*Oleh: Yudhistira Wahyu Pradana
Sebagai manusia yang normal, masing-masing dari kita pastilah memiliki permasalahan dalam hidup, juga kemauan untuk diwujudkan. Permasalahan apa pun sebisa mungkin kita atasi, entah hal itu diusahakan secara berangsur-angsur ataupun tuntas seketika.
Saya yang mengenyam pendidikan di UIN Suka, tempat saya bernaung dan belajar rasa-rasanya, tidak melihat itikad demikian. Alih-alih memperbaiki sedikit demi sedikit permasalahan yang ada atau yang berkemungkinan ada di kemudian hari. Kemauan UIN acap kali menambah masalah, yang seperti biasa hanya akan dibuat mengantre untuk dibiarkan, dilupakan, atau diperbaiki. Khusus yang terakhir, saya cukup ragu akan dilakukan.
Persoalan ini muncul taktala UIN mencanangkan transformasi ke Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN-BH).
Hal demikian timbul karena adanya faktor dorongan yang diperoleh dari Kementerian Agama untuk bertransformasi. Kita tahu bahwa PTN-BH merupakan bentuk otonomi tertinggi PTN selain Perguruan Tinggi Badan Layanan Umum (PTN-BLU) dan Perguruan Tinggi Satuan Kerja (PTN Satker). Otonomi yang ditawarkan tersebut menimbulkan implikasi serius yang tidak saja ada pada ranah akademik melainkan dalam non-akademik pula.
Kehadiran gagasan PTN-BH tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan Indonesia dalam keanggotaan World Trade Organization (WTO). Terikatnya Indonesia dalam WTO menimbulkan konsekuensi hukum untuk berperan dan menyepakati semua perjanjian WTO, yang kemudian dituangkan melalui UU Nomor 7 Tahun 1994. Salah satu perjanjiannya adalah General Agreement on Trade in Services (GATS) yang ditandatangani Indonesia pada tahun 2005. Perjanjian ini mengatur perdagangan jasa dengan menempatkan pendidikan sebagai unsur yang diliberalisasi.
Gagasan liberalisasi tersebut berdampak pada pendidikan yang menjadi barang dagang: dijajakan dan bergantung pada skema pasar, serta membuat makin kecilnya intervensi juga anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk sektor pendidikan. Kampus-kampus didorong untuk memiliki otonomi penuh untuk mencari dana secara mandiri dan menghidupi dirinya sendiri.
Ide PTN-BH mencuat ketika bergulirnya UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang menandai era pendidikan yang berwatak komersil. Terbitnya undang-undang tersebut memicu gelombang penolakan oleh berbagai golongan, hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusannya Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 menyatakan UU BHP bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Seolah tak berhenti, Negara mencoba peruntungan lain lewat UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT). Nasibnya berbeda dengan pendahulunya, malahan UU PT dapat diterima. Kampus-kampus berbondong-bondong untuk memperoleh predikat PTN-BH cap Negara, tak terkecuali UIN.
Setidaknya, dalih Negara lewat PTN-BH berharap dapat mewujudkan pendidikan ke arah yang lebih bermutu dengan prinsip nirlaba. Tawaran yang seolah menjanjikan lewat otonomi penuh seperti, pengambilan keputusan, hak mengelola dana secara mandiri, pengelolaan SDM, hingga dapat membuka dan menutup jurusan–banyak persoalan yang akan timbul di kemudian hari.
Merujuk pada majalah LPM Didaktika yang berjudul “Otonomi Merogoh Kantong Mahasiswa”, PTN-BH berimplikasi pada kenaikan UKT. Universitas Diponegoro (Undip) misalnya, yang secara resmi berstatus PTN-BH di tahun 2015. Di tahun 2017, UKT mengalami kenaikan di beberapa fakultasnya. Berlanjut di tahun 2020, UKT lonjakan sebesar 25 persen terjadi di semua fakultasnya.
Selain UKT, pungutan Sumbangan Pengembangan Instansi (baca: uang pangkal) menjadi salah satu penyumbang terbesar pendapatan pada kampus. Besarannya berbeda di tiap jurusan, dari 15–250 juta wajib dibayarkan mahasiswa sekali seumur masa studinya.
