Oleh: Wildan Ibn Asmin*
Saya tidak menyarankan Anda untuk membaca tulisan ini sambil memutar lagu “Mac Lir,” “An Invisible Bridge Above the Ocean,” “Kiss the Rain” atau lagu-lagu melankolis, apalagi “Garam dan Madu.” Jangan! Sebab dalam tulisan ini, saya bakal mencoba memapar persoalan UKT yang selalu diceritakan dengan penuh amarah dan kebencian, dengan wajah kaku dan serius, dengan ujung alis yang beradu, air muka tidak sedap, kemudian disusul sumpah serapah yang kadang sama sekali baru. UKT yang selalu menjadi momok bagi mahasiswa, wabil khusus mereka yang mengalami ketidakadilan; penggolongan UKT tidak sesuai dengan isi dompet sang Bapak, misalnya. Saya bakal memulainya dari sebuah cerita singkat.
Suatu hari di akhir pekan, dengan takzim, saya mendengarkan cerita dari salah satu kawan yang bapaknya bekerja sebagai ASN. Ia mengeluh bahwa pendapatan orang tuanya jelas tidak mampu memenuhi biaya kuliahnya setiap semester yang berada di golongan VII. Ditambah sang adik, masih mengenyam pendidikan di bangku menengah. Alhasil, dengan terpaksa sang Bapak menjual satu ekor anak sapi; menyusul keluhan dari beberapa teman lainnya, baik di toilet kampus, dapur kontrakan, dan warung kopi. Masalah yang sebetulnya juga pernah saya alami sewaktu mendapati pengumuman kelulusan dua tahun lalu. Ditambah, beberapa mahasiswa di grup maba, dengan santun, pamit undur diri sebab tak mampu membayar biaya registrasi—perasaan saya makin runyam tak karuan.
Masalah ini bukan omong kosong belaka, hasil survei Keluarga Mahasiswa Pencinta Demokrasi (KMPD) pada tahun 2023, menyebut bahwa ada 88,7% dari total 582 responden mengaku tidak mendapatkan golongan UKT yang sesuai dengan kondisi ekonomi keluarganya.
Dalam survei tersebut, diketahui, dengan pendapatan keluarga sampai 500 ribu per bulan, ada 10 mahasiswa mendapat UKT golongan V; dua orang mendapat golongan VI; dan delapan orang golongan VII. Contoh lainnya, pada semester gasal 2022/2023 kemarin, terhitung sejak September 2022 sampai Januari 2023 ada 1.900 mahasiswa mengajukan banding. Artinya ada 1.900 mahasiswa merasa tidak sesuai dengan nominal UKT-nya. Beberapa mahasiswa akhirnya perlu mensiasati masalah ini, salah satunya adalah menyambi menjadi kurir di platform layanan pesan antar makanan daring.
Singkatnya, penggolongan UKT belum sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga mahasiswa. UKT yang digadang untuk mempermudah mahasiswa dari model pembayaran sebelumnya, justru sebaliknya: bikin makin sengsara.
Jika diperhatikan, nominal UKT di UIN Suka cenderung mengalami kenaikan tiap tahunnya. Mengutip laporan Pusat Data dan Analisis (Pusda) ARENA, pada rentang waktu 2018-2022, UKT di kampus putih mengalami kenaikan drastis. Tertinggi, kenaikan UKT dialami oleh prodi Manajemen Pendidikan Islam, naik sebesar Rp2.250.000. Di lain sisi, hal ini tidak dibarengi dengan kenaikan signifikan UMP DIY yang hari ini terendah nomor tiga se-Indonesia. Pendidikan akhirnya menjadi barang mahal bagi masyarakat kita.
