Home BERITA Ada Udang di Balik Suara 3 Zaman: Bukan Sekadar Masalah Teknis, tapi juga Kebebasan Akademik

Ada Udang di Balik Suara 3 Zaman: Bukan Sekadar Masalah Teknis, tapi juga Kebebasan Akademik

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Suara 3 Zaman gagal digelar di UIN Sunan Kalijaga. Ketidakjelasan kerja sama antar pihak penyelenggara dan kampus bukan saja menggagalkan acara, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran lebih besar: kampus tidak lagi menjadi wadah dan penggerak perubahan serta semakin jauh dari peranannya sebagai rumah bagi kebebasan akademik.

Lpmarena.com–“Gagal Pentas di UIN Jogja,” begitu kalimat dalam poster yang diunggah pada akun Instagram Social Movement Institute, Kamis (5/12). Dalam takarirnya tertulis bahwa Rektor UIN Sunan Kalijaga Noorhaidi Hasan bertanggung jawab atas pembatalan acara Suara 3 Zaman. Hal tersebut sontak mengundang reaksi banyak orang.

Suara 3 Zaman adalah rangkaian acara yang diadakan oleh SMI untuk memperingati Hari HAM Sedunia, Hari Anti Korupsi, dan Hari Kelahiran Munir, seorang aktivis pembela HAM. Rencananya, acara terdiri dari konser musik serta rangkaian diskusi dan bakal digelar pada tanggal 8 dan 10 Desember.

Pemberitahuan akan diadakannya Suara 3 Zaman diunggah pertama kali di akun Instagram @socialmovementinstitute pada Rabu (20/11). Tayangan poster berisikan garis besar acara: konser musik, gelar wicara, orasi, monolog dan pameran namun tanpa keterangan lokasi yang jelas. Di poster hanya tertera Jogja sebagai tempat acara.

Kemudian, pada (26/11) akun Instagram SMI kembali menaikkan poster dengan rangkaian acara dan lokasi yang lebih rinci. Dalam poster tersebut tertera bahwa acara akan digelar di lingkungan kampus UIN Sunan Kalijaga dengan kolaborasi bersama HMPS HTN dan menghadirkan pembicara seperti Fatia Maulidiyanti, Iroy Mahyuni, JJ. Rizal, Daniel Siagian, Suciwati, Yati Indriyani, dan Eko Prasetyo serta grup musik Efek Rumah Kaca, Iksan Skuter, Fajar Merah, Kepal SPI, hingga hadroh dari Al-Mizan UIN Suka.

Kemudian pada tanggal 27 November, SMI menaikkan poster dengan lokasi acara di Gedung Multi Purpose UIN Sunan Kalijaga. Poster tersebut terpantau ramai, berhasil menjangkau 1.821 like.

Seminggu setelahnya, poster gagal pentas juga naik. Bersamaan dengan itu, akun resmi Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) menerbitkan press release.  Adanya press release ini bikin situasi panas. Pasalnya, itu diterbitkan untuk membalikkan narasi yang SMI gaungkan bahwa adanya intervensi dari Rektor. Sedangkan, keterangan dari FSH sendiri dikarenakan belum jelasnya kesepakatan perihal acara.

Ketidakjelasan Kerja Sama

Fahrurrozi, koordinator acara Suara 3 Zaman, menjelaskan bahwa acara yang rencananya bakal digelar di UIN merupakan kerjasama antara pihak SMI dengan kampus melalui Gugun El Guyanie. Gugun adalah dosen sekaligus Kepala Prodi Hukum Tata Negara. Hal ini juga terlihat dari unggahan poster SMI yang menyebut (mention) akun Instagram HMPS HTN.

“Jadi awalnya itu konsep acara, kita ajak kerjasama Kaprodi. Dari Kaprodi oke. Kalau koordinasi itu sudah dari November. Jauh-jauh hari sebelum poster naik. Kalau untuk tempat memang Pak Gugun semua yang ngurus,” ungkap Fahrurrozi saat diwawancarai Arena melalui WhatsApp (5/12).

