*Oleh: Dina T Wijaya
Dalam kondisi runyam, saya selalu ingin ngobrol dengan orang-orang yang tak akan pernah bisa saya ajak bicara. Kali ini saya kepikiran untuk duduk dan berbincang dengan Uzumaki Naruto. Ingin sekali rasanya deep talk dengannya. Mungkin buat mengawali obrolan, saya bakal menanyakan perihal kutipan sok bijaknya yang dikutip banyak penggemar, “mereka yang melanggar aturan disebut sampah, tetapi mereka yang meninggalkan temannya lebih buruk dari sampah”.
Sepertinya saya ngelantur. Tapi biarlah. Nyatanya, tiga kata kunci dalam kutipan keturunan Hokage keempat itu jadi masalah ruwet yang saat ini menerpa saya: aturan, sampah, dan teman. Semua persoalan itu sudah tak bisa lagi saya respons dengan filosofi teras, meski semua biang keroknya di luar kendali diri saya. Saya sudah muak dan ingin menuntut pada yang bersangkutan. Semoga tulisan ini berbunyi lantang dan membuat telinga mereka berdengung. Atau paling tidak, ayolah, kawan-kawan sekalian kita bergunjing!
Namun saya cuma mau mengurai satu saja. Singkirkan dulu soal sampah Jogja dan problem pertemanan, biar itu kita obrolkan di lain hari. Menyoal aturan, tak usah lagi bertanya apa pemantik dari segala kerisauan hati ini. Apa lagi kalau bukan kebijakan kampus yang membingungkan? Ketetapan kampus dalam bentuk apapun tentu mengena pada saya, sebab saya masih berstatus mahasiswa jelata. Sepanjang kuliah, rasanya, tak hanya sekali saya mendapati pengumuman rektorat yang ‘esuk tempe sore dele’, alias peraturan yang berubah-ubah dan tidak jelas.
Baru-baru ini kaum mahasiswa akhir, termasuk saya, kelimpungan bukan main. Pekan awal Juli lalu, kampus mengeluarkan pengumuman jadwal heregistrasi mahasiswa lama. Pengumuman itu ditandatangani 10 Juli 2023, dan dalam poin prosedur registrasi ada ketetapan bahwa Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa semester 11 dan 13 mendapat potongan 50%. Ini berdasarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 82 Tahun 2023 tentang UKT pada PTKIN.
Kala itu seorang kawan mengingatkan saya untuk mengecek laman akademik. Benar saja. Kampus sudah mengubah tagihan pembayaran pada sistem akademik seluruh mahasiswa. Nominal tagihan UKT saya pun tertera berkurang setengahnya. Saya setengah lega, setengahnya lagi merasa gamang, antara harus cepat-cepat menuntaskan skripsi, sekaligus memikirkan dari mana mendapat uang buat membayar biaya kuliah itu. Tuntutan buat lulus cepat tentu bukan perkara sulit seandainya saya punya kage bunshin no jutsu buat mengerjakan semua secara bersamaan.
Tapi agaknya malah itu yang dilakukan kampus: mengerjakan semuanya secara bersamaan. Sehingga dia terburu-buru sampai harus mengeluarkan aturan yang mencla-mencle. Bagaimana tidak? Tidak sampai sebulan kemudian, muncul revisi dari SE Dirjen bertanggal 28 Juli yang menyatakan bahwa mandat Kementerian Agama itu ‘ditafsirkan’ ulang. Intinya, mahasiswa akhir tidak jadi mendapat potongan. Tiba-tiba tagihan pembayaran saya di sistem akademik kembali seperti awal. Beberapa kawan saya yang sudah membayar separuh UKT sesuai tagihan tentu misuh-misuh. Ternyata kami sama-sama kena prank.
Keringanan 50% yang dimaksud ternyata ditujukan untuk mahasiswa angkatan 2023. Artinya, pemberlakuan mandat KMA nomor 82 itu masih lima tahun lagi. Nalar pendek saya segera bertanya: buat apa bikin pengumuman untuk lima tahun ke depan? Seorang kawan yang hobi overthinking berusaha menebak, mengaitkannya dengan isu pemilu. “Ya biasa kan, itu bisa jadi janji-janji pejabat,” katanya. Saya cuma manggut-manggut.