Selain itu, masalah tidak terpenuhinya kuota UKT golongan I sebesar 5 persen juga jadi soal. Mengutip berita ARENA berjudul Sisi Janggal UKT UIN: Golongan I Tak Penuhi Batas Minimal 5% ditemukan hanya ada 67 alias 2 persen mahasiswa saja yang masuk dalam golongan UKT I dari total 4337 mahasiswa. Hal ini melanggar peraturan KMA Nomor 151 Tahun 2019, tentang kuota UKT I untuk mahasiswa baru dengan batas minimal 5 persen.
Amarah-amuk-kekecewaan mahasiswa terhadap ketidakadilan UKT, sayangnya, kerap kali redam begitu saja dengan adanya program banding yang dianggap solutif. Program banding yang biasanya diadakan pada peralihan semester, dengan menyetorkan segala tetek bengek yang berkaitan dengan kondisi ekonomi keluarga ter-up to date. Namun, tidak semua mahasiswa dapat mengakses (baca: lolos) program tersebut meskipun betul-betul pantas. Mengutip laporan LPM Rhetor dengan judul Mereka yang Tidak Lolos Banding UKT Padahal Telah Memenuhi Syarat mengungkap secara jelas bagaimana banding UKT belum mampu menyelesaikan persoalan mahasiswa, dan akhirnya hanya menjadi bius belaka. Masalah yang sebetulnya berada dalam kerangka sistem (atau mahasiswa menyebutnya “mesin tak punya hati”) penggolongan UKT, perlahan kabur dari mata kita. Bukti tentang gagalnya sistem banding bisa dilihat lewat ini, atau ini, ini, ini, ini, dan ini-ini lainnya.
Konsolidasi Mahasiswa: Sebuah Jalan Terang

Mengutip kajian Badan Pusat Statistik tentang Statistik Pendidikan Tahun 2024, menyebut bahwa 7 dari 10 anak penduduk miskin dan rentan di Indonesia belum dapat mengakses bangku kuliah karena alasan ekonomi. Alih-alih menambah anggaran belanja untuk sektor pendidikan, melalui Intruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 pemerintah justru memangkas anggaran besar-besaran, termasuk dalam hal pengadaan pendidikan. Di lingkungan PTKIN sendiri, melalui surat pemberitahuan yang diterbitkan oleh Kemenag Dirjen Pendidikan Islam dengan nomor B-135/DJ.I/KU.00.2/02/2025 tentang tindak lanjut efisiensi anggaran perguruan tinggi di lingkungan Kementrian Agama, dana PTKIN mengalami pemangkasan yang cukup besar, yakni sebesar 2,8 T.
Di UIN Suka, anggaran pendidikan mengalami pemangkasan sebesar Rp113.507.920.000, dari pagu awal Rp390.205.977.000 menjadi Rp276.698.057.000. Salah satu dampak yang hari ini kita rasakan adalah, dimatikannya AC sebelum jam 10 pagi. Dan tidak menutup kemungkinan, besok bakal datang “kiamat-kiamat” sughro-qubro lainnya. Akhirnya kampus perlu bersiasat lebih untuk bertahan di tengah efisiensi anggaran yang ugal-ugalan, dan menaikkan UKT mahasiswa adalah satu-satunya jalan yang paling mudah untuk ditempuh.
Di titik ini, Student Government (Dema, Sema, Himpunan, dsb) perlu sadar, bahwa kampus hari ini tengah mengalami masalah serius: biaya pendidikan mahal. Dan di sisi lain: penyakit pragmatis-oportunistik menjangkit akut dalam relung kehidupan mahasiswa. SG perlu bersiasat lebih ampuh ketimbang kepemimpinan sebelumnya dengan sebisa mungkin menggaet mahasiswa-ormawa untuk kemudian bersama-sama dalam satu rel perjuangan, misalnya melalui pendidikan politik dan konsolidasi, untuk menyingkap tabir-tabir pragmatis-oportunis-pesimisme, ketimbang mengadakan event yang sifatnya seru-seruan belaka.