Berdasarkan laporan keuangan Undip tahun 2022, pendapatan dari jasa layanan pendidikan mencapai 1 triliun rupiah, disusul pendapatan dana dari pemerintah sebesar 378 miliar rupiah, sementara untuk pendapatan umum yang salah satunya berasal dari usaha dan bisnis kampus hanya memperoleh 286 miliar rupiah.
Angka yang sangat timpang tentunya, mengingat Undip memiliki berbagai macam unit usaha mulai dari rusunawa, SPBU, sampai rumah sakit. Akan tetapi, pendapatan dari jasa layanan pendidikan atau dengan kata lain uang yang berasal dari kantong mahasiswa menjadi penopang utama untuk membiayai operasional Undip.
Mengapa Harus PTN-BH?
Kembali menyoal tranformasi PTN-BH yang hendak dilakukan UIN. Saya kok pesimis jika berkaca pada Undip. Mengingat unit usaha yang dimiliki Undip tidak dapat menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan pendapatan layanan pendidikan.
Saya berandai-andai bila UIN telah memperoleh ‘predikat’ PTN-BH nantinya akan ada sistem uang pangkal, UKT jauh lebih mahal, bahkan bisa saja ada pemungutan yang tidak masuk akal seperti parkir, toilet berbayar, hingga denda pengembalian buku di perpustakaan yang mahal.
Lantas, bagaimana dengan bisnis yang dimiliki UIN seperti gedung, GOR, hotel, atau MP-nya. Apakah dapat menopang biaya operasional UIN? Saya gak tega untuk bilang, iya. Karena banyak kampus yang telah berstatus PTN-BH sangat bergantung pada pendapatan layanan pendidikan yang dibayarkan oleh mahasiswa.
Gagasan awal PTN-BH yang tertuang dalam UU PT dengan konsep nirlaba guna mewujudkan pendidikan bermutu, aksesibilitas dan nilai keterjangkauan justru bersebrangan (baca: sangat jauh) jika kita melihat praktik PTN-BH di beberapa kampus.
Tak ayal, logika yang digunakan PTN-BH menempatkan mahasiswa sebagai konsumen. Pembeli. Dia yang butuh, dia yang bayar.
Di sisi lain, kendali PTN-BH terdiri pada tiga organ yakni Majelis Wali Amanat (MWA), Rektor, dan Senat Akademik (SA) yang secara keseluruhan penetapan kebijakan akan diputuskan oleh MWA. Hal ini dinilai sarat kepentingan, karena jika mengacu pada PP Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaran Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, tidak adanya unsur mahasiswa dalam keanggotaan MWA.
Artinya, mahasiswa akan semakin dipersempit geraknya, kekritisan mahasiswa akan mudah dibalas dengan tindakan represif: pemanggilan dan dropout, diskusi-diskusi akan lebih banyak diisi topik mainstream alias omong kosong (kalaupun bukan buang anggaran di akhir tahun), hingga penutupan ruang berekspresi mahasiswa dapat makin menjadi.
Gerak mahasiswa yang kian dipersempit dan nihilnya unsur mahasiswa dalam pengambilan kebijakan tentu akan menimbulkan persoalan satu, dua, dan banyak lagi. Misalnya, perputaran uang yang begitu besar di kampus juga memicu timbulnya sifat maruk dan rentan terhadap penyelewengan dana. Hal ini tidak menutup kemungkinan, mengingat banyaknya pimpinan perguruan tinggi terjerat kasus korupsi.
Dengan UIN yang memiliki PR soal keterbukaan informasi hingga transparansi pendanaan, tentu perlu kontrol lebih dari mahasiswa secara berkelanjutan. Singkatnya, mendorong demokratisasi kampus adalah hal yang perlu diupayakan dan suatu keniscayaan.