Pada awal kontrak kerja sama, estimasi tempat diperkirakan akan dilaksanakan di Convention Hall(CH) UIN. Fahrurrozi menunjukkan kepada ARENA berupa surat peminjaman CH. Surat ini dibuat pada Senin (11/11) memakai kepala surat dari FSH dan Prodi HTN.

Namun, berdasarkan penuturan Fahrurrozi tempat kemudian diganti menjadi MP karena banyak grup musik yang datang menyanggupi. Khawatir gedung CH tidak mencukupi.

“Kontrak pertama itu awalnya pak Gugun menyampaikan akan mengupayakan untuk ada diskon soal tempat. Untuk di CH kita bayar 2,5 (juta) tapi di teatrikal itu gratis karena masuk di jam kerja dan pagi hari,” ujarnya.

Melalui pesan WhatsApp, Gugun memberikan keterangan bahwa MP “aman” untuk digunakan. Pesan itu ditunjukkan Fahrurrozi pada ARENA tertanggal Selasa (19/11).

ARENA berusaha mengontak dan menemui Gugun sejak Jumat, 6 Desember. Namun, tidak ada balasan sampai di hari Minggu, pun saat berita ini terbit, tak ada keterangan atau komentar apa pun darinya. Gugun beralasan  bahwa dirinya sedang tidak bisa ditemui dan diwawancarai. Ia sedang berada di Hongkong dalam acara Asian Constitutional Law Forum serta kegiatan yang padat, sehingga untuk diwawancarai melalui telepon atau pesan tertulis ia tidak dapat menyanggupi.

Setelah gagal digelar di UIN Sunan Kalijaga, acara Suara 3 Zaman berpindah ke Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD. (Foto: Social Movement Institute (SMI))

Fahrurrozi menyampaikan pada ARENA, kontrak kerja sama tersebut berakhir batal setelah adanya rapat koordinasi. Melalui surat undangan bernomor B-6068/Un.02/BU/TU.00.2/11/2024 rapat digelar. Surat tersebut dikeluarkan Ali Shodiq, Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan (AUK) dan akan dilaksanakan pada hari Senin (2/12). Surat itu surat yang cukup “mewah” pasalnya mengundang Rektor beserta seluruh Wakil Rektor, Kepala Biro, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Pusat Pengembangan Bisnis (P2B), dan Kaprodi HTN.

Tiga hari setelahnya, poster “Gagal Pentas di UIN Jogja” dinaikkan pihak SMI.

Dalam penelusuran ARENA, saat mencari informasi terkait rapat yang diadakan pada 2 Desember berakhir nihil. Arena tidak mendapatkan informasi apa pun setelah menghubungi Rektorat, Wakil Rektorat, Dekanat FSH, dan Kaprodi HTN.

Saat diwawancarai Arena, Ali Shodiq, Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan, mengaku tidak mengikuti rapat waktu itu, meskipun namanya tertera sebagai orang yang meneken surat undangan.

“Saya nggak ikut. Karena menurut saya ini urusannya Fakultas, jadi saya enggak mengikuti rapat kayak gini,” ungkapnya saat diwawancarai Arena (13/12).

Setelah dibatalkan, Fahrurrozi bercerita Gugun menawarkan kepada SMI untuk melakukan perubahan skema. Jika skema awal adalah kerja sama dengan pihak kampus untuk peminjaman tempat, maka skema kedua SMI untuk menempuh cara profesional. “Baru setelah itu ada perubahan skema. Terus win-win solution dari Pak Gugun itu kita skema bisnis to bisnis, jadi SMI sewa tempat di MP,” jelas Fahrul.

Kepada ARENA, Ali Shodiq menjelaskan dalam peminjaman gedung di kampus terdapat dua alur peminjaman. Pertama, yaitu alur dengan kegiatan yang berbasis akademik. Kedua, yaitu alur profesional atau sewa-menyewa.

Kegiatan yang berbasis akademik, lanjut Ali, seperti kegiatan seminar dan diskusi yang dibiayai negara. Seperti wisuda, seminar fakultas atau UKM dalam kampus dan tidak menggandeng pihak dari luar.

