Home BERITA Upaya Pihak Keluarga dan Tim Bantuan Hukum Aliansi Rakyat Menjemput Massa Aksi yang Ditahan Aparat

Upaya Pihak Keluarga dan Tim Bantuan Hukum Aliansi Rakyat Menjemput Massa Aksi yang Ditahan Aparat

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com – Sekitar pukul sembilan malam Supriyono urung istirahat ketika mendengar kabar anaknya dikeroyok.  Ia tak tahu pasti di mana dan bagaimana kondisi putranya, Dimas Tri Wibowo yang ikut dalam aksi demonstrasi menolak Omnibus Law. Kabar itu masih simpang siur. Hingga adik Dimas pun mendapat informasi dari media bahwa kakaknya ditahan di Kepolisian Resor Kota (Polresta) Yogyakarta.

Tak ambil banyak waktu, dari Temanggung, Supriyono bergegas ke kota Yogyakarta. Sekitar pukul sebelas malam ia menemui penjaga gerbang Polresta Yogyakarta dan meminta supaya mengizinkannya menemui Dimas.

“Perintah dari pimpinan, tidak diperkenankan siapapun menengok korban,” tuturnya meniru jawaban polisi. Ini disampaikan Supriyono dalam konferensi pers tim hukum Aliansi Rakyat Bergerak di LBH Yogyakarta, Jumat siang (09/10).

Supriyono dan beberapa keluarga lain terus memohon, tetapi tanggapan yang didapat sama. Mereka tak dapat kepastian hingga larut malam. Pihak bantuan hukum Aliansi Rakyat Bergerak yang menemani keluarga juga tak mendapat akses masuk untuk pendampingan hukum. Sekitar pukul dua lewat pun, setelah melakukan negosiasi, kabar yang diperoleh hanyalah siapa-siapa massa aksi yang ditahan.

“Sebenarnya anak saya mau pulang ke Temanggung,” kisahnya. Namun Dimas mengurungkan niatnya dan mengikuti aksi #JogjaMemanggil di depan gedung DPRD Yogyakarta. Hingga saat itu, ponselnya tidak terhubung.

Sama halnya dengan Dimas, Raafi Taufiqurahman hilang kontak sejak pukul tujuh malam. Sang ibu lantas menghubungi beberapa rumah sakit di Kota Yogyakarta. Ia terus menunggu hingga larut dan tidak pula memperoleh kabar keberadaan anaknya. Sampai akhirnya tengah malam suaminya mendapat panggilan telepon oleh polisi yang mengabarkan bahwa Raafi ditangkap. Posisi serta alasan penangkapan juga belum dijelaskan.

Pukul setengah satu malam mereka bergegas ke Polresta dan hasilnya sama, nihil. “Yang saya sayangkan, apakah anak saya disitu pun tidak tahu. Saya langsung down,” katanya dengan suara parau.

Sementara, Sindi Aprilia, teman dari massa aksi yang ditahan juga terkatung-katung dalam memperoleh informasi dari kepolisian. “Saya konfirmasi, katanya gak tahu,” Salah satu temannya yang bernama Yohan sudah hilang sejak pukul tiga sore. Ada tiga teman Sindi yang ditangkap. Melihat dari video yang tersebar di internet, ketiga temannya bahkan sempat dipukuli. Sindi menentang cara penangkapan semacam itu. “Teman saya ketiganya gak pakai baju dan mereka dipukuli di pinggir jalan,” jelasnya.

Lebih-lebih alasan penangkapan pun kabur. “Kita gak tahu kenapa mereka ditangkap, karena sudah tidak di area demo.”

Pengurangan Hak atas Pendampingan

Restu Baskara, salah satu tim hukum Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), tidak membenarkan tindak kekerasan fisik yang dilakukan aparat pada peserta demonstrasi. “Padahal kita tahu apa yang dilakukan rakyat hari ini adalah reaksi atas aksi yang dilakukan oleh DPR,” kata Restu.

