Lpmarena.com – Menjelang semester ganjil tahun akademik 2021/2022, rektorat mengeluarkan pengumuman jadwal dan prosedur heregistrasi pada 12 Juli. Pendaftaran ulang ini sekaligus menjadi tagihan pembayaran UKT. Sesuai prosedur, mahasiswa yang tidak membayar melewati batas waktu dinyatakan cuti.
Meski mengalami perpanjangan tenggat, nominal UKT tetap. Kenyataannya tak sedikit pula mahasiswa yang masuk daftar cuti. Jika melihat data tahun lalu, antara semester genap (2019/2020) dan ganjil (2020/2021) terdapat kenaikan jumlah mahasiswa cuti.
ARENA lantas menghubungi pejabat terkait untuk mendapat data yang diinginkan. Dalam liputan itu kami menghubungi Suefrizal sebagai Kepala Bagian Akademik, yang mestinya mengetahui data yang dibutuhkan terkait mahasiswa cuti. Tapi justru Suefrizal melemparkannya ke pihak lain.
“Silahkan langsung ke Kepala Biro ya,” singkatnya waktu itu melalui pesan WhatsApp pada Sabtu (9/7).
Pun saat meminta keterangan Mamat Rahmatullah, Kepala Biro Administrasi, Akademik, Kemahasiswaan dan Kerjasama (AAKK), data yang dimaksud tak kunjung didapat.
“Saya tidak memegang data cuti,” kata Rahmat, Selasa (13/7) pagi, melalui telepon. Karena tidak mendapat jawaban dari Rahmat, saya kembali menghubungi Suefrizal. Namun akhirnya dia mengarahkan untuk menghubungi Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan, Sahiron.
Sorenya, saya menghubungi dan menjelaskan maksud saya pada Sahiron. Sayangnya, data yang saya minta bukan di tangannya. “Ada di sistem,” terangnya. Saya dilempar lagi untuk berkomunikasi dengan Suefrizal sebelum akhirnya direkomendasikan untuk langsung menembusi rektor.
“Biar resmi, mungkin kirim surat saja ke rektor. Diterangkan tujuannya,” jelasnya.
Senin (19/07), saya mengirim surat permohonan izin mengakses data pada asisten rektor, Tantri, sebelum langsung pada Al Makin. Selang beberapa menit, Al Makin membalas pesan saya, “Semoga sehat-sehat selalu. Jaga kesehatan, ya,” tulisnya.
Saya sempat bingung atas balasan Makin yang tak sesuai konteks. “Lalu bagaimana pak? Apakah saya bisa mengakses datanya?” tanya saya. Tetapi pesan itu hanya centang biru. Malamnya, saya dikabari Tantri bahwa surat permohonan tersebut didisposisi ke Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama.
Ketidakterbukaan pihak kampus kerap membuat sulit proses peliputan. Dewi Sinta Nuriyah, jurnalis LPM Rhetor, pun pernah mengalami hal terkait saat meliput Beasiswa Bidikmisi yang tak kunjung cair. Dewi menghubungi Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Abdur Rozaki untuk melakukan wawancara. Namun di pesan pertamanya, dia mengaku langsung diblokir.
“Baru chat awal mau minta kesediaan waktu buat wawancara, udah langsung di-block nomornya,” katanya.
Akhirnya, Dewi harus mencari sumber berita lain. selain diblokir, ia juga sering dilempar-lempar saat ingin meminta keterangan. “Si A nyuruh ke si B, B nyuruh ke si C, bolak-balik gitu,” ungkapnya.
Hal serupa dialami Atikah Nurul Ummah, reporter LPM, Arena kala hendak meliput Bangku Belakang @UINSK. Tepatnya, ketika hendak mewawancarai Al Makin. Sejak awal Desember 2020, Atikah mencoba menghubungi rektor untuk diwawancarai, tapi Makin justru meminta Atikah untuk menghubungi asistennya.
Atikah lantas menghubungi Tantri, asisten Al Makin, untuk membuat janji wawancara. Usai menyiapkan surat permohonan wawancara, Tantri pun memberi janji: Atikah dapat menemui Al Makin di hari Rabu (9/12). Namun, saat Rabu tiba, janji dibatalkan.
Atikah sempat menawarkan Al Makin untuk wawancara via telepon, tapi ditolak. Al Makin kembali meminta Atikah untuk mengatur ulang jadwal wawancara dengan Tantri. Minggu setelahnya, Atikah mendapat pesan WhatsApp dari Tantri, bahwa Atikah bisa menemui rektor pada Kamis, 17 Desember, pukul 13.00 WIB di ruangannya. Namun, sehari sebelum wawancara, jadwal kembali disusun ulang. Tantri berjanji akan memberi kabar tapi hingga kini kabar itu tak pernah datang.
Dalam Standar Pelayanan Informasi Publik UIN Sunan Kalijaga dijelaskan bahwa keterbukaan informasi merupakan instrumen pembinaan dan pengawasan untuk meningkatkan mutu pelayanan bagi sivitas akademika dan masyarakat umum. Pun ARENA sebagai lembaga pers mahasiswa memiliki hak dalam mendapat kemudahan akses data dan wawancara untuk keperluan sumber berita.
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 pasal 4 mengatur kemerdekaan pers yang dijamin sebagai hak asasi warga negara. Semua orang termasuk jurnalis berhak mendapat informasi publik yang sudah dijamin dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) tahun 2008. Pers sendiri bekerja untuk kepentingan publik, dalam hal ini publik kampus. Khususnya dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, pers berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyebarkan informasi publik dengan berbagai jenis saluran yang ada.
