah seorang yang mudah haru dan menitikan air mata. Ia pernah menangis sejadi-jadinya sewaktu sang ibu yang bermaksud menjenguknya di sel tahanan didorong keluar oleh seorang petugas. Ia pernah menangis sepulang nonton film “DR. Zhivago”. Ia pun pernah menangis ketika seorang pimpinan Institut menolak untuk hadir di sebuah acara mahasiswa, hanya karena tak ada perintah Rektor. Ia juga menangis ketika di hari munaqosahnya banyak mahasiswa berjubel menghadiri acara itu. Sebuah tangis haru.
Itulah Slamet, profil seorang tokoh mahasiswa yang hari-harinya banyak diabadikan untuk urusan-urusan kemahasiswaan meskipun kehidupannya sendiri tak begitu menggembirakan. Tahun ini, amat terasa IAIN kehilangan seorang “pejuang” kemahasiswaan yang tangguh dan berpikiran cemerlang. Idenya untuk membentuk Lembaga Perlindungan Hak-hak Mahasiswa yang pernah ia ungkapkan, sungguh pun tampaknya sebagai kelakar ringan, sebenarnya lah patut direnungkan betapa ia begitu serius menekuni dunia yang satu ini.
Slamet yang sekarang masih menjabat sebagai salah seorang Ketua KNPI—DIY, Ketua Koordinator Cabang PMII DIY ini, beberapa minggu lagi bermaksud pulang kampung untuk menunggu sang junior yang bakal lahir. Beberapa nama sudah disiapkan untuknya, Itupun dengan berdiskusi pada kerabat-kerabatnya.
Dalam kesempatan selamatan Ulang tahun II MBM ARENA, Slamet telah menyampaikan permintaan maafnya kepada semua pihak yang selama ini merasa tak berkenan dengan tingkah-tingkahnya.
Sepeninggalannya mungkin namanya takkan pernah disebut-sebut lagi di kampusnya, sebab bulan pun baru memberi arti hanya sewaktu ia bersinar memperindah lembah, pantai dan perkampungan. Namun betapa pun almamater ini patut berbangga. Dari rahimnya telah lahir seorang anak baik yang telah banyak memberikan sumbangannya bagi perubahan rona wajahnya, yang mengatrol nama IAIN di banyak forum.
Arigato Si Anak Binal. Arigato mama (MIC).
*Artikel ini ditulis ulang dengan penyuntingan dari Majalah Arena Januari 1977, dipublikasi ulang di HUT Arena ke-50 untuk mengingat sejarahnya | Foto Arsip Arena