Lanjutnya, banyak massa aksi yang ditangkap dengan luka pukul, terkena gas air mata. Banyak pula korban luka yang dirawat di rumah sakit. Informasi terakhir, sekitar 50 orang dirawat. “Di sini kami prihatin dan ironis, kenapa dalam proses menyampaikan pendapat ujungnya berakhir seperti ini,” sesal Restu.

Dalam proses advokasi pun mereka sebagai tim hukum tak dapat bertemu korban dengan alasan pemeriksaan. Sementara KUHP Pasal 54 telah mengatur, proses pemeriksaan hendaknya didampingi oleh penasehat hukum. Itu pun diatur dalam Perkapolri tentang implementasi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Dimana seluruh instrumen hukum memberi jaminan bagi siapapun yang ditangkap wajib didampingi penasehat hukum. Hal ini dijelaskan Yogi Zul Fadhli, tim hukum dari LBH Yogyakarta.

Mereka sebagai advokat tak mendapat jawaban dasar atas tidak diperkenankannya tim hukum mendampingi massa aksi dalam pemeriksaan. “Seharusnya proses hukum acara itu diberlakukan,” imbuh Yogi Zul Fadhli.

Dalam KUHP pun, seseorang yang ditangkap wajib diberitahukan tindak pidana apa yang dilakukan dan keluarga wajib diberi tahu bahwa kerabatnya ditangkap. Lain dari itu, tak seharusnya polisi mempersoalkan keterlibatan massa aksi dalam demonstrasi. Sebab hal itu dilindungi sebagai hak konstitusional dalam menyampaikan aspirasi.

“Tapi sampai pukul dua pagi kami gak pernah tahu apa yang terjadi di dalam sana, apakah ada proses yang unfair, ” kata Yogi.

Selepas konferensi pers, tim hukum ARB beserta pihak keluarga menuju Polresta Yogyakarta untuk mendapat akses pendampingan massa aksi yang berada di Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim). Sekitar pukul satu mereka tiba.

Tim hukum ARB beserta pihak keluarga menuju Polresta Yogyakarta

Julian, perwakilan tim hukum mencoba bernegosiasi dengan polisi di pos penjagaan. Namun rombongan keluarga hanya bisa menunggu sampai gerbang masuk. Beberapa orangtua kecewa. “Pengen ketemu anaknya. Dari tadi jam sepuluh belum ketemu,” kata Supriyono di depan gerbang.

“Cuma mau lihat aja lho Pak,” timpal seorang ibu sambil menangis.

“(Tim-red) Hukum silakan, keluarga mohon maaf untuk keluar,” tutur salah satu polisi di pos penjagaan.

Tim hukum ARB mengutuk keras represi aparat keamanan ketika demonstrasi serta pengurangan hak ketika proses pemeriksaan. Mereka pun meminta kepolisian segera membebaskan 95 massa aksi yang ditahan.

Perwakilan tim hukum masuk. Namun, selama hampir tiga jam keluarga menunggu di luar. Hingga akhirnya pihak kepolisian mengeluarkan press release pada pukul 15.58 WIB dengan menghadirkan beberapa massa aksi yang ditahan.

Dari total yang ditahan, 36 adalah mahasiswa, 32 pelajar, 16 wiraswasta dan 11 pengangguran. Sementara empat orang akan berhadapan dengan hukum dan dikenai tiga pasal. Sisanya baru dipulangkan usai konferensi pers.

Julian menyesalkan proses tanpa pendampingan tersebut. “Harusnya dari kemarin dipulangkan, dari awal kami mengecam polisi yang tidak memberi akses untuk bantuan hukum. Kedua, kerabat keluarga tidak boleh tahu soal ini. Ini kan jadi simpang siur,” tandasnya.

Reporter: Dina Tri Wijayanti | Redaktur: Sidra