Home BERITA Suara Jurnalis Perempuan Melawan Kerentanan Berlapis

Suara Jurnalis Perempuan Melawan Kerentanan Berlapis

by lpm_arena

Lpmarena.com– Dalam rangka Hari Kartini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyelenggarakan diskusi bertema “Resiliensi Perempuan Jurnalis Menghadapi Serangan dalam Kerja Jurnalistik” pada Senin (21/04). Diskusi ini berlangsung melalui platform spaces Twitter (X) di laman akun @AJIIndonesia.

Gema Gita Persada, selaku Pengacara Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) menjelaskan dari catatan LBH Pers beberapa waktu ke belakang, pola serangan terhadap perempuan jurnalis selalu berulang sama. Bentuk serangan yang dialami oleh jurnalis perempuan tak hanya terkait pada profesinya sebagai jurnalis, namun juga pada identitas gender mereka sebagai perempuan.

“Pasti sangat related dengan identitas mereka sebagai perempuan,” tegas Gema.

Gema memaparkan, bentuk serangan yang marak terjadi adalah dalam bentuk kekerasan melalui kanal digital. Serangan tersebut seperti halnya; pelecehan seksual, bullying, dan juga doxing yang disertai ancaman.

Beberapa serangan terhadap jurnalis perempuan juga dilakukan melalui pelanggaran hak normatif. Menurut Gema, hak atas ruang aman jurnalis sebagai perempuan kerap kali tidak terpenuhi oleh orang-orang di sekitarnya; jurnalis perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama dengan jurnalis laki-laki dalam proses liputan.

“Yang dialami oleh beberapa perempuan jurnalis itu doxingnya itu juga disertai dengan ancaman pemerkosaan, yang mana pengalaman tersebut tidak dialami oleh jurnalis laki-laki,” ungkap Gema.

Sudah semestinya hak atas ruang aman jurnalis terjamin oleh pemerintah dan masyarakat. Seperti halnya dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers pada pasal 8 yang membahas jaminan perlindungan hukum bagi pers. Namun, Gema mengungkapkan, tidak ada undang-undang yang secara komprehensif dan spesifik membahas kerentanan perempuan dalam dunia pers.

Menurutnya, budaya patriarki dan hyper toxic masculinity masih mengakar mulai dari proses pembentukan legislasi sampai dengan implementasi penegakan hukum. Hal ini yang menimbulkan kerentanan berlapis bagi jurnalis perempuan.

“Lagi-lagi jurnalis perempuan saat ini makin berbahaya posisinya khususnya di era dengan pemerintahan yang alergi terhadap kemerdekaan pers ini,” tutur Gema.

Senada dengan itu, Febrianti selaku Jurnalis Tempo dan anggota AJI Padang, menyayangkan kurangnya peran pemerintah. Ia mengungkapkan, ditambah dengan kondisi rezim sekarang akan semakin mempersulit ruang gerak jurnalis perempuan ke depannya.

Menurut Febrianti, untuk mempertahankan independensi dan profesionalisme, diperlukan resiliensi dan mempertebal keberanian. Hal tersebut terkait memperjuangkan hak perempuan dalam konteks untuk melakukan kerja-kerjanya dengan jaminan rasa aman.

“Kalau seperti sekarang juga harus tetap kita lawan ya,” tutur Febrianti.

Menurut Kartika Anwar, Jurnalis Kita Muda Media dan anggota AJI Samarinda, jurnalis perempuan butuh untuk kuat di berbagai medan. Tidak hanya saat mengerjakan kerja-kerja jurnalistik, tetapi juga saat berinteraksi dengan lingkungan sekitar. 

Diperlukan tempat bergerak bersama atau berkolaborasi membangun jaringan dukungan antar jurnalis perempuan. Menurut Kartika, hal tersebut penting guna menguatkan satu sama lain dan mendorong ruang aman bagi jurnalis perempuan.

“Kolaborasi sekarang sangat penting untuk menjaga keamanan kita sendiri,” ungkap Kartika.

Gema menegaskan, bahwa memang perempuan jurnalis sampai hari ini masih harus menghadapi tantangan yang sifatnya bukan hanya menyasar pada profesinya saja, tetapi beresiko juga pada ranah personal.

“Perlindungan hukum bukan yang paling penting, yang paling penting adalah resiliensi itu,” pungkas Gema. 

Reporter Rizqina Aida | Redaksi Ghulam Ribath