Home BERITA Matinya Otonomi Perguruan Tinggi dalam Pemilihan Rektor

Matinya Otonomi Perguruan Tinggi dalam Pemilihan Rektor

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Pemilihan Rektor di UIN Suka disebut tidak demokratis, melanggar Undang-Undang 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Kampus kini tak lagi punya independensi untuk menentukan rektornya sendiri. Risiko dari mekanisme ini adalah terpilihnya rektor yang bukan representasi kampus.

Lpmarena.com—Tahun 2024 UIN Suka melakukan pemilihan rektor untuk periode 2024-2028. Rujukan utama pengaturannya adalah Peraturan Menteri Agama No. 68 tahun 2015 (PMA 68/2015) tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan yang Diselenggarakan oleh Pemerintah. Namun, pemilihan yang tengah dijalankan oleh kampus ini ditengarai tidak kurang dari formalitas belaka.

Gugun El Guyanie, Dosen Hukum Tata Negara UIN Suka, mengatakan proses pemilihan di kampus hanyalah proses administratif saja.

“Jadi tidak ada (proses) substantif di sini, panitia seleksi di tingkat universitas itu hanya menyeleksi berkas-berkas administratif,” kata Gugun sewaktu ditemui ARENA, Rabu (03/04). “Jadi kalau lolos nanti dibawa ke Jakarta.”

Faisal Luqman Hakim, Ketua Panitia Penjaringan Bakal Calon Rektor (Panjar) UIN Suka, juga mengatakan timnya hanya menjaring dan menyeleksi berkas administratif bakal calon rektor saja. Panjar juga tidak berhak menolak bakal calon rektor yang mendaftar selama berkasnya lengkap.

“Kalau ada yang gak lengkap, minta dilengkapi,” tuturnya kepada ARENA, Jumat (15/03).

Merujuk pada Pasal 5 PMA 68/2015, sebenarnya Senat Universitas juga berhak memberi penilaian kualitatif kepada bakal calon rektor. Tapi, setelah itu, berkas penilaian dikirim ke Kemenag untuk diseleksi kembali oleh Komisi Seleksi yang dibentuk Menteri. Artinya, yang menentukan pada akhirnya adalah suara kementerian di Jakarta, bukan suara senat universitas, apalagi mahasiswa.

Gugun melihat mekanisme itu sama saja mematikan otonomi kampus dalam memilih pemimpinnya. Ia membandingkan dengan era sebelumnya ketika penilaian substantif murni ditentukan internal kampus, sementara kementerian tinggal pengesahan administratif.

“Dulu sebelum era ini, mahasiswa juga berdiskusi siapa calon rektor pilihan yang dekat dengan mahasiswa. Dosen-dosen sudah berdiskusi kira-kira siapa calon rektor yang pantas untuk menjadi nahkoda,” tuturnya.

Pemilihan dengan melibatkan civitas akademika memang pernah terjadi di UIN Suka. Pada pemilihan rektor 2005, misalnya, mahasiswa memiliki suara dalam pemilihan rektor. Di tahap pertama atau penjaringan, semua mahasiswa berhak memilih, tapi proporsi 20 suara mahasiswa setara dengan suara satu dosen. Sementara di tahap kedua atau pemilihan, mahasiswa hanya berhak memberikan 12 suara yang diwakili Dema dan Sema universitas dan fakultas lama. Di tahap ini, diambil tiga nama yang memperoleh suara terbesar untuk menjadi calon tetap rektor.

“Ketiga nama tersebut akan dikirim ke menteri agama untuk dipilih salah satunya menjadi rektor,” tulis berita “Melihat Jalannya Pemilihan Rektor” tertanggal 14 September 2005 di Slilit Arena.

Kemudian suara mahasiswa dan dosen berangsur dihilangkan, meskipun suara internal kampus masih diwakili oleh Senat Universitas. Hal itu seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 tahun 2014, yang menyebut seleksi dilakukan melalui empat tahapan: penjaringan dan penyaringan oleh panitia seleksi, pemilihan oleh senat, dan terakhir pengangkatan yang dilakukan oleh menteri.

Lalu, terbitlah PMA 68/2015 yang masih berlaku hingga sekarang, yang mulai memasukkan unsur Komisi Seleksi yang dibentuk menteri. Menurut Gugun, mekanisme dalam PMA 68/2015 membuat mandulnya kebebasan akademik, yang artinya membuat matinya otonomi perguruan tinggi dalam memilih rektornya sendiri.

