Home CATATAN KAKI Menanggapi Ketua Sema yang Menggerutu Tapi Keliru

Menanggapi Ketua Sema yang Menggerutu Tapi Keliru

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: M. Padri Irwandi*

Akhir-akhir ini ARENA kebanjiran gagasan dari mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Ia jadi tempat ajang balas-membalas argumentasi dan juga solusi ketika membahas UU Pemilwa.

Saya sendiri ketika diwawancarai ARENA perihal tersebut menjawab sesuai keilmuan saya di bidang hukum tata negara, khususnya mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan. Diskusi berkutat pada prosedur dan implikasi pembentukan peraturan perundang-undangan hingga akhirnya membedah pembentukan prosedur UU Pemilwa yang dibuat Senat Mahasiswa (Sema). Soal ini bisa dibaca di berita ARENA tentang UU Pemilwa.

Berita tersebut lantas mendapatkan jawaban dari Ketua Sema Universitas, Abdul Azisurrohman. Ketua Sema memiliki dua poin untuk kita bedah. Pertama, jika terdapat prosedur maka mestinya juga ada pengujian formil dan materil di lembaga pengadilan.

Kedua, konvensi ketatanegaraan atau “kebiasaan” adalah sumber hukum yang dipegang Sema selama ini. Jawaban ini bisa kita terima sebagai fakta yang harus diperbaiki. Bersikukuh kepada ketidakmapanan yang ada adalah tindakan keliru.

Saya lantas mencari sumber bacaan dan rujukan Ketua Sema atas bantahan yang dimuat di ARENA. Setelah berkutat cukup lama, saya akhirnya tertuju pada salah satu artikel berjudul “Konvensi Ketatanegaraan dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia Pasca Era Reformasi” di Jurnal RechtsVinding. 

Artikel tersebut membahas konvensi ketatanegaraan dengan sangat detail, namun sayangnya tulisan Ketua Sema hanya mengutip beberapa bagian yang menguntungkan argumentasinya. Sebutlah syarat-syarat konvensi yang dikemukakan oleh Ketua Sema, yaitu:

  1. Harus ada preseden yang timbul berkali-kali.
  2. Preseden yang timbul karena adanya sebab secara umum dapat dimengerti atau dapat diterima.
  3. Preseden itu karena adanya kondisi politik yang ada.

Syarat pertama merupakan hakikat kebiasaan itu sendiri. Sebab tidak ada kebiasaan yang tidak dilakukan secara berulang-ulang. Syarat kedua, sama dengan kaidah opinio juris sive necessitatis: keyakinan atas sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat untuk timbulnya hukum kebiasaan.

Keyakinan tersebut idealnya tidak hanya dirasakan oleh seseorang atau golongan tertentu, tetapi oleh sebagian besar warga negara, atau mahasiswa UIN dalam konteks yang dibicarakan Ketua Sema. Pertanyaannya, mahasiswa UIN mana yang merasa bahwa prosedur pembentukan hukum tidak tertulis adalah keyakinan sebagai hukum? Apakah relevan mendasarkan prosedur pembentukan perundang-undangan hanya pada konvensi ketatanegaraan dalam konteks UIN?

Syarat ketiga, preseden dibutuhkan karena tuntutan kondisi politik dalam skala yang luas. Tuntutan kondisi politik tersebut biasanya berujung pada dua pilihan: membentuk tindakan baru sebagai awal terciptanya konvensi ketatanegaraan atau mempertahankan tradisi ketatanegaraan lama yang sudah menjadi “kebiasaan” di masa sebelumnya.

Syarat ketiga ini cukup debatable melihat dari penafsirannya. Kalau kita menafsirkan tuntutan kondisi politik itu hanya seputar Sema dan pendahulunya, tentu argumen Ketua Sema dapat dipahami sebagai pelanggengan prosedur berdasarkan kebiasaan. Namun melihat berita ARENA dan sekian opini tentang UU Pemilwa, syarat ketiga yang dirujuk ketua Sema tak lagi relevan. Bila ada tuntutan untuk memperbaiki prosedur pembuatan perundang-undangan, maka konvensi ketatanegaraan tak bisa lagi dipertahankan.

Selain itu, terdapat fakta di Indonesia bahwa banyak konvensi yang sudah diformalkan menjadi hukum tertulis. Sebut saja, upacara bendera setiap 17 Agustus yang diformalkan dalam  Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.

Pidato Presiden di depan MPR setiap tanggal 16 Agustus juga telah diformalkan ke dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).

Pemilihan Menteri dan Jabatan tertentu oleh Presiden pun diformalkan ke dalam Pasal 18 A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsttusi menjadi Undang-Undang dan lain sebagainya.

Paparan ini juga ada dalam satu artikel yang Ketua Sema jadikan rujukan. Fakta ini membuka mata kita bahwa pemformalan akan konvensi ketatanegaraan adalah keniscayaan demi kepastian hukum.