“Contoh Dekan Dakwah menggandeng TVRI untuk mengadakan kegiatan, ini harus ada jelas hitung-hitungannya. TVRI membiaya apanya? Dakwah membiaya apanya? Tapi kalau murni kegiatannya fakultas, contoh seminar internasional, berarti kan ini kegiatan fakultas kan, ada anggarannya juga dari negara, RKKL juga ada, enggak ada masalah,” jelasnya.

Kegiatan berbasis akademik alurnya tetap melalui P2B untuk menentukan jadwal, kemudian kepada Biro AUK. “Setelah ke sini, kami akan melihat ini akademis benar enggak dan seterusnya kami punya pertimbangan ngecek dan seterusnya kalau memang akademis maka kami ajukan ke pimpinan,”

Sedangkan jika kegiatan di luar akademis, yang berarti sewa-menyewa melalui P2B, untuk penentuan tanggal sampai dengan pembayaran, pun dengan pengurusan izin kegiatan kepada Polda, itu wajib dilakukan oleh panitia kegiatan.

“Kayak manten itu kan banyak dipakai orang luar. Kalau nggak salah kemarin, dipakai Ahmadiyah contohnya. Bagi kami nggak peduli, makanya kalau Polda datang kami kan enggak tahu. Urusan itu panitia,” papar Ali.

Ali, mengaku mengalami beberapa kali kecolongan, utamanya pada kegiatan yang diajukan sebagai kegiatan akademis. Beberapa mahasiswa mengaku bahwa itu kegiatan fakultas, ternyata bekerja sama dengan pihak lain. “Mereka izinnya apa, ternyata pas kita cek beda.”

Dikarenakan Gugun belum mau diwawancarai, Dekan FSH dan Wakil Dekan III FSH menolak membicarakan pembicaraan mengenai kerja sama antara fakultas dengan SMI, maka ARENA berusaha mencari tahu apa yang ada di balik ungkapan Gugun yang menyatakan bahwa MP sudah siap sedia digunakan pada Fahrurrozi dalam pesannya.

ARENA mengkonfirmasi masuknya surat peminjaman kepada Kepala Biro AUK selaku berkuasa atas peminjaman gedung di kampus. Ali Shodiq, Kepala Biro, mengaku tidak pernah ada surat dari Fakultas Syariah atau HMPS HTN untuk meminjam MP.

Namun, Ali pernah mendapat telepon dari Dekan FSH. “Pak Dekan itu cerita, (prodi) HTN-nya mau ada gini, event besar.Ya monggo, itu kan dari Fakultas,” tutur Ali.

Saat ARENA menanyai pegawai di bagian umum soal surat yang masuk dari FSH atau HTN terkait peminjaman MP, ternyata pernah ada surat yang dilayangkan untuk peminjaman MP. Surat tersebut bertitimangsa Rabu (27/11), tepat di mana poster SMI bertuliskan tempat di MP naik. Surat tersebut diterima bagian umum pada Senin (2/12), berbarengan dengan dilaksanakannya rapat koordinasi. Sebelum Rabu tanggal (27/11) tidak ada surat dari FSH untuk peminjaman MP.

Dari bagian umum, surat yang berasal dari SMI adalah surat peminjaman MP tanpa dibarengi keterangan dari pihak fakultas. Surat tersebut masuk ke bagian umum pada Selasa (3/12). Ini menandakan surat tersebut adalah prosedur surat peminjaman MP secara profesional atau sewa menyewa. Surat tersebut, di tanggal yang sama, seketika menerima balasan bahwa MP sedang masa renovasi dan tidak bisa digunakan.

“Nah seingat saya SMI itu kirim surat, tapi belum pernah menghadap ke kami. Suratnya kami tulis bahwa ‘masa pengecatan’, itu kami tidak bisa” ujar Ali. Ia melanjutkan masa renovasi MP memang bersamaan dengan masa program beautifikasi kampus yaitu sejak 5 November—10 Desember.