SG yang hari ini perlahan kehilangan kepercayaan publik musti sebisa mungkin menumbuhkannya kembali, dengan mengambil sikap tegas, posisi, dan keberpihakan yang jelas. Baik atas nama organisasi/institusi, maupun secara individual, untuk kemudian mengetahui konteks serta keresahan yang tengah menjamur di kalangan mahasiswa. Dan dari kerja inilah, bakal menjadi dasar dan patokan dalam melakukan kerja-kerja perjuangan. Kepercayaan di sini adalah SG yang diberikan mandat untuk mengurus dan membantu menyelesaikan segala persoalan mahasiswa, membantu dalam artian melibatkan pihak terdampak secara langsung, tanpa kemudian mengangkuhkan diri seolah Yang Maha Tahu dan Maha Benar, supaya tidak berakhir pada liang kubur elitisme dan eksklusifisme.
Dan jika memang tak mau, maka jangan pernah sesekali dengan beraninya menghalang-halangi iktikad baik dari organisasi ekstra atau mahasiswa secara individual untuk melakukan kerja-kerja amat mulia ini.
Hal ini tentu tak boleh didiamkan bahkan amit-amit dibiarkan terjadi, sebab bukan hanya aku-mahasiswa-lah yang bakal merugi dan kena imbasnya, melainkan kawan kita sendiri dan generasi mendatang. Pembiaran atas realitas pendidikan kita yang terkena penyakit kusta dan parasit mematikan tentu hanya bakal merawat lingkaran kemiskinan dan pembodohan, yang bakal menghantarkan kita—yang telah mendaku kaum terdidik di hadapan sejarah—kepada parade kematian lainnya.
Tentu persoalan di atas tak bakal bisa selesai ujug-ujug hanya dengan berdoa—baik sendiri atau bebarengan, berharap-harap, atau merengek di hadapan rektorat yang sedari awal memang tak pernah becus ngurusin masalah kita. Ini adalah masalah kita bersama dan hanya bisa diselesaikan secara bersama-sama pula. Maka pengkotak-kotakan masalah, antara masalah-ku-kami dan masalah-mu-kalian, egosentrisme antarorganisasi mahasiswa (baik intra maupun ekstra-gerakan), hanya akan menjadi penghambat dalam mencapai tujuan: mewujudkan pendidikan berkeadilan.
Cita-cita ini hanya bisa terwujud apabila kerja-kerja pengawalan, pengadvokasian, radikalisasi, dan konsolidasi dilakukan secara terus-menerus, berulang-ulang, ajeg, dan tak sudah-sudahnya—dari lokus paling kecil hingga paling besar. Sebab terlihat atau tidak terlihat, terdengar atau tidak terdengar; gemuruh harus disiapkan. Untuk kemudian menciptakan suatu langkah teratur dan kesatuan irama dalam mewujudkan cita. Suatu gerak yang dipandu oleh strategi perjuangan yang sebelumnya telah disusun secara sistematis melalui konsolidasi mahasiswa yang menampung segala keluhan dan kesengsaraan yang kita alami dan rasakan tiap harinya, untuk kemudian menjadi senjata dan modal dalam memerangi ketidakadilan dan musuh kita: sistem yang menghisap kita secara terang-terangan.
Dan pada titik yang lebih radikal adalah berhasilnya pengorganisiran dari seluruh elemen kampus: mahasiswa, tenaga pendidik, satpam, petugas kebersihan, PKL, dan lebih jauh lagi: bersama masyarakat sipil lintas sektoral yang bakal secara bersama mewujudkan iklim yang lebih adil dan baik dalam institusi dan sistem pendidikan kita, dan seterusnya, dan seterusnya. Maka selalu yakin dan percayalah, bahwa ini suatu keniscayaan.
“Menolak tunduk, menuntut tanggung jawab!”
*kader KMPD Yogyakarta
Editor Selo Rasyd Suyudi | Ilustrator Siti Hajar Fauziah