Apapun jawabannya, aturan itu memang perlu dipertanyakan ulang. Potongan 50% bagi mahasiswa yang hanya mengambil skripsi pun harusnya menjadi ketetapan institusi pendidikan tinggi, tanpa maju-mundur lagi. Alasannya kebutuhan mahasiswa akhir tak masuk dalam komponen penghitungan UKT selama delapan semester. Lagipula di tahun yang akan datang, mahasiswa tak akan kuliah sampai lima tahun karena tuntutan lulus cepat. Masa studi mahasiswa sarjana kini dipersingkat menjadi 8-10 semester, jika tidak mau kena drop-out.
Jadi bisa dikatakan, sumber dari persoalan UKT kali ini adalah “salah tafsir” kampus atas mandat Kemenag. Begitukah? Saya juga bingung. Padahal, kalau kata seorang kawan yang belajar ilmu tafsir, tidak ada yang namanya salah tafsir, adanya beda tafsir dan tafsir progresif. Apalah lagi itu?
Polemik UKT dari Waktu ke Waktu
Syahdan, UKT yang kini diterapkan di perguruan tinggi berangkat dari itikad mulia bernama subsidi silang. Sistem UKT yang dimulai sejak 2013 itu mengelompokkan mahasiswa dalam beberapa golongan sesuai kemampuan ekonomi. Nominal UKT didapat dari Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dikurangi Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Idealnya tentu tak ada pungutan di luar biaya itu. UKT pun dianggap sebagai solusi dalam meringankan beban pembayaran di perguruan tinggi, sehingga siapapun berhak mengenyam pendidikan meski biayanya mahal. Saya ulangi, siapa pun berhak mengenyam pendidikan meski biayanya mahal. (Semoga paham di mana paradoks antara kalimat itu.)
Namun tujuan diberlakukannya kebijakan UKT ini ibarat jauh panggang dari api. Praktiknya, mahasiswa mengeluhkan besaran golongan UKT yang acapkali tak sesuai. Jumlah masalah yang muncul dari praktik penerapan UKT ini seperti seribu bayangan: pungutan di luar UKT seperti pembayaran ujian sertifikasi, melejitnya kelompok UKT mahasiswa jalur mandiri, tak terpenuhinya kuota 5% UKT golongan pertama, hingga transparansi printilan unit cost-nya juga masih belum gamblang. Dan daftar masalah tersebut bisa terus berlanjut. Olahan data terakhir dari Pusda ARENA pun menunjukkan tren kenaikan nominal UKT di kampus kita. Tak sedikit mahasiswa memilih cuti karena kesukaran ini.
Pendek kata, makin ke sini UKT kian jadi polemik yang tak usai. Bagaimanapun, menurut saya—semoga juga menurut Anda—UKT yang dicanangkan dengan nalar komersialisasi pendidikan sudah keliru sejak awal. Malahan, kini bergaung rencana bahwa kampus kita menyiapkan diri beralih menjadi PTN-BH. Besar kemungkinan, dengan otonomi penuh ini, seluruh sumber pendanaan kampus dan segala biaya operasional bakal bersumber utama dari bisnis kampus dan kocek mahasiswa, termasuk UKT dan juga pungutan-pungutan di luar UKT.
Mendekati awal masuk kuliah, pasti kita ramai-ramai menyoal UKT. Sayangnya jalan keluar yang ditawarkan dengan banding case by case pun jelimet, dengan prosedur yang panjang, dan tak selalu terpenuhi bagi seluruh mahasiswa. Dalam aksi terakhir yang digelar mahasiswa, hasilnya bagai mencincang air saja. Tuntutan yang disampaikan direspons dengan jawaban normatif. Kita cari solusinya bersama-sama, kata para pimpinan. Persoalannya sudah terlalu berlarut-larut. Kita sama-sama ‘kena prank’.
Satu dekade sistem ini diterapkan dalam pendidikan tinggi kita, tak adakah evaluasi? Kok rasanya kita seperti mengobrol dengan orang yang tak pernah bisa kita ajak bicara. Runyam.
*Penulis adalah penulis lepas (sekali) | Ilustrator Surya Puja Kelana