Mahasiswa Menjadi Korban

Menanggapi press release yang diterbitkan oleh akun Instagram @fshuinsuka, Moammar Fajriandi, selaku ketua HMPS HTN, mengaku keberatan. Fajri menerangkan bahwa HMPS hanya terlibat sebagai pembantu teknis di lapangan saja, bukan sebagai penentu kerjasama acara Suara 3 Zaman seperti yang tertulis dalam press release.

“Jadi ticketing segala macem sama nanti tuh di hari-hari kita punya plot-plotan pembagiannya sendiri di A, B, C segala macam. Layaknya event, (kita) EO-nya lah. Event organizernya lah gitu,” ungkap Fajri pada saat diwawancarai Arena pada (5/12).

Dalam press release, nama HMPS HTN dicatut, padahal Fajri tidak tahu menahu soal pembuatannya. Ia berkeberatan dengan pernyataan yang tertulis dalam press release dikarenakan dibuat tanpa sepengetahuannya atau teman-teman divisi lain di HMPS.

Dalam penelusuran ARENA, Fajri mengaku diminta oleh Gugun untuk menaikkan press release di akun Instagram HMPS HTN, namun Fajri bersikeras untuk tidak memposting press release tersebut.

“Tapi nggak saya upload. Saya tahan. Karena press release tersebut nggak disangkut poinnya sama HMPS. Gak di-upload di IG HMPS. Ternyata diupload di IG fakultas,” ujar Fajri dengan nada kesal.

Dalam press release tersebut juga tidak terdapat kepala surat resmi baik dari HMPS maupun Prodi. Hanya ada tanda tangan Gugun selaku Kaprodi, tanpa ada legitimasi dari Fajri selaku ketua HMPS. “Aku gak pernah ada tanda tangan press release apapun. Jadi press release kayak cuman ngelempar bola panas doang ke HMPS gitu. Ada yang mengadu domba gitu,” papar Fajri.

Press release tersebut seketika menjadi pembicaraan di kalangan HMPS dan teman-teman Fajri. “Dipermasalahin sama temen-temen, (terkait press rilis). Pertama pertanyaannya kan pasti ke saya dong,” paparnya.

Ia berharap dari Rektorat mau mengeluarkan statement. Pasalnya, informasi dari Gugun pun berubah semuanya pascarapat koordinasi di hari Senin (2/11). Baginya Rektor selaku pimpinan tertinggi kampus bisa menenangkan banyak pihak, karena kondisi yang memang sudah tidak stabil. “Paling gak, ketika ketika ada permasalahan seperti ini, yang harus memberikan solusi ya rektorat. Bukan malah yang klarifikasi fakultas, prodi, temen-temen HMPS juga gitu,” jelasnya.

Padahal dalam susunan kegiatan yang sudah dibagikan pihak SMI tidak ada masalah baginya. Hanya ada orasi, diskusi, dan musik.

Perjalanan acara Suara 3 Zaman. (Infografik: Nabil Ghazy)

Sebelum press release dikeluarkan pada Rabu (3/12) Fajri dipanggil oleh Dekan dan Kaprodi ke ruangannya. Di sana ia mendapat arahan untuk meminta maaf kepada pihak SMI bahwa acara batal dilaksanakan.  “Mereka menyampaikan bahwasannya, ‘kami mohon maaf tidak bisa melanjutkan kerja sama ini dengan teman-teman SMI. Mohon maaf juga ke teman-teman HMPS’, begitu,” ceritanya.

Fajri mengaku mendapatkan informasi terkait obrolan rapat pada senin (2/12) dari Kaprodi.  Batalnya kerjasama dengan kontrak yang pertama, kolaborasi antara SMI dan Kaprodi disebabkan adanya desakan kepada rektor untuk membatalkan acara dikarenakan ada beberapa figur yang dianggap mempunyai masalah dengan negara.

“Alasan yang paling utama itu ada beberapa narasumber yang punya rekam jejak bermasalah dengan birokrasi negara; ada orang KontraS sama orang Amnesti. Katanya itu bisa menyebabkan proyek pembangunan kampus 2 di Pajangan itu terhambat, andai kata pihak kampus itu memfasilitasi orang-orang tersebut,” papar Fajri.