Sema-U Mengajukan Sengketa
Kesulitan memperoleh informasi publik dari pejabat kampus semacam ini tak hanya dialami pers mahasiswa, tetapi juga Senat Mahasiswa Universitas (Sema-U) sebagai badan legislatif.
Sesuai mandat UU KIP pasal 13 Ayat 1, setiap badan publik diharuskan membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Adapun susunan kepengurusannya terdiri dari ketua, yakni rektor, dan anggotanya adalah seluruh jajaran pejabat kampus. Hal ini untuk mendorong partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan dan pengelolaan badan publik yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel dan bisa dipertanggungjawabkan.
Dilihat dari definisinya, badan publik ialah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang dananya, baik sebagian maupun keseluruhan, bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Begitupun dengan organisasi non-pemerintah yang dananya bersumber dari APBN atau APBD, sumbangan masyarakat atau luar negeri. Tak terkecuali UIN sebagai institusi perguruan tinggi.
Artinya kampus sebagai badan publik mesti mengumumkan informasi terkait kegiatan, kinerja maupun keuangan secara ajek sesuai peraturan perundang-undangan. Tapi faktanya lain.
Informasi-informasi yang mestinya dapat diakses publik, mulai dari kegiatan hingga keuangan, bahkan tak pernah diunggah di situs ppid.uin-suka.ac.id. Hingga berita ini terbit, situs tersebut hanya memuat satu unggahan, yaitu berita kegiatan tahun 2019. Singkatnya: situs resmi pengelola informasi itu sama sekali tidak informatif.
Juni lalu Sema-U melayangkan Surat Permohonan Informasi Publik pada rektor UIN Sunan Kalijaga selaku ketua PPID. Sema, dalam suratnya, meminta tiga salinan dokumen rincian anggaran yang tertuang dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKAKL) serta beberapa laporan keuangan.
Tujuan permintaan itu tak lain demi mengetahui transparansi alokasi dana kuliah yang selama ini terus naik. Meski audiensi terus dilakukan, UIN tetap tak memberi potongan UKT sesuai klasifikasi yang telah ditetapkan.
“Di masa pandemi, kampus tidak mau memberi potongan, dengan alasan UIN tidak bisa beroperasi,” ungkap Azisurrohman saat diwawancarai ARENA pada Selasa (29/06).
Pun ketika meminta transparansi anggaran saat audiensi, Sahiron selaku Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan justru menyatakan mahasiswa tidak berhak mendapatkan data-data tersebut.
“Padahal di UU KIP pasal 9 Ayat 1 dan 2 itu bisa dan memang informasi ini bersifat berkala,” timpal Aziz.
Aturan itu kemudian dapat ditilik dari Draf Standar Pelayanan Publik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang disusun tahun 2018 pada masa kepemimpinan Yudian Wahyudi. Draf tersebut berisi pedoman pelaksanaan jasa pelayanan publik yang dimaksudkan untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas.
Informasi di dalamnya dibagi menjadi beberapa bentuk: informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, informasi yang wajib diumumkan secara serta merta, informasi yang wajib tersedia setiap saat, dan informasi yang dikecualikan. Khusus informasi yang dikecualikan, harus melewati uji konsekuensi dan dievaluasi secara berkala setiap enam bulan. Adapun tiga data yang diminta Sema termasuk dalam jenis yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala.
Sebenarnya PPID dapat menyampaikan jawaban atas permohonan informasi paling lambat sepuluh hari kerja sejak surat diterima dan dapat diperpanjang selama tujuh hari dengan memberi alasan secara tertulis. Tetapi PPID bergeming. Surat permohonan tak berbalas, Sema pun mengajukan keberatan kepada rektor tepat hari ke tujuh belas sesuai alur yang telah ditetapkan.
Barulah pada 7 Juli terbit tanggapan dari rektorat. Balasan yang tertandatangani 1 Juli 2021 itu menerangkan bahwa data yang diminta tengah diperiksa ulang oleh Tim Penyusun Laporan Keuangan UIN. Aziz mewakili mahasiswa mengerutkan dahi: pernyataan ini tidak memenuhi apa yang diminta publik kampus.
Sedangkan berdasarkan UU KIP Nomor 14 tahun 2008, pada pasal 35 ayat pertama menyebut pemohon informasi dapat mengajukan keberatan kepada atasan PPID dengan tujuh poin alasan. Salah satunya karena tidak terpenuhinya permohonan informasi secara berkala.
“Makanya kemudian saya mengajukan penyengketaan agar ditemukan titik jelasnya, sebenarnya data itu bisa diakses atau tidak,” tandas Azis.
Standar itu juga merinci hak dan kewajiban badan publik dan pemohon. Dalam perkara sengketa yang diajukan, Sema menggunakan haknya sebagai pemohon, yaitu mengajukan penyelesaian sengketa ke Komisi Informasi karena mendapat “hambatan atau kegagalan” saat memohon informasi publik. Sedangkan PPID, menggunakan hak menolak memberikan informasi yang dikecualikan, meski informasi yang diminta bukan termasuk yang dikecualikan.
Tak ayal apabila Azis menilai kampus serba tertutup perihal data. Menurutnya dalam UU KIP tertulis jelas, memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia. Keterbukaan informasi publik, merupakan sarana mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan segala yang berkaitan dengan kepentingan publik.
“Kalau memang data yang kami minta ini dirahasiakan, harusnya diberi SK berisi penjelasan alasan rektor merahasiakan. Sedangkan SK-nya kami minta enggak ada.”
Reporter Ofa Mudzhar | Redaktur Dina Tri Wijayanti | Illustrator Surya Puja Kelana