“Berarti Jokowi pertama (yang) sudah punya, dia sudah punya siasat agar rektor itu dipilih Jakarta, sehingga nanti deal-nya adalah ‘jangan sampai kritis terhadap Jakarta,’” tuturnya.

Dengan kondisi itu, menurut Gugun, akhirnya tidak ada rektor yang berani bersuara lantang terhadap pengkhianatan konstitusi atau demokrasi. “Karena mereka sendiri sudah tersandera,” terangnya.

Sementara itu, Ali Sodik, Kepala Biro Administrasi dan Keuangan (AUK) UIN Suka, berpendapat bahwa peraturan PMA 68/2015 ini tidak menjadikan rektor terpilih tidak kompeten dalam memimpin.

“Pak Makin ini kan PMA 68. Pak Yudian PMA 68. Gak ada masalah kan? Apa itu merugikan mahasiswa? Endak juga toh. Menguntukan menteri? Endak juga. Kan kita harus melihat seperti itu juga ‘kan?” terang Ali, yang mengaku sebagai satu-satunya pintu informasi terkait informasi pemilihan calon rektor.

Sebetulnya ARENA menghubungi Senat Universitas dengan mengirim surat permohonan wawancara ke kantornya di gedung Pusat Administrasi Universitas. Tapi, tiga hari kemudian, surat itu justru ditanggapi oleh Ali Sodik.

“Kayak juru bicara lah, atau mungkin apa pemahaman sampean? Tapi tidak ada surat tugas apapun,” tuturnya pada ARENA (29/04).

Ali Sodik sendiri berpendapat bahwa peraturan semacam PMA 68/2015 yang sudah hadir itu tidak serampangan dibuat. Meskipun pada perkembangannya ada penolakan, tapi itu sah saja menurutnya, tinggal bagaimana seseorang mengambil sisi baik dan membuang hal buruknya saja.

Kisruh di Balik PMA 68/2015

Penolakan terhadap PMA 68/2015 yang dimaksud Ali Sodik sebenarnya juga terjadi di UIN Suka. Pada 2016, Muhammad Chirzin selaku Sekretaris Senat UIN Suka mengirim surat tanggapan kepada Kemenag agar menyempurnakan isi dari PMA 68/2015. Menurutnya, pembentukan komisi seleksi oleh menteri yang bertugas melakukan penyeleksian calon rektor/ketua telah melanggar Undang-Undang 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menyebut perguruan tinggi harus dijalankan secara demokratis, berkeadilan, juga tidak diskriminatif.

Kemudian, penolakan terlihat melebar. Reportase “Birokrasi Ribut Repilrek, Mahasiswa Terlantar” menggambarkan adanya konferensi yang dihadiri 300 guru besar pada akhir November sampai 1 Desember 2015. Salah satu pembahasannya mengenai ketetapan PMA 68/2015. Dalam rapat komisi, senat memutuskan peraturan tersebut harus ditinjau kembali.

“Kalau caranya pilrek dipilih Kemenag, ya bubarkan saja senat. Karena gak butuh senat,” jelas Chirzin dalam berita yang terbit di SLiLit Arena edisi April 2016 itu.

Pada forum itu juga Senat meminta pendapat Komisi VIII DPR untuk menghentikan sementara proses seleksi rektor yang tengah terjadi. “Akibat dari peraturan ini kampus menjadi tidak otonom lagi,” kata Sohibul Umam, salah satu anggota DPR, di berita yang sama.

Selain itu, Saiful Mujani, Guru Besar Politik Indonesia, pun ikut bersuara. Dalam wawancaranya dengan LPM Institut, ia mengatakan PMA 68/2015 ini jahiliah. Kampus yang seharusnya memiliki semangat pengelolaan lembaga publik melalui partisipasi dan transparansi, malah tidak melakukannya. Padahal, menurutnya, penugasan pemilihan pada Senat telah menghasilkan rektor yang berkualitas seperti Harun Nasution, Quraish Shihab, dan Azyumardi Azra.

Mencari Ruang Dialog

“Inilah wajah-wajah Bakal Calon Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2024 s.d 2028,” tulis Instagram resmi UIN Suka dalam unggahannya, Jumat (05/04). Terpampang 13 nama yang lolos administrasi untuk menahkodai kampus putih ini. Pada 23 April lalu, berkas dokumen dan penilaian kualitatif ke-13 calon itu juga telah diserahkan kepada Kemenag.