Sayangnya, keterangan Fajri tersebut tidak dapat dikonfirmasi, dikarenakan Gugun tidak berkenan membuka suara sama sekali.

Kebebasan Akademik dan Masyarakat Sipil

Menanggapi hal ini, Masduki, Guru Besar Ilmu Komunikasi UII, sangat menyayangkan batalnya acara yang rencananya akan digelar pada tanggal 8 Desember di UIN Suka. Baginya, kampus sebagai institusi pendidikan dan SMI sebagai bagian dari masyarakat sipil memiliki peran dan hubungan timbal balik dalam membangun konsolidasi demokrasi, menjamin terwujudnya keadilan sosial, kesejahteraan, dan mengembangankan pengetahuan kritis untuk menjawab persoalan yang ada.

Lebih jauh, Masduki mengatakan bahwa kampus dengan masyarakat sipil adalah sebuah kesatuan yang tak boleh dipisahkan. Gerakan sosial dan masyarakat sipil harus berkolaborasi dengan institusi pendidikan untuk menghadirkan pendidikan politik dan mewujudkan masyarakat yang kritis. Keduanya adalah komunitas yang otonom dan progresif sebagai kontrol dan oposisi dari kekuasaan.

“Artinya komunitas akademik itu menyatu dengan komunitas sosial, jangan sampai hipokrit, atau menjadi menara gading yang kampusnya eksklusif,” ujarnya saat diwawancarai ARENA, Sabtu (7/12) di bilangan Maguwo.

Mengutip pidato Masduki saat dikukuhkan sebagai profesor (25/6), bahwa kebebasan akademik adalah pilar kebebasan bagi masyarakat, mahasiswa, tenaga pengajar, untuk menyatakan pendapat, argumen, opini di ruang publik atau ruang akademik amatlah perlu sebagai proses dan bentuk dari pendidikan kritisisme publik, pendidikan politik,  dan kebebasan akademik. Dan ia perlu dijamin keberadaannya.

“Kebebasan akademik adalah pilar kebebasan masyarakat terpelajar atas nama keluhuran moral dan intelektual,” ungkap Masduki waktu itu.

Fahrurrozi, selaku Koordinator acara, menegaskan bahwa acara ini sengaja ditempatkan di UIN Sunan Kalijaga sebab alasan banyaknya basis massa yang ada dan letaknya yang strategis. Selain untuk memperingati hari-hari penting, acara ini juga sebagai upaya penyampaian pesan dan upaya pewadahan khususnya kepada anak muda hari ini yang mengalami banyak masalah, seperti banyaknya anak muda yang menganggur dan pengingkaran terhadap hak mereka.

“Problem anak muda yang hari ini dihadapi kompleks dan dia gak punya ruang untuk bicarakan itu,” ujar Fahrurrozi via WhatsApp.

Melihat proses penegakan HAM di Indonesia, masih jauh dari kata berhasil. Terbukti dengan banyaknya angka kriminalisasi pembela HAM seperti Hariz Azar dan Fatia Maulidiyanti yang divonis karena dianggap melakukan pencemaran nama baik Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, kriminalisasi Daniel Frits Maurits Tangkilisan yang mengadvokasi pelaku tambak udang di Karimunjawa, penggusuran tanah masyarakat adat di beberapa daerah, dan kasus penembakan masyarakat sipil oleh aparatur negara.

Dalam laporan yang dirilis KontraS, ada 106 peristiwa pelanggaran HAM terhadap Pembela HAM sepanjang tahun 2024. Pelanggaran tersebut melingkupi: kriminalisasi (38), intimidasi (25), teror (4), penggunaan kekuatan berlebihan (49), penangkapan sewenang-wenang (19), dan serangan digital (2). Data tersebut menjadi bukti betapa suramnya kondisi kebebasan di Indonesia.

“Seringkali pembela HAM ini jadi sasaran diskriminasi, entah polisi atau tentara,” tegas Fahrul.