Solusi Semu Masalah Pendidikan
Cerita mahasiswa yang harus nyambi, penetapan golongan UKT yang tidak sesuai dengan pendapatan orang tua, ancaman jika tidak membayar biaya pendidikan tidak bisa melanjutkan studinya, hingga mahasiswa yang harus meregang nyawa akibat tekanan biaya pendidikan yang begitu tinggi telah banyak bertebaran.
Lewat PTN-BH Negara berusaha melepaskan tanggung jawabnya untuk menjamin setiap warga negara dapat memperoleh akses pendidikan. Padahal UUD NRI 1945 sebagai political will Indonesia telah mengamanatkan hal demikian. Banyaknya peraturan perundang-undangan dalam sektor pendidikan tinggi khususnya, secara gamblang bertolak belakang dengan semangat dan cita UUD merupakan bentuk upaya pembangkangan konstitusi.
Mahasiswa dalam hal ini harus merogoh kantong dalam-dalam, dibentuk layaknya robot untuk tunduk dan patuh, dan setelah lulus dialihkan untuk mengisi pos-pos yang dibutuhkan pemerintahan, industri, dan sebagainya. Tujuan pendidikan yang mestinya memerdekakan dan mencerdaskan manusia menjadi kabur entah kemana muaranya.
Perbincangan perihal PTN-BH dan ketidakmampuan Negara untuk menjamin hak pendidikan untuk warga negaranya, mengingatkan saya pada obrolan dengan salah seorang kawan soal referensi musiknya.
Ia mengenalkan sebuah band punk 80-an asal Washington DC bernama Fugazi yang dirintis Ian MacKaye (vokalis-gitaris), Collin Sears (drummer), dan Joe Lally (bassis). Katanya, percuma bila hanya mendengar Greenday atau band yang dimotori “Fat Mike.” Sekelompok pemuda Washington DC itu tidak hanya menularkan gerakan straight edge-nya, semangat kesetaraan yang mereka usung juga patut kita ketahui.
Penolakan Fugazi terhadap yang hal-hal berbau ‘mayor’, tiket konser yang tidak lebih dari 5 dolar, hingga CD yang dihargai 10 dolar cukup menjadi tamparan yang sangat keras kepada band punk lain di masa itu yang memilih tunduk pada korporasi besar. Alasannya, Fugazi hanya ingin memelihara dan merawat komunitasnya ketimbang harus tunduk pada korporasi yang hanya memikirkan keuntungan. Bagi Fugazi, bergabung pada label besar adalah bentuk pemakluman atas komersialisasi musik. Fugazi memaknai musik sebagai karya yang dapat dinikmati semua orang tanpa terkecuali.
Nilai yang dijalankan Fugazi ini terasa berbeda ketika melihat realitas pendidikan di Indonesia lewat PTN-BH-nya. Pendidikan menuju watak yang komersil dan hanya segelintir orang yang mampu memperoleh aksesnya. Yang sekali lagi saya katakan, asas keterjangkauan sebagai nilai dalam pelaksanaan pendidikan di perguruan tinggi telah gagal menemukan relevansinya.
Beralih pada rencana UIN untuk bertransformasi ke PTN-BH, secara terbuka saya ingin melayangkan beberapa pertanyaan.
Apakah dengan otonomi PTN-BLU tidak cukup untuk mengembangkan pendidikan tinggi ke arah yang lebih bermutu? Setelah UIN telah mendapatkan status PTN-BH apakah ada pungutan lain selain UKT sebagai sistem pembayaran ‘satu pintu’? Dan apakah UKT dapat sesuai dengan pendapatan orang tua atau pihak yang membiayai? Terakhir, apakah dengan status PTN-BH masalah-masalah yang ada dapat terselesaikan?
Jauh sebelum Fugazi dibentuk dan menularkan semangat DIY-nya. Johnny Rotten, sebagai veteran punk telah mewanti-wanti saya (barangkali Anda sekalian) perihal pertanyaan yang saya tujukan ke UIN tersebut karena:“There’s no point in asking, you’ll get no reply”.
*Seorang mahasiswa hukum yang berusaha menikmati semua genre musik | Ilustrator Siti Hajar Fauziah (Magang)
Editor Selo Rasyd Suyudi