Ketiadaan panduan pembuatan peraturan perundang-undangan bukanlah alasan untuk membiarkannya tetap tidak ada. Ketiadaan itu mestinya menjadi alasan untuk berbenah membuat prosedur hukum yang baik dan benar. Sebab, peraturan adalah produk hukum yang mengikat untuk umum dalam hal ini seluruh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Ketika Ketua Sema membuat suatu peraturan hanya sebatas kebiasaan, maka bagaimana mahasiswa UIN lainnya tahu alur dan proses pembentukannya? Hal inilah yang menurut saya penting untuk membuat panduan tersebut menjadi hukum tertulis agar terjaminnya kepastian hukum.

Saudara Sema mungkin pernah mendengar istilah “fictie hukum”. Bahasa sederhananya: semua masyarakat harus tahu hukum, tidak ada alasan untuk pembenaran pelanggaran karena ketidaktahuan akan hukum. Fictie hukum ini pun harus diwujudkan dengan publikasi yang meluas.

Dari hal tersebut kita bisa bertanya: dari mana mahasiswa UIN tahu Sema sudah membuat hukum sesuai prosedur dengan benar atau membuat hukum yang menampung aspirasi? Dari mana mahasiswa tahu ada pembahasan suatu rancangan peraturan? Apa saja peraturan yang sudah diberlakukan apabila saudara Sema hanya berpijak kepada kebiasaan? Apakah kebiasaan saudara Sema dan pendahulunya masih memiliki kekuatan hukum yang mengikat untuk umum bila kami mahasiswa tidak mengetahui apa kebiasaan Sema dalam membuat suatu peraturan?

Argumentasi Ketua Sema selanjutnya mengutip pendapat Donald A. Rumokoy yang intinya menyatakan konvensi ketatanegaraan hadir untuk melengkapi konstitusi. Namun, Ketua Sema tidak menjabarkan lebih dalam apa yang dimaksud dengan konstitusi. Karena itu, biar saya mengambil peran Ketua Sema untuk melengkapi definisi yang terlupakan.

Konstitusi terbagi menjadi dua pengertian. Konstitusi secara sempit ialah undang-undang dasar (grundgesetz). Sementara secara luas, konstitusi adalah segala jenis peraturan yang memuat hubungan lembaga negara, hubungan negara dan warga negara, serta penjaminan HAM.

Lantas konstitusi dalam arti apa yang saudara maksud?

Jika menelisik sejarah USA, masa jabatan presiden, sebelum amandemen konstitusi, menggunakan kebiasaan (konvensi ketatanegaraan). Baru ketika Presiden Roosevelt menjabat untuk periode ketiga, parlemen USA ketar-ketir merumuskan batas masa jabatan presiden di konstitusi mereka.

Kesimpulan saya pada poin konvensi ketatanegaraan ialah tidak semuanya cukup hanya dengan dasar kebiasaan. Hal-hal substansial dan strategis seperti panduan pembentukan peraturan perundang-undangan harus dituliskan dalam UU. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum, dan agar masyarakat UIN paham produk hukum yang Sema buat selama masa jabatannya.

Selanjutnya Ketua Sema berdalih jika ada pedoman pembuatan UU maka butuh lembaga pengadilan untuk pengujian formil dan materiil. “Sedangkan kita tidak punya,” kata Ketua Sema.

Lantas kalau sudah tahu tidak punya, kok masih dipertahankan? Dibentuk dong lembaga pengadilannya. Bagaimana mahasiswa UIN bisa menilai produk hukum Sema sudah sesuai prosedur atau amburadul bila tidak ada lembaga pengadilannya? Argumen Ketua Sema tentang kekosongan lembaga pengadilan justru menjatuhkan dirinya sendiri. Padahal, tak ada yang membahas hal itu.

Lagipula prosedur pengujian peraturan tidak sekadar judicial review, tapi bisa juga memakai legislative review. Bahasa gampangnya: lembaga legislatif yang mengubah. Ada pula executive review atau bahasa gampangnya yang mengubah adalah pihak eksekutif.

Jangan buat pusing lah, Pak Sema. Ada banyak alternatif dan solusi pengujian perundang-undangan. Namun betul juga kata Pak Sema, kekurangan kita selama ini ialah tidak memiliki lembaga pengadilan sehingga pendapat yang benar berdasarkan putusan pengadilan tidak kunjung didapatkan. Itu artinya, argumen Bapak yang dimuat dalam berbagai kebijakan Bapak selama ini juga tidak sah.

Solusi saya, benahilah segala macam prosedur yang masih amburadul ini, jangan bersikukuh pada kebiasaan. Undanglah lembaga-lembaga hukum kampus untuk memberikan masukan, agar kampus kita menjadi tertata, baik dari segi hukum maupun politiknya.

Satu lagi, buatlah lembaga pengadilan semisal Mahkamah Mahasiswa untuk menjalankan berbagai tugas. Salah satunya pengujian peraturan perundang-undangan.

Dan mungkin ini adalah tulisan terakhir saya dalam jawab-menjawab terkait UU Pemilwa di ARENA karena yang kita lakukan saat ini adalah kritik kebijakan dan mencari solusi. Bukan malah bertahan di atas kekeliruan. Itu saja, Pak. Sekian, terima kasih.

*Penulis adalah Wakil Ketua Komunitas Pemerhati Konstitusi tahun 2020