Namun hingga saat ini, jalan berdialog dengan calon rektor UIN Suka tak kunjung terang. Menurut Thoriqotur Romadhani, ketua Dema-U, kehadiran dialog terbuka menjadi penting. Supaya mahasiswa dapat mengetahui gagasan calon rektor kampus ke depannya. Sehingga nuansa akademis dan berdiskusi dapat terasa, alih-alih tertutup dan hanya diketahui setelah terpilih nanti.

Pada Rabu (13/03), Sema-U dan Dema-U mengupayakan dialog terbuka dengan menemui Senat Universitas. Namun, Senat mengklaim jika mereka tidak memiliki wewenang selain penilaian kualitatif bagi calon rektor. Senat memberi opsi agar dialog dilakukan bersama Panjar dan Abdur Rozaki, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama.

Pada Selasa (19/04) Sema-U dan Dema-U bertemu dengan Rektor dan WR III. Namun hasilnya masih buntu. Menurut Thoriq, meskipun ide untuk menghadirkan dialog ini direspon positif, akan tetapi mustahil untuk mendapat fasilitas dari kampus. Alasannya, kampus bukan medan politik. Serta ada ketakutan akan keruhnya stabilitas di kalangan civitas akademik dan ongkos yang mahal dalam acara ini.

“Ongkosnya lebih murah ketika itu dipilih oleh Menteri dan tidak terkesan kampus ini politis gitu loh. Takutnya kan diakomodir massanya, dimobilisasi massanya, yang terjadi bentrok dan sebagainya. Nah kalau alasan dari rektor itu seperti itu,” ungkap Thoriq kepada ARENA (19/04).

Alasan itu senada dengan jawaban Al Makin saat ARENA sempat bertanya terkait pendapatnya apabila mahasiswa mengadakan panggung diskusi dalam mekanisme pemilihan rektor. Menurutnya, kampus merupakan lembaga pendidikan yang tujuannya riset.

“Kalau lembaga politik, ya sudah (pantas karena) ada pemilu,” tuturnya, Selasa (26/03).

Pada akhirnya, Dema-U harus memutar jalan. Sulitnya mendapat fasilitas dari kampus membuat Dema-U harus melaksanakan dialog secara mandiri. Pada Senin (27/05) dialog terbuka akhirnya terlaksana di selasar Gedung Multi Purpose. Namun, para calon rektor tidak ada satu pun yang hadir, padahal lokasi dialog sudah dikerumuni mahasiswa.

Dalam pernyataan sikapnya, Dema-U mengatakan kekecewaannya terhadap 13 calon rektor UIN Suka yang tidak hadir dalam dialog terbuka bersama mahasiswa. Dan menganggap bahwa pergantian kepemimpinan tanpa gagasan adalah ruang politik paling kotor bagi kaum cendekia.

Selain itu, Dema-U juga meminta para calon rektor untuk dapat bertemu dengan mahasiswa, agar meminta maaf dan menyampaikan gagasannya secara langsung. Dan yang terakhir adalah tuntutan merevisi PMA 68/2015, agar dikembalikan pada mekanisme pemilihan langsung oleh civitas kampus.

Tuntutan terakhir itu serupa dengan yang diharapkan Gugun. Karena PMA 68/2015 adalah muara dari permasalahan yang terjadi.

“Apakah pemilihan rektor oleh kampus sendiri politis? Ya politis. Tapi sama-sama politis yang berdaulat. Daripada politis tapi dipilih oleh Jakarta, orang lain,” ungkapnya.

Gugun melihat risiko pemilihan yang dicampurtangani Kemenag adalah terpilihnya rektor yang bukan representasi atau yang dibutuhkan kampus. Ia mengharapkan seluruh elemen di kampus terus menyuarakan hal itu. Kalau tidak, kehilangan independensi adalah bayarannya.

“Jangan sampe kemudian suara-suara civitas akademika ini kalah dengan keputusan sistem politik Jakarta. Itu lebih berbahaya. Kenapa? Akhirnya kampus tidak punya kemandirian, tidak punya indepensi,” tuturnya. “Jadi berikan kedaulatan kepada senat universitas, mahasiswa, perwakilan mahasiswa.”

Reporter Selo Rasyd Suyudi | Redaktur Ahmad Zamzama | Ilustrasi Bisma Aly Hakim