Sebab itu, SMI mencoba menghadirkan beberapa tokoh untuk membagikan cerita dan pengalamannya selama mendampingi kasus pelanggaran HAM, juga sebagai upaya memberikan pandangan baru kepada para anak muda hari ini.

“Kami menghadirkan orang-orang yang hidupnya untuk mengabdi pada kemanusian, untuk datang dan berbagi pengalaman” lanjutnya.

Masduki secara tegas menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM memang bersifat sensitif karena ada banyak kasus yang belum selesai dan diusut tuntas. Maka instansi pendidikan seharusnya memberikan ruang untuk memunculkan dan mendiskusikan persoalan hak asasi manusia ini sebagai bentuk kebebasan berekspresi di lingkungan akademik dan bahkan, berkewajiban pula menjaminnya.

Sayangnya, persoalan kebebasan berekspresi menjadi PR, ‘pekerjaan rumah’ di lingkungan akademik, dalam liputan ARENA sebelumnya, masih banyak sekali ragam pembatasan berekspresi di lingkungan kampus, khususnya di UIN Sunan Kalijaga.

Misalnya saat Syaidurrahman Alhuzaifi,

ketua DEMA U 2022-2023 diberikan surat pemanggilan wali yang dikirimkan pihak kampus ke keluarganya karena dianggap menjadi aktor dari demo pada Kamis (11/08/2022) dan aksi dalam PBAK 2022 yang berujung PBAK dibubarkan oleh rektorat. Demo tersebut digelar sebagai respon terhadap semakin naiknya nominal UKT dan masuknya pinjaman online Danacita ke kampus.

Pun nasib serupa dirasakan Putri Inayatul Jannah S, wartawan LPM Rhetor, yang dipanggil karena memberitakan demonstrasi di PBAK 2022 dengan dalih Putri telah menjelek-jelekkan nama kampus. Lagi, pembubaran diskusi di lingkungan kampus juga masih banyak terjadi. Saat panggung rakyat yang diadakan GNP, Zoel Taba, mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST), menuturkkan dirinya prihatin terhadap kondisi kampus hari ini. Ada banyak pelarangan aktivitas diskusi, pembatasan aktivitas politik, ancaman, dan penggembosan organisasi mahasiswa yang dilakukan secara sistemik, serta kasus yang terjadi pada 2015 silam saat diskusi dan nonton film yang diadakan LPM Rhetor diserbu ormas, dan yang paling baru, saat rektor yang menjabat waktu itu, Al Makin, mencekal acara Festival Keadilan yang diadakan oleh SMI, dan direncakan akan digelar di GOR Tenis UIN Suka.

“Demokrasi yang berlangsung di kampus sedang buruk. Banyak terjadinya pelarangan aktivitas diskusi, pembatasan aktivitas politik mahasiswa, ancaman-ancaman, bahkan struktur-struktur politik seperti BEM dan DEMA juga dikooptasi hingga ada yang dibubarin, ini jelas mencederai demokrasi,” papar Zoel waktu itu.

Tidak hanya terjadi di lingkup mahasiswa, Masduki melihat pembatasan kebebasan berekspresi juga terjadi di jajaran tenaga pendidikan dan birokrasi kampus, wacana state sponsor of capitalism yang mempunyai dampak besar terhadap gerak kebebasan berekspresi dalam ruang akademik. Wacana ini berimbas pada tenaga pendidik dan birokrasi kampus yang disibukkan dengan urusan penelitian, jurnal, dan mengajar, serta akreditasi. Hal ini kemudian berdampak pula bagi mahasiswa sebagai posisi yang paling rentan,  yang bakal semakin jauh dari realitas sosial.

“Ada kekhawatiran mahasiswa UIN (Sunan Kalijaga) semakin dijauhkan dari situasi eksternal di masyarakat yang sifatnya kritik publik tidak terselenggarakan. Kampus semakin eletis, birokratis dan hanya menghasilkan buruh saja,” pungkas Masduki.

Reporter Maria Al-Zahra, Wildan Humaidyi | Redaktur Selo Rasyd Suyudi | Ilustrator Siti Hajar Fauziah